Rabu, 21 Maret 2012

Sebenarnya topik ini telah penulis sampaikan dalam posting beberapa waktu yang lalu, “Memilih untuk dewasa.” Namun beberapa kejadian yang berlangsung di sekitar kehidupan penulis, membuat penulis tergelitik untuk mengelaborasi lagi tentang topik ini. Sekedar mengingatkan diri penulis sendiri, dan sedikit banyak semoga memperluas pemaknaan bagi pribadi penulis.
Sahabat, penulis yakin, sekali waktu kita pernah mendengar kalimat pembuka di atas. Entah dari siapa kalimat ini tercetuskan. Sudah begitu lama rasanya, namun sungguh melekat di hati. Sering terngiang di dinding jiwa. Bagi penulis pribadi, kalimat ini lebih bersifat sindiran pada diri. Ya, karena di usia yang lebih dari seperempat abad, rasanya tidak sedikit dari momen-momen hidup penulis yang terlewati tanpa kedewasaan. Menurut hemat penulis, kedewasaan bukanlah sebuah anugerah yang sekali didapat lalu “menetap selamanya” pada diri kita. Kedewasaan itu perlu terus diasah dan dipupuk, agar ia menjadi bagian yang integral dengan diri. Karena tak jarang, ada saat dimana kedewasaan itu melemah, tergerus oleh tantangan hidup.
Lalu apakah sebenarnya “kedewasaan” itu? Mungkin tiap kita punya definisi sendiri-sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa “kedewasaan” adalah “keadaan telah dewasa”. Lalu, kata “dewasa” sendiri diartikan sebagai “kematangan pikiran dan pandangan.” Bagi penulis pribadi, kedewasaan adalah ketika kita mampu bertanggung jawab atas setiap perbuatan diri dengan mempertimbangkan dampak yang timbul atas diri dan lingkungan.
Setiap orang boleh berbuat apa saja, namun ia harus berani menanggung segala dampaknya. Ketika dampak itu hanya berkaitan dengan dirinya sendiri, rasanya pengambilan sikap menjadi begitu mudah. Kita tak perlu berpikir akan dampak yang dialami orang lain. Seperti halnya seseorang yang mempunyai sepetak kebun. Ia boleh saja membakar ilalang yang menumbuhi petak kebunnya itu. Namun asap “hasil” pembakaran tentulah akan beterbangan kemana-mana. Boleh jadi, tetangga di sekitar petak kebun itu menjadi terganggu pernapasannya.
Sahabat, pada dasarnya sikap hidup kita sehari-hari itu berdampak ke dalam dan keluar. Dampak keluar terlihat dari sejauh mana pengaruh sikap kita itu pada orang-orang yang berada di sekitar. Besar pengaruh itu berbeda-beda, tergantung sejauh mana kedekatan kita terhadap mereka. Entah itu kedekatan yang bersifat hubungan darah, persahabatan, formal, ataupun sosial-kemasyarakatan. Kekurangdewasaan sikap kita boleh jadi akan menjadi teladan bagi orang-orang di sekitar, yang pada akhirnya akan menambah nilai buruk kita di mata Tuhan.
Dampak ke dalam diukur dari sejauh mana posisi kita terhadap orang-orang di sekitar. Semakin tinggi posisi kita, maka dampak ke dalam ini akan semakin besar. Dampak ini berwujud pada tanggungjawab yang harus kita emban. Dalam dunia formal bisa kita lihat, bahwa kesalahan yang terjadi di level bawah akan menyebabkan pejabat yang berada di level atasnya ikut menerima hukuman. Kesalahan yang dilakukan orang yang berada dalam wilayah manajerial kita merupakan satu beban yang harus kita pertanggungjawabkan.
Maka berhati-hatilah kita dalam bersikap. Jangan sampai sikap kita hanya sekedar lintasan emosi yang terwujud dalam perbuatan. Karena semua sikap kita akan dimintai pertanggungjawabannya kelak, berikut semua dampak yang menyertainya. Karena setiap sikap dewasa kita begitu berharga di hadapan-NYA, Sahabat..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kumpulan askep