Sebenarnya topik ini telah penulis sampaikan dalam posting beberapa waktu yang lalu, “Memilih untuk dewasa.”
Namun beberapa kejadian yang berlangsung di sekitar kehidupan penulis,
membuat penulis tergelitik untuk mengelaborasi lagi tentang topik ini.
Sekedar mengingatkan diri penulis sendiri, dan sedikit banyak semoga
memperluas pemaknaan bagi pribadi penulis.
Sahabat, penulis yakin, sekali waktu kita
pernah mendengar kalimat pembuka di atas. Entah dari siapa kalimat ini
tercetuskan. Sudah begitu lama rasanya, namun sungguh melekat di hati.
Sering terngiang di dinding jiwa. Bagi penulis pribadi, kalimat ini
lebih bersifat sindiran pada diri. Ya, karena di usia yang lebih dari
seperempat abad, rasanya tidak sedikit dari momen-momen hidup penulis
yang terlewati tanpa kedewasaan. Menurut hemat penulis, kedewasaan
bukanlah sebuah anugerah yang sekali didapat lalu “menetap selamanya”
pada diri kita. Kedewasaan itu perlu terus diasah dan dipupuk, agar ia
menjadi bagian yang integral dengan diri. Karena tak jarang, ada saat
dimana kedewasaan itu melemah, tergerus oleh tantangan hidup.
Lalu apakah sebenarnya “kedewasaan” itu? Mungkin tiap kita punya definisi sendiri-sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
disebutkan bahwa “kedewasaan” adalah “keadaan telah dewasa”. Lalu, kata
“dewasa” sendiri diartikan sebagai “kematangan pikiran dan pandangan.”
Bagi penulis pribadi, kedewasaan adalah ketika kita mampu bertanggung
jawab atas setiap perbuatan diri dengan mempertimbangkan dampak yang
timbul atas diri dan lingkungan.
Setiap orang boleh berbuat apa saja, namun ia harus berani menanggung
segala dampaknya. Ketika dampak itu hanya berkaitan dengan dirinya
sendiri, rasanya pengambilan sikap menjadi begitu mudah. Kita tak perlu
berpikir akan dampak yang dialami orang lain. Seperti halnya seseorang
yang mempunyai sepetak kebun. Ia boleh saja membakar ilalang yang
menumbuhi petak kebunnya itu. Namun asap “hasil” pembakaran tentulah
akan beterbangan kemana-mana. Boleh jadi, tetangga di sekitar petak
kebun itu menjadi terganggu pernapasannya.
Sahabat, pada dasarnya sikap hidup kita sehari-hari itu berdampak ke
dalam dan keluar. Dampak keluar terlihat dari sejauh mana pengaruh sikap
kita itu pada orang-orang yang berada di sekitar. Besar pengaruh itu
berbeda-beda, tergantung sejauh mana kedekatan kita terhadap mereka.
Entah itu kedekatan yang bersifat hubungan darah, persahabatan, formal,
ataupun sosial-kemasyarakatan. Kekurangdewasaan sikap kita boleh jadi
akan menjadi teladan bagi orang-orang di sekitar, yang pada akhirnya
akan menambah nilai buruk kita di mata Tuhan.
Dampak ke dalam diukur dari sejauh mana posisi kita terhadap
orang-orang di sekitar. Semakin tinggi posisi kita, maka dampak ke dalam
ini akan semakin besar. Dampak ini berwujud pada tanggungjawab yang
harus kita emban. Dalam dunia formal bisa kita lihat, bahwa kesalahan
yang terjadi di level bawah akan menyebabkan pejabat yang berada di
level atasnya ikut menerima hukuman. Kesalahan yang dilakukan orang yang
berada dalam wilayah manajerial kita merupakan satu beban yang harus
kita pertanggungjawabkan.
Maka berhati-hatilah kita dalam bersikap. Jangan sampai sikap kita
hanya sekedar lintasan emosi yang terwujud dalam perbuatan. Karena semua
sikap kita akan dimintai pertanggungjawabannya kelak, berikut semua
dampak yang menyertainya. Karena setiap sikap dewasa kita begitu
berharga di hadapan-NYA, Sahabat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar