1. Pendahuluan
“Saya tidak hidup. Saya dibuat untuk hidup. Saya tetap hidup. Untuk siapa, untuk apa yang tak saya ketahui, yang saya tahu saya hanyalah mayat hidup!” ratap Vincent
Humbert. Kondisi tanpa daya ini membuat Vincent tak mau meneruskan
hidupnya. Pada November 2002, ia mengirimkan surat kepada Presiden
Prancis, Jacques Chirac, meminta agar ia diberi hak untuk mati. Chirac
membalas surat Vincent dan menelponnya ke rumah sakit, menjelaskan bahwa
ia tak bisa memenuhi permintaannya itu. Vincent pun akhirnya menyusun
rencana kematian bersama ibunya, Marie Humbert. Ia juga menulis buku
berisi penjelasan soal kasusnya – dibantu seorang wartawan bernama
Frederick Veille.
Kemudian
tepat tiga tahun setelah kecelakaan, Vincent dan Marie melaksanakan
rencana mereka, Marie menyuntikkan obat penenang dengan dosis berlebih
ke pembuluh darah putranya. Hari berikutnya, buku karya Vincent, Jé Vous Demande le Droit de Mourir (Saya Meminta Pada Anda Hak untuk Mati) terbit.
Di
Indonesia pun pernah heboh soal euthanasia. Menjelang pengumuman
putusan permohonan penetapan euthanasia oleh Hasan Kesuma atas nama
istrinya, Agian Isna Nauli oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Ketua
Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Iskandar Sitorus sebagai
kuasa hukum Hasan mengatakan pihaknya sudah mempersiapkan diri
menghadapi segala kemungkinan.
“Apabila
PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan kami, maka kami akan
melanjutkan dengan meminta pihak yang akan melakukan eksekusi. Sedangkan
kalau PN Jakarta Pusat menolak gugatan kami, maka kami akan mengajukan
upaya hukum berupa penetapan ke Mahkamah Agung”, jelasnya.
Iskandar
mengatakan kekecewaannya kepada Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari
yang pernah menjanjikan akan menanggung biaya Ny. Agian selama berada di
Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM) Jakarta beberapa waktu lalu di
hadapan media massa. Tapi kenyataannya menurut Iskandar, sampai saat ini
hal tersebut belum terealisasi. “Lima menit setelah Ibu menteri
menyatakan hal itu, datang bill pengobatan untuk Hasan. Ini
namanya kebohongan publik yang dilakukan oleh pejabat negara. Apabila
terlaksana Senin depan (9/11), kami akan melaporkan Ibu menteri ke
polisi karena melakukan kebohongan publik,” ungkap Iskandar.
2. Seputar Euthanasia
Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.
Dalam tulisan ini, kita akan berbicara mengenai euthanasia saja. Pertama-tama
perlu diklarifikasi arti kata euthanasia itu sendiri. Euthanasia
bukanlah pengertian yang jelas dan baku, sebab di balik istilah yang
sama ternyata ada pengertian yang berbeda. Perbedaan pengertian ini
terjadi dalam perjalanan sejarah. Harus diakui bahwa terkadang terjadi
perbedaan persepsi dari kalangan ahli, moralis, medis dengan pihak
Gereja sendiri. Setidaknya dengan penelusuran arti euthanasia, kita
semakin mampu menangkap apa itu euthanasia menurut Gereja apabila Gereja
menolaknya dengan tegas. Pada bagian ini akan dibahas euthanasia dalam
tiga segi yaitu arti, sejarah serta macamnya yang ditinjau dari berbagai
sudut. Namun harus diperhatikan juga bahwa pembagian euthanasia dalam
berbagai istilah tersebut terkadang membingungkan karena masing-masing
ahli terkadang mendefinisikan jenis-jenis euthanasia dengan
berbeda-beda.
2.1. Arti
Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani eu (baik) dan thánatos (kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik (good death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak, atau euthanatos (kata sifat) yang berarti “mati dengan mudah“, “mati dengan baik” atau “kematian yang baik”. Secara etimologis, euthanasia di zaman kuno berarti kematian yang tenang tanpa penderitaan yang hebat. Dalam
arti aslinya (Yunani) kata ini lebih berpusat pada cara seseorang mati
yakni dengan hati yang tenang dan damai, namun bukan pada percepatan
kematian.
Dewasa
ini orang menilai euthanasia terarah pada campur tangan ilmu kedokteran
yang meringankan penderitaan orang sakit atau orang yang berada di
sakratul maut. Kadang-kadang proses “meringankan penderitaan” ini
disertai dengan bahaya mengakhiri hidup sebelum waktunya. Dalam arti
yang lebih sempit, euthanasia dipahami sebagai mercy killing, membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan, entah terhadap anak cacat, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak tersembuhkan. Tindakan itu dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tidak bahagia itu diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat. Demikian
pula orang merasa lebih baik mati daripada mengalami degradasi
martabatnya. Orang macam ini melihat bahwa orang yang tidak mampu lagi
bergerak, menderita, tak mampu berbuat apa-apa sebagai penurunan
martabatnya. Maka daripada hidup tanpa martabat, lebih baik mati dengan
martabat ketika orangnya masih kuat dan masih punya kontrol penuh atas
hidupnya.
Dari perjalanan waktu arti euthanasia sendiri mengalami pergeseran
arti. Euthanasia yang pada awalnya berarti kematian yang baik, dewasa
ini diartikan sebagai tindakan untuk mempercepat kematian. Kiranya
penting memahami arti euthanasia itu sendiri sebelum dinilai secara etis
maupun moral. Oleh karena itu, kiranya perlu dilihat arti euthanasia
menurut Gereja.
Gereja sendiri yang dalam hal ini diwakili oleh Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman
mendefinisikan euthanasia sebagai sebuah tindakan atau tidak bertindak
yang menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja mendatangkan
kematian, untuk dengan demikian menghentikan rasa sakit. Jadi, euthanasia dilihat pada taraf intensi dan juga metode yang dipakai. Dalam bahasa Inggris dikatakan demikian, “By
euthanasia is understood an action or an omission which of itself or by
intention causes death, in order that all suffering may in this way be
eliminated. Euthanasia’s terms of reference, therefore, are to be found
in the intention of the will and in the methods used“. Euthanasia
adalah berbuat atau tidak berbuat yang dalam perbuatan itu sendiri atau
dalam intensi menyebabkan kematian agar dengan cara ini semua
penderitaan dapat dihilangkan). Dalam hal ini, yang harus diperhatikan
adalah metode (berbuat/tidak berbuat) dan intensinya (menyebabkan
kematian). Pemakaian kata euthanasia sekarang ini tidak lagi merefer
pada makna aslinya.
Arti euthanasia yang diberikan oleh Kongregasi Suci pada tahun 1980 ini dikutip kembali oleh Dewan para Uskup
Kanada untuk menentukan mana yang dianggap euthanasia dan mana yang
bukan pada tahun 1994. Dewan para uskup Kanada itu menyebutkan bahwa
sebuah suntikan yang mematikan merupakan salah satu contoh tindakan
euthanasia. Orang sering menyebut injeksi yang mematikan ini sebagai
euthanasia aktif.
Dengan demikian pengertian euthanasia dalam Gereja Katolik menyangkut tiga hal yaitu: pertama, sebuah tindakan atau tidak berbuat; kedua, dengan intensi pada kematian seseorang; dan ketiga, dengan maksud mengakhiri
penderitaan seseorang. Oleh karena itu, penilaian atas sebuah tindakan
sebagai euthanasia atau tidak terletak pada intensi dan tindakannya. Untuk
pembahasan selanjutnya, kalau kita berbicara mengenai definisi
euthanasia, pengertian dalam Gereja Katoliklah yang akan kita gunakan.
Akhir-akhir ini banyak terdengar sebutan lain lagi: assisted suicide atau “bunuh diri yang dibantu dokter”.
Maksudnya adalah dokter membantu pasien terminal untuk membunuh dirinya
jika ia memilih mengakhiri penderitaannya. Hal ini biasanya dilakukan
dengan menulis resep untuk obat yang mematikan dalam dosis besar.
Perbedaan dengan euthanasia adalah bahwa pasien terminal membunuh
dirinya sendiri, ia tidak “dibunuh” oleh dokternya. Karena alasan itu,
secara psikologis bunuh diri dengan bantuan seperti itu barangkali tidak
membebani hati nurani profesi medis daripada euthanasia langsung,
tetapi secara etis tidak ada banyak perbedaan. Dalam hal euthanasia
maupun bunuh diri dengan bantuan, dokter adalah pelaku utama untuk
akibat yang sama. Bagi pasien terminal, bunuh diri dengan bantuan
mempunyai konsekuensi bahwa kemungkinannya cukup terbatas karena banyak
pasien terminal tidak sanggup lagi meminum obat atau melakukan tindakan
lain yang perlu untuk mengakhiri hidupnya.
Sebenarnya,
persoalan euthanasia bukanlah hal yang baru. Sepanjang sejarah manusia,
euthanasia sudah diperdebatkan dan dipraktekkan. Sekilas, kita akan
melihatnya.
2.2.1. Lingkup Budaya Yunani-Romawi Kuno
Perdebatan euthanasia dalam era ini dapat dilihat dari pandangan beberapa tokoh kuno. Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an sebelum Masehi, menulis, “Dari
apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih
baik daripada kematian yang baik (Fr. 18)”. Philo, seorang filsuf Yahudi
yang hidup sekitar tahun 20 BC – 50 AD, mengatakan bahwa euthanasia
adalah ‘kematian tenang dan baik’ (Philo 1, 182: de Sacrificiis Abelis et Caini
100). Suetonius, seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140
Masehi memberitakan kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: “Ia
mendapat kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena
ia hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi
keluarganya ‘euthanasia’ bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal
dengan cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus
Augustus 99). Cicero,
seorang sastrawan, hidup sekitar tahun 106 BC, memakai istilah
euthanasia dalam arti ‘kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan
kelayakan’ (Surat kepada Atticus 16.7.3). Seneca, yang bunuh diri tahun
65 M malah menganjurkan, “lebih baik mati daripada sengsara merana“.
2.2.2. Zaman Renaissance
Pada zaman renaissance, pandangan tentang euthanasia diutarakan oleh Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan euthanasia medica,
yaitu bahwa dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya
untuk menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan penderitaan
menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu dimasuki gagasan euthanasia
untuk membantu orang yang menderita waktu mau meninggal dunia. Thomas
More dalam “the Best Form of Government and The New Island of Utopia”
yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk mengakhiri
kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti makan
atau dengan racun yang membiuskan.
2.2.3. Abad XVII-XX
David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh diri (Essays on the suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late of David Hume, London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan euthanasia.
Tahun 20-30-an
abad XX dianggap penting karena mempersiapkan jalan masalah euthanasia
zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan
Alfred Hoche (psikiater) membenarkan euthanasia sebagai pembunuhan atas
hidup yang dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya
yang berjudul : Die Freigabe der Vernichtung lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara mengakhiri
hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo) ternyata
sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar hukum Oktober
1939 yang ditandatangani Hitler.
2.2.4. Sekarang Ini
Dewasa ini, baik di negara-negara Eropa, Amerika Utara maupun Indonesia, perdebatan etis, moral, dan teologis tentang euthanasia semakin marak. Persoalan legalisasi euthanasia pun menjadi tuntutan umum, bahkan euthanasia sudah dilegalkan di Belanda dan Luxemburg. Sementara itu, praktek euthanasia sendiri pun diyakini sudah banyak dilakukan, juga di Indonesia, meskipun secara legal hal itu dilarang.
2.3. Macam-macam Euthanasia
Sebelum kita meninjau persoalan medis, etis, dan teologis, kita perlu mengerti dulu berbagai macam euthanasia. Ada berbagai macam euthanasia:
2.3.1. Dari Sudut Cara/Bentuk
Dari sudut cara atau bentuk, euthanasia dapat dibedakan dalam tiga hal:
a. Euthanasia aktif, artinya mengambil keputusan untuk melaksanakan dengan tujuan menghentikan kehidupan. Tindakan
ini secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, melakukan injeksi dengan obat tertentu agar pasien terminal meninggal.
b. Euthanasia pasif, artinya memutuskan untuk tidak mengambil tindakan atau tidak melakukan terapi. Dokter
atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup kepada pasien. Misalnya,
terapi dihentikan atau tidak dilanjutkan karena tidak ada biaya, tidak
ada alat ataupun terapi tidak berguna lagi. Pokoknya menghentikan terapi
yang telah dimulai dan sedang berlangsung.
c. Auto-euthanasia,
artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima
perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau
mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
2.3.2. Dari Sudut Maksud (Voluntarium)
Dari sudut maksud, euthanasia dapat dibedakan:
a. Euthanasia langsung (direct), artinya tujuan tindakan diarahkan langsung pada kematian.
b. Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan tindakan tidak langsung untuk kematian tetapi untuk maksud lain misalnya meringankan penderitaan.
2.3.3. Dari Sudut Otonomi Penderita
Dari sudut otonomi penderita euthanasia dapat dilihat dalam tiga jenis:
a. Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar dan tidak dapat menyatakan kehendak (incompetent).
b. Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili oleh orang lain (transmitted judgement).
c. Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain (substituted judgement).
2.3.4. Dari Sudut Motif dan Prakarsa
Dari sudut motif dan prakarsa, euthanasia dibedakan menjadi dua:
a. Prakarsa
dari penderita sendiri, artinya penderita sendiri yang meminta agar
hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang tak tersembuhkan atau
karena sebab lain.
b. Prakarsa
dari pihak luar; artinya orang lain yang meminta agar seorang pasien
dihentikan kehidupannya karena berbagai sebab. Pihak lain itu misalnya
keluarganya dengan motivasi untuk menghentikan beban atau belas kasih.
Bisa juga, prakarsa itu datang dari pemerintah karena ideologi tertentu
atau kepentingan yang lain.
2.4. Beberapa Aspek Euthanasia
2.4.1. Aspek Hukum
Undang
undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari dokter sebagai
pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai
suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa
seseorang. Dalam
aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan
euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia
tersebut, tidak
peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat
atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di
lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang
masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki
kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa
dijerat oleh pasal-pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338,
340, 344, 345, dan 359. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau
dari sudut perdata, antara lain pasal 1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH
Perdata.
Secara formal tindakan euthanasia di Indonesia belum memiliki dasar
hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan hukum
terhadap euthanasia yang dilakukan.
2.4.2. Aspek Hak Asasi
Hak
asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya.
Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati
sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal
ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan
tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk
hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit
adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari
segala ketidaknyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan
yang hebat.
2.4.3. Aspek Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan
kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan
medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien.
Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk
mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang
tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya?
Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia,
bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping
tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam
pengurasan dana.
2.4.4. Aspek Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ahli-ahli
agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya.
Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak
Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia,
walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan
sekarat,
dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan
Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar
bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan
apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang
satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila
dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa
orang harus ke dokter
dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di
tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang
berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya
memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis pun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal-hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal-hal
yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada,
atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi
pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya,
maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.
2.5. Cara-cara Euthanasia
Tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni:
a. Langsung dan sukarela: memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih pasien. Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri.
b. Sukarela
tetapi tidak langsung: pasien diberitahu bahwa harapan untuk hidup
kecil sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat
mengakhiri penderitaan dan hidupnya.
c. Langsung
tetapi tidak sukarela: dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya
dengan memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat.
d. Tidak langsung dan tidak sukarela: merupakan tindakan euthanasia pasif yang dianggap paling mendekati moral.
3. Pandangan tentang Euthanasia di Beberapa Agama dan Negara
Ada berbagai macam pandangan euthanasia di beberapa agama. Secara sekilas, kita akan melihatnya.
3.1. Agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah suatu konsekuensi
murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun
yang buruk, lahir atau batin dengan pikiran kata-kata atau tindakan.
Akumulasi terus menerus dari “karma” yang buruk adalah penghalang
“moksa” yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi. Ahimsa adalah
prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti siapa pun juga.
Bunuh
diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu sebab
perbuatan tersebut dapat menjadi faktor yang mengganggu karena
menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia adalah kesempatan yang
sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kelahiran
kembali.
Berdasarkan
kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka
rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada di
dunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia
mencapai masa waktu di mana
seharusnya ia menjalani kehidupan. Misalnya, seseorang bunuh diri pada
usia 17 tahun padahal dia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun. Maka selama
43 tahun rohnya berkelana tanpa arah tujuan. Setelah itu, rohnya masuk
ke neraka untuk menerima hukuman lebih berat; kemudian kembali ke dunia
(reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma”-nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya.
3.2. Agama Buddha
Agama Buddha sangat menekankan larangan untuk membunuh makhluk hidup.
Ajaran ini merupakan moral fundamental dari Sang Buddha. Oleh karena
itu, jelas bahwa euthanasia adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan
dalam ajaran agama Budha. Selain itu, ajaran Budha sangat menekankan
pada “welas asih” (“karuna”). Mempercepat kematian seseorang secara
tidak alamiah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran
Budha. Tindakan jahat itu akan mendatangkan “karma” buruk kepada siapa
pun yang terlibat dalam tindakan euthanasia tersebut.
3.3. Agama Islam
Islam
mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut
merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat
menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:66; 2:243).
Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak
ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang
bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal
tersebut, “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.” (QS 2:195), dan dalam ayat lain disebutkan, “Janganlah engkau
membunuh dirimu sendiri,” (QS 4:29). Euthanasia dalam ajaran Islam
disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut
(euthanasia), yaitu tindakan yang memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun
negatif. Pada
konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981,
dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya
euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
Islam membedakan dua macam euthanasia, yaitu:
a. Euthanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa’al
(euthanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit
–karena kasih sayang– yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan
instrumen (alat). Euthanasia positif dilarang sebab tujuan tindakan
adalah pembunuhan atau mempercepat kematian. Tindakan ini dikategorikan
sebagai pembunuhan dan dosa besar.
b. Euthanasia negatif
Euthanasia negatif disebut taisir al-maut al-munfa’il.
Pada euthanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau
langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia
hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan. Pasien dibiarkan begitu saja
karena pengobatan tidak berguna lagi dan tidak memberikan harapan
apa-apa kepada pasien. Pasien dibiarkan mengikuti saja hukum sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
3.4. Gereja Ortodoks
Gereja
Ortodoks punya kebiasaan untuk mendampingi orang-orang beriman sejak
kelahiran hingga hingga kematian melalui doa, upacara/ritual, sakramen,
khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Kehidupan
hingga kematian dipandang sebagai suatu kesatuan kehidupan manusia.
Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip
pro-kehidupan dan anti euthanasia.
3.5. Agama Yahudi
Agama Yahudi melarang euthanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya ke dalam
“pembunuhan”. Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik
dari Tuhan, sumber dan tujuan kehidupan. Walaupun dengan motivasi yang
baik, misalnya mercy killing, euthanasia merupakan kejahatan karena melawan kewenangan Tuhan. Dasar yang dipakai adalah Kej 1:9, “Tetapi
mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari
segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan
menuntut nyawa sesama manusia”.
3.6. Hukum Euthanasia di Beberapa Negara
Beberapa negara sudah mengatur hukum euthanasia secara tegas. Beberapa contoh yang dapat disebutkan antara lain:
· Belanda.
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang
mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku
sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara
pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien
yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk
mengakhiri penderitaannya. Dalam karangan berjudul “The Slippery Slope
of Dutch Euthanasia” dalam majalah Human Life International Special
Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun
1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan
tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur
yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi
dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan
dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
· Australia.
Negara bagian Australia, Northern Territory, mengizinkan euthanasia dan
bunuh diri dengan bantuan orang lain meski reputasi ini tidak bertahan
lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut “Right
of the terminally ill bill” (UU tentang Hak Pasien Terminal).
Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret
1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia sehingga harus ditarik
kembali. Di negara bagian yang lain, euthanasia adalah tindakan ilegal dan melawan hukum.
· Belgia.
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan euthanasia pada akhir
September 2002. Para pendukung euthanasia menyatakan bahwa ribuan
tindakan euthanasia telah dilakukan setiap tahun sejak legalisasi
tersebut. Namun mereka masih mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan
euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan
“birokrasi kematian”.
· Amerika.
Euthanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika.
Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara
eksplisit mengizinkan pasien terminal mengakhiri hidupnya adalah negara
bagian Oregon. UU euthanasia ditetapkan pada tahun 1997 tentang kematian
yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini
hanya menyangkut bunuh diri dengan bantuan syarat-syarat
yang diwajibkan cukup ketat: usia minimal 18 tahun, kemungkinan hidup
tinggal 6 bulan, harus mengajukan secara tertulis sebanyak 3 kali dan 2
kali secara lisan dengan saksi. Dokter kedua harus mengkonfirmasikan
diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam
mengambil keputusan itu tidak berada dalam gangguan mental. Sebuah
lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Polling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia.
· Kanada. Secara tegas Kanada menolak euthanasia. Euthanasia adalah tindakan ilegal dan melawan hukum.
· Kolumbia.
Secara hukum, Kolumbia masih ambigu dalam menetapkan peraturan yang
jelas. Pada tahun 1997, euthanasia diterima oleh mahkamah konstitusional
tetapi belum pernah diratifikasi oleh kongres/parlemen.
· Indonesia.
Berdasarkan hukum di Indonesia, euthanasia adalah sesuatu perbuatan
yang melawan hukum, melawan Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana:
”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama-lamanya 12 tahun”, dan pasal 345, ““Barangsiapa
sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan
pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”
· Swiss.
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara
Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri.
· Luxemburg.
Baru-baru ini, Luxemburg menjadi negara selanjutnya yang menyetujui
tindakan euthanasia. Ketetapan ini baru diberlakukan 19 Februari 2008
yang lalu. Parlemen telah menyetujui UU yang mengatur euthanasia ini.
· Inggris.
Di Inggris, masih merupakan suatu tindakan melawan hukum. Kebijakan
resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA)
yang secara tegas menentang euthanasia dalam bentuk apa pun.
· Jepang. Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang euthanasia. Demikian
pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah
mengatur mengenai euthanasia tersebut. Ada 2 kasus euthanasia yang
pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat
dikategorikan sebagai “euthanasia pasif” (消極的安楽死, shōkyokuteki anrakushi). Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai University pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai “euthanasia aktif ” (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi).
· Republik Ceko. Di Republik Ceko euthanasia
dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan peraturan
setelah pasal mengenai euthanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana
Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan euthanasia dalam
rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana
selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite
hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial
tersebut dihapus dari rancangan tersebut.
· India.
Di India euthanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan
mengenai larangan euthanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan
dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India
(Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut
dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas
kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang
hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah
diberlakukan terhadap kasus euthanasia sukarela di mana si pasien sendirilah yang menginginkan kematian di mana
si dokter hanyalah membantu pelaksanaan euthanasia tersebut (bantuan
euthanasia). Pada kasus euthanasia secara tidak sukarela (atas keinginan
orang lain) ataupun euthanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.
· China. Di China, euthanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Euthanasia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, di mana seorang yang bernama “Wang Mingcheng”
meminta seorang dokter untuk melakukan euthanasia terhadap ibunya yang
sakit. Akhirnya polisi menangkap juga si dokter yang melaksanakan
permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat
(Supreme People’s Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun
2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada
kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya
euthanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya.
Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.
4. Masalah Euthanasia
Persoalan
euthanasia bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Ada banyak soal di
balik euthanasia yang amat mempengaruhi pilihan dan tidakan untuk
melakukan atau tidak melakukan euthanasia. Masalah-masalah tersebut
adalah:
4.1. Kekaburan Batas Antara Kematian – Kehidupan serta Kemajuan Iptek Kedokteran
Dalam perjalanan sejarah, ada banyak perubahan untuk menentukan apakah seorang dapat dinyatakan mati atau tidak. Definisi kematian tetap sama yaitu berhentinya secara irreversible seluruh fungsi pengaturan manusia sebagai organisme
secara keseluruhan baik mental maupun fisik. Namun kriteria kematian
seseorang sendiri berubah seturut perkembangan ilmu pengetahuan dan
kedokteran. Jaman modern mencatat bahwa kriteria kematian telah berubah
dari cardiac-respiratory (berhentinya denyut jantung dan
pernafasan) menjadi kriteria neurologis yaitu kematian seluruh otak
yakni batang otak dan otak besar. Dalam perkembangan sejarah, kapan
orang dikatakan mati merupakan masalah serius dan menimbulkan banyak
perdebatan. Pada abad XVIII kekhawatiran akan nasib orang mati suri yang
terlanjur dikubur dipecahkan dengan memasang sistem pembebasan dari
peti mati, misalnya: tali untuk membunyikan bel. Atau orang yang baru
mati dijaga kalau-kalau memberi tanda-tanda kehidupan.
Munculnya
aneka macam alat kedokteran seperti stetoskop (abad XIX) membantu para
dokter untuk mendengarkan denyut jantung dengan lebih jelas sehingga
lebih bisa memastikan apakah seseorang sudah mati atau belum. Pada abad
XX ditemukan Electrocardiogram (ECG) yang merupakan sarana
teknis yang lebih cermat untuk memeriksa kegiatan jantung. Sekarang ada
alat yang lebih canggih lagi, Electroencefalogram (EEG) sehingga dokter
dapat memantau kegiatan elektris dalam otak, misalnya interaksi antara
fungsi-fungsi otak, jantung dan paru-paru.
Permasalahan
kekaburan kematian manusia tidak hanya berhenti pada cara penentuan
kematian seseorang melainkan juga semakin dikaburkan dengan kemajuan
teknologi kedokteran. Beberapa fungsi vital organ manusia dapat didukung
oleh teknologi baru, sehingga orang yang secara klinis mati dapat
“dihidupkan kembali” dengan sarana-sarana artifisial. Kesepakatan
mengenai kematian seseorang akan menentukan sikap dan tindakan yang
sama.
Di satu sisi, kemajuan teknologi kedokteran disambut dengan gembira, tapi di sisi lain menimbulkan
kekuatiran dan ketakutan baru. Kemajuan itu adalah berkat bagi manusia
untuk memulihkan kesehatan sekaligus kutuk karena usaha melanjutkan
kehidupan berarti juga memperpanjang penderitaan dan ketidakpastian.
4.2. Kewajiban Memelihara hidup
Permasalahan
euthanasia berkait erat dengan kewajiban memelihara hidup. Misalnya
saja sumpah Hipokrates mengandung dua gagasan yaitu: kesediaan menolong
penderita dan menolak membantu orang untuk bunuh diri. Dua gagasan
sumpah ini dimasukkan ke dalam aneka kode etik kedokteran dewasa ini.
Sumpah ini membantu para tenaga medis untuk menghadapi situasi dan
masalah baru karena kemungkinan “penundaan” saat kematian yang bahkan
menjadi kabur dengan teknologi canggih.
Euthanasia
juga berhadapan dengan gagasan tentang otonomi manusia (penderita).
Keyakinan akan martabat pribadi manusia sebagai subjek pengemban hak
asasi makin meningkat, justru dalam berhadapan dengan
kemungkinan-kemungkinan baru yang disediakan ilmu dan teknologi
kedokteran canggih. Berkaitan dengan otonomi manusia setidaknya
menyangkut dua hal yaitu: hak atas privacy dan hak untuk menolak penanganan serta hak untuk mati.
Di sini ada pergeseran arti. Semula hak untuk mati berarti hak asasi untuk menolak penanganan (basic right to refuse treatment). Namun dewasa ini hak untuk mati berarti hak untuk menolak penanganan yang menyelamatkan hidup (the right to refuse life-saving treatment).
Gagasan ini timbul sehubungan dengan penolakan transfusi darah karena
alasan keagamaan oleh penganut sekte Saksi Yehovah, meskipun transfusi
darah termasuk sarana biasa atau proporsional dalam moral tradisional.
Hak untuk menolak penanganan yang memperpanjang proses meninggal (the right to refuse death-prolonging treatment) juga berarti hak agar penanganan demikian itu dihentikan atas permintaan penderita atau keluarganya.
Hak
untuk mati tumbuh dari gabungan antara hak untuk menolak penanganan
yang menyelamatkan hidup berdasarkan kebebasan agama dan hak untuk
menolak penanganan yang menunda kematian seseorang berdasarkan hak
privacy. Perkembangan menjadi hak untuk mati dapat dipahami sejauh dalam
konteks konkret menolak life-saving treatment dan menolak death-prolonging treatment atau life-support system berarti kematian.
5. Pro dan Kontra Euthanasia
Masalah
euthanasia menimbulkan pro dan kontra. Ada sebagian orang yang
menyetujui euthanasia ini. Sebagian pihak lain menolaknya. Dalam hal ini
tampak adanya batasan karena adanya sesuatu yang mutlak berasal dari
Tuhan dan batasan karena adanya hak asasi manusia. Pembicaraan mengenai
euthanasia tidak akan memperoleh suatu kesatuan pendapat etis sepanjang
masa. Secara sederhana, perdebatan euthanasia dapat diringkas sbb: atas
nama perhormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai
kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia
mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi
pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Apakah pengakhiran hidup
macam itu bisa dibenarkan?
5.1. Pro Euthanasia
Kelompok
ini menyatakan bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan,
dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip
yang menjadi pedoman kelompk ini adalah pendapat bahwa manusia tidak
boleh dipaksa untuk menderita. Jadi, tujuan utamanya adalah meringankan
penderitaan pasien. Argumen yang paling sering digunakan adalah argumen
atas dasar belas kasihan terhadap mereka yang menderita sakit berat dan
secara medis tidak mempunyai harapan untuk pulih.
Argumen pokok mereka adalah pemahaman bahwa kematian menjadi jalan yang
dipilih demi menghindari rasa sakit yang luar biasa dan penderitaan
tanpa harapan si pasien.
Argumen kedua adalah perasaan hormat atau agung terhadap manusia yang
ada hubungannya dengan suatu pilihan yang bebas sebagai hak asasi.
Setiap orang memiliki hak asasi. Di dalamnya termasuk hak untuk hidup
maupun hak untuk mati.
5.2. Kontra Euthanasia
Setiap
orang menerima prinsip nilai hidup manusia. Orang-orang tidak beragama
pun, yang tidak menerima argumen teologis mengenai kesucian hidup,
setuju bahwa hidup manusia itu sangat berharga dan harus dilindungi.
Mereka setuju bahwa membunuh orang adalah tindakan yang salah. Bagi
mereka, euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung.
Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan immoral dan
bertentangan dengan kehendak Tuhan. Mereka berpendapat bahwa hidup
adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada
seorang pun atau institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun
keadaan penderita tersebut. Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan tidak memiliki hak untuk mati.
Penolakan
euthanasia ini berkaitan erat dengan penolakan abortus atas dasar
argumen “kesucian hidup”. Karena kehidupan itu sendiri berharga, maka
hidup manusia tidak pernah boleh diakhiri dalam keadaan apa pun juga.
Banyak orang menolak euthanasia langsung atau aktif karena takut akan
“menginjak lereng licin” (the slippery slope). Jika kita boleh membunuh orang yang sedang dalam proses meninggal dunia atau pasien koma yang irreversible
maka bisa jadi kita akan memperluas pengertian dan mulai membunuh bayi
yang baru lahir, mereka yang sakit jiwa, anak cacat mental, orang yang
tidak produktif atau secara sosial tidak diinginkan. Begitu batas-batas
untuk membunuh diperluas, tidak ada lagi orang yang aman.
Argumen
yang lain adalah argumen berdasarkan ihwal mengasihi diri sendiri.
Ihwal mengasihi diri sendiri secara bertanggung jawab melarang
euthanasia. “Memberikan kehidupan sebagai hadiah dan korban bagi
kehidupan orang lain dapat dibenarkan, sementara menyebabkan kematian
secara langsung karena kesulitan pribadi tidak dibenarkan”.
Dasar bagi larangan tersebut adalah panggilan Allah atas manusia agar
mewujudkan potensi dirinya dan mencapai kepenuhan diri. Manusia juga
harus terbuka terhadap horizon makna ini, juga dalam situasi kemalangan,
sakit, penderitaan, yang dapat mendorongnya untuk melakukan bunuh diri,
karena kehidupan fisik manusia selalu ditopang dan dilindungi Allah
yang menjamin makna hidup.
6. Tinjauan Kedokteran
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti, yaitu:
a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.
b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.
d. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.
e. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.
Profesi
tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi
kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi
medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan.
Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.”
Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia,
termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri
yang membuatnya.
Dalam
pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter
kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti
bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan
mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan
pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah
dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya
sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati
walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik
harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami
kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah
diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula
dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup
terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk
melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan
pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada
aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal
KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa
permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan
permintaan.
Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan
penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.
Namun,
beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan
medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai
penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai
oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut
dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan
perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya
lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis.
7. Tinjauan Filosofis-Etis
Dari
segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan
otonomi dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya
sendiri secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan
bagaimana ia akan mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia
dapat diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi
manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan
matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya
jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna.
Pertanyaannya adalah apakah pengakhiran hidup seperti itu dapat
dibenarkan?
Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide.
Salah satu argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan.
Jika kita mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi
cara ini bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut,
atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi.
Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita harus
menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan
manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai
“kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.
Masing-masing
orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara
intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan
berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari
pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain.
Masing-masing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya
sendiri-sendiri dan oleh karena itu masing-masing orang memiliki tujuan
hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh dipakai hanya
sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh orang
lain.
Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die.
Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak
meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa
lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan
hanya sekedar mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian
yang baik”, tanpa penderitaan yang tidak perlu.
8. Tinjauan Teologis
8.1. Euthanasia dalam Perspektif Kitab Suci
Hidup
manusia adalah dasar segala nilai sekaligus sumber dan persyaratan yang
perlu bagi semua kegiatan manusia dan juga untuk setiap hidup bersama
masyarakat. Kitab Suci memandang hidup manusia itu suci karena berasal
dari Allah sendiri, “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah
dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia
itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2:7). Karena itu, pembunuhan orang
lain tidak dibenarkan karena melawan hukum ilahi, “Jangan membunuh” (Kel
20:13). Hidup dan mati manusia berada di tangan Tuhan karena, “kita
adalah milik Tuhan” (Rom 14:8; bdk. Fil 1:20). Hidup manusia itu suci
karena sejak awal mula melibatkan karya penciptaan Allah dan hal ini
tetap berlangsung selamanya dalam hubungan yang sangat khusus dengan
Sang Pencipta yang adalah satu-satunya tujuan akhir hidup manusia.
Kesucian manusia itu bukan hanya karena asal-usulnya dari Allah tetapi
juga karena tujuan hidup manusia adalah kembali kepada-nya (penebusan).
Karena itu, hidup manusia tidak boleh dilanggar (violated) dan dihancurkan, tetapi harus dilindungi, dijaga, dan dipertahankan.
Euthanasia
dan bunuh diri merupakan penolakan terhadap kedaulatan Allah yang
mutlak atas kehidupan dan kematian, seperti dinyatakan dalam doa Israel
kuno, “Engkau berdaulat atas hidup dan mati; Engkau membawa kepada
gerbang alam maut dan ke atas kembali” (Keb 16:13; bdk. Ayub 13:2).
8.2. Euthanasia dalam Declaration on Euthanasia
Sejak
pertengahan abad ke-20, Gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan
pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang
menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral Gereja
mengenai euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia
Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern
penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah
moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei 1980, Kongregasi untuk Ajaran Iman menerbitkan Declaration on Euthanasia yang
menguraikan pedoman ini lebih lanjut, teristimewa mengingat semakin
meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya
promosi euthanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Dokumen
ini memandang bahwa euthanasia merupakan penyerangan langsung terhadap
hidup manusia yang tidak berdosa. Dokumen ini menyatakan secara jelas:
“It
is necessary to state firmly once more that nothing and no one can in
any way permit the killing of an innocent human being, whether a fetus
or an embryo, an infant or an adult, an old person, or one suffering
from an incurable disease, or a person who is dying. Furthermore, no one
is permitted to ask for this act of killing, either for himself or
herself or for another person entrusted to his or her care, nor can he
or she consent to it, either explicitly or implicitly. Nor can any
authority legitimately recommend or permit such an action. For it is a
question of the violation of the divine law, an offense against the
dignity of the human person, a crime against life, and an attack on
humanity.“
Di
lain pihak, euthanasia tidak langsung dalam kondisi tertentu
diperbolehkan. Para Uskup Amerika Serikat mengeluarkan ajaran resmi,
“Seseorang tidak wajib menggunakan baik sarana-sarana yang ‘luar biasa’
atau sarana-sarana yang ‘tidak sepadan’ untuk mempertahankan hidup,
yaitu sarana-sarana yang dipahami sebagai pemberian harapan akan manfaat
yang tidak masuk akal atau sebagai keterlibatan beban-beban yang
terlalu berat”.
Penentuan apakah suatu tindakan itu “biasa” atau “sepadan” versus “luar
biasa” atau “tidak sepadan” melibatkan pengukuran “jenis tindakan yang
dilakukan, tingkat kompleksitas atau risiko, biaya dan
kemungkinan-kemungkinan menggunakannya” berlawanan dengan “hasil yang
bisa diharapkan, mengingat keadaan si orang yang sakit dan sumber-sumber
fisik dan moral”.
Umumnya, sarana pendukung hidup menawarkan harapan penyembuhan yang
masuk akal kepada para pasien tanpa biaya atau kesulitan yang berat.
8.3. Euthanasia dalam Evangelium Vitae
Ensiklik Evengelium Vitae
yang dikeluarkan oleh Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Maret 1995 juga
berbicara mengenai euthanasia. Secara khusus, ensiklik ini membahas
euthanasia pada artikel no 64-67. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek euthanasia, memperingatkan kita untuk melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari ‘budaya kematian’ …. Jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu”. Euthanasia yang “mengendalikan maut dan mendatangkannya sebelum waktunya, dengan secara “halus” mengakhiri hidupnya sendiri atau hidup orang lain ….. nampak tidak masuk akal dan melawan perikemanusiaan“. Euthanasia merupakan “pelanggaran berat terhadap hukum Allah, karena itu berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moral tidak dapat diterima”. Sebagai pendasaran, teks tersebut menunjuk pada hukum kodrati, Sabda Allah, tradisi dan ajaran umum Gereja Katolik.
8.4. Euthanasia dalam Katekismus Gereja Katolik 1997
Katekismus Gereja Katolik 1997 (No 2276-2279 dan 2324) juga memberikan ikhtisar penjelasan ajaran Gereja Katolik kita tentang hal ini. Gereja Katolik menolak dengan tegas euthanasia aktif. Katekismus no 2277 memberikan penjelasan mengenai hal itu:
“Whatever
its motives and means, direct euthanasia consists in putting an end to
the lives of handicapped, sick, or dying persons. It is morally
unacceptable. Thus an act or omission which, of itself or by intention,
causes death in order to eliminate suffering constitutes a murder
gravely contrary to the dignity of the human person and to the respect
due to the living God, his Creator. The error of judgment into which one
can fall in good faith does not change the nature of this murderous
act, which must always be forbidden and excluded.“
Euthanasia
pasif, dalam arti tertentu, masih diperkenankan dengan catatan bukan
kematian yang dikehendaki melainkan penghentian penanganan medis yang
membebani.
Apa pun bentuk motivasinya, euthanasia yang dikehendaki merupakan suatu
pembunuhan. Euthanasia melawan martabat pribadi manusia dan hormat
terhadap Allah yang hidup, Penciptanya. Dalam keadaan yang sudah sangat sekarat pun tidak dibenarkan menghentikan perawatan yang biasanya diberikan kepada orang sakit.
9. Beberapa Premis Penilaian Moral atas Euthanasia
Dalam
menilai masalah euthanasia, perlu disadari bahwa masalah euthanasia
amat kompleks. Masalah euthanasia tidak pernah berdiri sendiri tetapi
selalu berkait dengan soal lain, misalnya sosial, politik dan ekonomi.
Di sini, hanya disajikan premis untuk penilaian euthanasia dari segi
moral kehidupan.
9.1. Pandangan mengenai hidup
Euthanasia
pada dasarnya berkaitan dengan hidup itu sendiri. Pandangan tentang
hidup itu sendiri amat menentukan sikap dan pilihan atas euthanasia.
Yang dibahas di sini adalah pandangan hidup secara etis dan teologis
9.1.1. Hidup sebagai anugerah
Banyak
peristiwa dalam hidup kita mengatasi perhitungan dan perencanaan
manusia (kemandulan, kesembuhan atau kematian di luar dugaan) dan
menimbulkan keyakinan bahwa hidup itu pada akhirnya adalah anugerah.
Memang manusia meneruskan atau mewariskan kehidupan, tetapi kehidupan
itu sendiri tidak berasal dari padanya, melainkan dalam bahasa religius
dari Tuhan sebagai pencipta dan sumber kehidupan. Dibandingkan dengan
Tuhan, hidup manusia itu kontingen, dapat ada, dapat tidak ada, tetapi
memang de facto ada karena diciptakan Tuhan. Deklarasi tentang euthanasia sendiri menegaskan hal ini dengan mengutip perkataan Santo Paulus ”Bila
kita hidup, kita hidup bagi Tuhan, bila kita mati, kita mati bagi
Tuhan. Apakah kita hidup atau mati, Kita adalah milik Tuhan (Rom 14:8 bdk. Fil1:20)“.
Manusia bukanlah pemilik mutlak dari hidupnya sendiri. manusia
administrator hidup manusia yang harus mempertahankan hidup itu.
Dengan
demikian, manusia tidak mempunyai hak apapun untuk mengambil atau
memutuskan hidup baik hidupnya sendiri maupun hidup orang lain. Euthanasia adalah bentuk dari pembunuhan tu karena euthanasia mengambil hidup orang lain atau hidupnya sendiri (assisted suicide). Euthanasia menjadi salah satu cermin di mana
manusia ingin merebut hak prerogatif dari Allah sendiri yang adalah
Tuhan atas kehidupan. Hal ini ditegaskan Peschke demikian:
“Euthanasia
offends against the exclusive right of disposition by God the Creator
over life and death of a human being; It offends against the good of the
society; and it contradicts the love of self as well as the value of
life as the most fundamental earthly good of man.“
9.1.2. Hidup sebagai nilai asasi yang sangat tinggi.
Dari
sekian banyak nilai, kiranya jelas bahwa hidup merupakan nilai dasar.
Tanpa hidup banyak nilai lainnya menjadi tidak atau kurang berarti.
Karena itu, hidup juga merupakan nilai yang sangat tinggi, bahkan dalam
arti tertentu juga nilai tertinggi di antara nilai-nilai dunia fana. Martabat
hidup manusia tidak berubah meskipun ia berada dalam status “vegetatif”
(PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari
segala sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk
hak-haknya. Karena itu, hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala
kebaikan. Martabat manusia tidak berubah meskipun dia dalam keadaan
koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan
“vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.
9.1.3. Hidup sebagai hak asasi dan nilai yang harus dilindungi
Karena
hidup merupakan anugerah dengan nilai asasi dan sangat tinggi, maka
hidup merupakan hak asasi manusia dan karenanya juga harus dilindungi
terhadap segala hal yang mengancamnya. Paus Yohanes Paulus II juga
menegaskan perlindungan atas kehidupan ini:
“the
Church inteds not only to reaffirm the right to life–the violation of
whic is an offense against the human person and against God the Creator
and Father, the loving source of life – but she also intend to devote
herself ever more fully to the concrete defense and promotion of this
right.”
9.1.4. Hidup sebagai tugas
Anugerah
dan tugas bersifat korelatif, artinya hidup sebagai anugerah sekaligus
berarti hidup mengembangkannya seutuhnya (menurut segala seginya,
seperti biologis, fisik, psikis, kultural, sosial, religius, moral dan
seterusnya). Dalam tugas mengembangkan kehidupan tersirat tanggung jawab
dan hak untuk mempergunakan sarana-sarana yang perlu atau bermanfaat
untuk memenuhi tugas itu sebaik-baiknya.
9.2. Pandangan mengenai Penderitaan dan Kematian
Selain
berkaitan dengan kehidupan, euthanasia juga berurusan dengan kematian.
Maka perlu diperhatikan pula pandangan tentang kematian.
9.2.1. Penderitaan sebagai beban atas anugerah hidup
Hidup
memang anugerah, tetapi tak jarang anugerah ini dibebani kekurangan
kualitas kehidupan berupa penderitaan. Memang penderitaan juga dapat
mempunyai segi positif dan nilainya, tetapi secara manusiawi penderitaan
pertama-tama dirasakan sebagai beban. Menurut
ajaran kristiani, rasa sakit, terutama pada waktu meninggal, dalam
rencana penyelamatan Allah mendapat makna khusus. Penderitaan merupakan
partisipasi dalam penderitaan Kristus dan menghubungkan dengan kurban
penebusan.
9.2.2. Mati dan kematian sebagai keterbatasan anugerah
Hidup
memang anugerah, namun anugerah yang terbatas. Oleh karena itu hidup
harus juga diterima dalam keterbatasannya yaitu kematian. Keterbatasan
sebenarnya bukanlah keburukan, tetapi seringkali dirasakan sebagai
keburukan, meskipun di lain pihak juga dapat diinginkan sebagai
pembebasan. Soalnya sekarang ialah di mana batas itu, kapan saatnya
tiba, sebab manusia dewasa ini makin mampu “menunda” saat kematian atau
“memperpanjang hidup”.
9.2.3. Penderitaan dan kematian dalam cahaya iman
Pandangan ini tidak dimaksudkan sebagai hiburan murah, melainkan memang bersumber pada kekayaan iman yang mempunyai cakrawala yang jauh lebih luas daripada penalaran akal budi tanpa data dari wahyu kristiani. Gereja
Katolik harus mempertimbangkan kematian sebagai sebuah peristiwa
natural. Keterbatasan obat dan kondisi manusia harus dimengerti dengan
baik. Tidak ada harapan bahwa kehidupan fisik dapat dijaga dengan
seluruh biaya yang ada. Kita berharap bagaimana dalam kondisi serta
pemahaman yang benar, orang dapat menerima kematian dengan ikhlas.
10. Penutup
Sampai
saat ini, euthanasia masih menjadi perdebatan dalam hidup umat manusia.
Ada yang bersikap pro dan ada yang bersikap kontra terhadap euthanasia.
Beberapa negara bahkan sudah melegalkan dan mengatur praktek
euthanasia. Gereja sendiri secara tegas menolaknya dalam berbagai
kesempatan. Ajaran Gereja selalu menolak pelaksanaan euthanasia. Declaration on Euthanasia (1980), Ensiklik Evengelium Vitae
(1995), dan Katekismus Gereja Katolik (1997) dengan tegas menolak
euthanasia. Euthanasia merupakan perlawanan terhadap martabat pribadi
manusia dan hormat kepada Allah Sang Pemberi Hidup. Gereja Katolik
selalu menekankan kesucian hidup manusia, penghargaan terhadap martabat
pribadi manusia dan hormat kepada Allah. Euthanasia merupakan kejahatan
melawan kehidupan.
Daftar Pustaka
A. Buku
6. Kubler-Ross, Lima Tahap Proses Terminal, Seri Pastoral 330 No 11, Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 2001.
B. Dokumen
1. Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith, “Declaration on Euthanasia”, 1980.
2. United States Catholic Conference, “Nutrition and Hydration: Moral and Pastoral Reflections”, 1992.
C. Artikel
1. John Paul II, “Letter on Combating Abortion and Euthanasia”, dalam Origins 8 (1991).
3. Canadian Bishops/Senate Testimony, ”What Euthanasia Is and What It Is Not”, dalam Origins 23 (1994).
D. Internet
1. Pollard, Brian. “Euthanasia” http://www.euthanasia.com. /definitions. Html. Di download pada tanggal 27 Februari 2008.
3. “History of Euthanasia” dalam www.euthanasia.com/historyeuthanasia.html, hlm 3 di-download tanggal 27 Februari 2008.
Artikel-artikel pendukung:
1. Bernardin J., “Euthanasia: Ethical and Legal Challenge”, Origins 18 (1988).
2. Canadian Bishops/Senate Testimony, ”What Euthanasia Is and What It Is Not”, Origins 23 (1994).
3. Gula, Richard, “Moral Perspectives on Euthanasia”, Studies in Christian Ethics 1 (1991).
4. John Paul II, “Letter on Combating Abortion and Euthanasia”, Origins 8 (1991).
5. Ohio Bishops/ Health Care, “Pastoral Reflection: Euthanasia, Assisted Suicide”, Origins 21 (1993).
6. Peschke, K.H., “The Pros and Cons of Euthanasia Reexamnined”, The Irish Theological Quarterly 1 (1992).
7. Thekkel, J., “Declaration on Euthanasia”, Indian Theological Studies 1 (1982).
Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith, “Declaration on Euthanasia”, 1980.
Canadian Bishops/Senate Testimony, ”What Euthanasia Is and What It Is Not”, dalam Origins 23 (1994) 394.
Piet Go, Euthanasia, 14.