Jumat, 23 November 2012

PINGSAN / SINKOP

Pingsan atau disebut juga sinkop ialah kehilangan kesadaran sesaat karena aliran darah ke otak untuk sementara berkurang. Berbeda dengan shock, denyut nadi menjadi lebih lambat, meskipun akan segera meningkat kembali. Biasanya pasien bisa segera pulih. 1
Dalam menangani pasien yang mengalami sinkop, kita harus bisa memastikan faktor pencetus atau penyebab sehingga penanganan yang dilakukan bisa sesuai. Penyebab pingsan yang patut kita perhatikan di antaranya adalah gangguan tonus vaskular atau volume darah, gangguan kardiovaskular, penyakit serebrovaskular, serta kelainan lain seperti gangguan metabolik, psikogenik dan kejang. 2 Sinkop yang disebabkan oleh kelainan jantung beresiko menyebabkan kematian. 3
Sebagai bentuk pencegahan, pasien yang mengalami sinkop berulang atau memiliki riwayat pingsan tanpa gejala terlebih dahulu sebaiknya menghindari kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan cedera lebih lanjut apabila dia sampai kehilangan kesadaran pada saat melakukan kegiatan tersebut seperti berenang sendirian, mengoperasikan mesin berat atau mengemudi. Pasien usia lanjut dengan pusing atau sinkop beresiko mendapatkan cedera traumatik. Morbiditas dan mortalitas pasien usia lanjut sangat signifikan saat mereka terjatuh ketika kehilangan kesadaran.2, 3
Sebelum seseorang pingsan, biasanya ada pertanda yang dirasakan. Oleh karena itu, bisa dilakukan pernafasan dalam, serta teknik relaksasi untuk menghindari pingsan. Teknik tersebut bisa membantu mengontrol pingsan yang berkaitan dengan regulasi tekanan darah.4
Berbaring setidaknya 10-15 menit ditempat yang sejuk dan tenang. Pada saat muncul gejala akan pingsan seperti kepala terasa ringan, mual atau kulit dingin dan lembab, dapat dilakukan counter-pressure maneuvers seperti mengepalkan jari tangan, menegangkan tangan, dan menyilangkan kaki atau merapatkan paha. Jika pingsan terjadi sering tanpa kejadian yang memicu, biasanya merupakan pertanda penyakit jantung yang mendasarinya. 5
Jika sudah mengalami kehilangan kesadaran, pasien sebaiknya diposisikan pada posisi yang mendukung aliran darah ke otak, terlindung dari trauma dan mendapatkan jalan nafas yang aman. Tindakan yang dapat dilakukan pada pertolongan pertama pada pingsan adalah membaringkan pasien dengan kaki ditinggikan dan ditopang. Pasien harus dipastikan bisa mendapatkan udara segar. Oleh karena itu, jendela sebaiknya dibuka atau jika berada di luar ruangan atau di keramaian, jangan sampai dikerubungi. Jika kesadaran tidak segera pulih, pernapasan dan nadi harus diperiksa serta bersiap melakukan resusitasi untuk mengantipasi apabila diperlukan. 1
Jika memungkinkan, pasien sebaiknya terbaring dengan posisi supinasi serta kepala menghadap ke satu sisi untuk mencegah aspirasi dan terhambatnya jalan nafas oleh lidah. Selanjutnya, penilaian nadi dan auskultasi jantung dapat membantu menentukan apakah pingsan tersebut berkaitan dengan bradiaritmia atau takiaritmia. Pakaian yang menempel ketat sebaiknya dilonggarkan, terutama pada leher dan pinggang. Stimulasi perifer seperti meneteskan air pada wajah dapat membantu menyadarkan pasien. Pemberian apapun ke mulut pasien, termasuk air, sebaiknya dihindari jika pasien masih berada dalam kelemahan secara fisik. 2
Secara umum, penatalaksanaan penurunan kesadaran dapat dibagi menjadi dua. 6
1. Umum
  1. Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit ekstensi bila tidak ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan tekanan intracranial yang meningkat.
  2. Posisi Trendelenburg berguna untuk mengeluarkan cairan trakeobronkhial, untuk memastikan jalan nafas lapang. Gigi palsu dikeluarkan serta lakukan suction di daerah nasofaring jika diduga ada cairan.
  3. Lakukan  imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infuse sesuai dengan kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.
  4. Pasang monitor jantung jika tersedia bersamaan dengan melakukan EKG.
  5. Pasang nasogastric tube, keluarkan isi lambung untuk mencegah aspirasi, lakukan bilas lambung jika diduga terjadi intoksikasi. Berikan thiamin 100 mg iv, berikan destrosan 100 mg/kgbb.
2. Khusus
  1. Pada herniasi
  • pasang ventilator lakukan hiperventilasi dengan target PCO2:25-30 mmHg
  • Berikan manitol 20% dengan dosis 1-2 gr/kgbb atau 100 gr iv. Selama 10-20 menit kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 gr/kgbb atau 25 gr setiap 6 jam.
  • Edema serebri karena tumor atau abses dapat diberikan deksametason 10 mg iv lanjutkan 4-6 mg setiap 6 jam.
  • Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT yang operable seperti epidural hematom, konsul bedah saraf untuk operasi dekompresi
  1. Tanpa herniasi
  • ulang pemeriksaan neurologi yang lebih teliti
  • jika pada CT scan tidak ditemukan kelainan, lanjutkan dengan pemeriksaan fungsi lumbal . Jika LP positif ada infeksi, berikan antibiotic yang sesuai. Jika ada pedarahan terapi sesuai dengan pengobatan subarachnoid hemorrhage.

Pasien yang mengalami sinkop vasovagal sebaiknya diinstruksikan untuk menghindari situasi atau stimulus yang menyebabkan dia kehilangan kesadaran sebelumnya atau bisa juga disarankan untuk berbaring apabila gejala awal pingsan mulai terasa. Tilt training, berdiri dan bersandar melawan tembok dengan waktu yang semakin lama tiap harinya, biasanya digunakan untuk pasien yang mengalami intoleransi ortostatik. Jika pingsan berkaitan dengan deplesi volume intravaskular, pemberian garam dan cairan dapat dilakukan untuk mencegah pingsan.
Sinkop vasovagal yang persisten dapat ditangani dengan terapi obat terutama jika sering terjadi maupun berkaitan dengan resiko tertentu terhadap cedera. Antagonis reseptor β-adrenergik seperti metoprotol (25-50 mg), atenolol (25-50 mg) atau nadolol (10-20 mg) merupakan obat yang sering digunakan. Obat-obatan tersebut dapat mengurangi peningkatan kontraktilitas miokardial yang menstimulasi mekanoreseptor ventrikel kiri dan juga mengeblok reseptor serotinin sentral. Serotonin reuptake inhibitor seperti paroxetine (20-40mg), sertraline (25-50 mg) juga bisa digunakan. Kedua obat ini sering digunakan sebagai obat lini pertama terutama pada pasien muda. Selain itu, obat antidepresan seperti bupropion SR (150 mg) juga juga terkadang digunakan.
Pemberian Hidrofludrokortison (0,1-0,2 mg) dapat memberikan efek retensi natrium, ekspansi volume, dan vasokonstriksi perifer dengan meningkatkan sensitifitas β-reseptor terhadap katekolamin endogen. Obat tersebut bisa efektif diberikan pada pasien sinkop dengan deplesi volume intravaskular serta hipotensi postural. Proamatine (2,5-10 mg), sebuah α-agonist juga biasa digunakan sebagai agen lini pertama. 2,3
Disopiramid (150 mg), obat antiaritmia vagolitik dengan inotropik negatif, serta vagolitik lain seperti transdermal scopolamine, telah digunakan untuk menangani sinkop vasovagal. Begitu juga dengan teofilin dan efedrin. Selain dengan obat, pasien dengan artimia juga bisa ditatalaksana dengan pemasangan pacemaker. 3
Pasien dengan hipotensi ortostatik sebaiknya diinstuksikan untuk bangun secara perlahan dan sistematis dari ranjang ke kursi. Pergerakan kaki sebelum bangkit bisa membantu venous return dari ekstremitas bawah. Jika memungkinkan, pengobatan yang dapat memperburuk keadaan seperti vasodilator dan diuretik sebaiknya tidak dilanjutkan.2,4 Elevasi kepala dan penggunaan kompresi stocking juga bisa membantu. Terapi tambahan yang bisa dilakukan di antaranya adalah pemberian garam dan obat-obatan seperti simpatomimetik amin, monoamine oksidase inhibitor, beta blocker, dan levodopa. 2 Sementara itu, pasien dengan hipotensi postprandial sebaiknya menghindari makan besar serta aktivitas fisik setelah makan. 2,3
Neuralgia glosofaringeal dapat ditangani dengan carbamazepine, yang dapat menangani pingsan sekaligus nyerinya. Pasien dengan sindrom sinus karotis sebaiknya menghindari pakaian atau situasi yang dapat menstimulasi baroreseptor. Jangan menggunakan pakaian yang ketat pada leher serta menghindari gerakan leher yang berlebihan. 3 Saat menoleh ke satu sisi, disarankan untuk menggerakan seluruh badan, tidak hanya kepala saja. Paroxetine merupakan obat yang cukup terbukti memperbaiki gejala sinkop vasovagal, tetapi tidak disarankan untuk pasien geriatri. 3Sinkop yang sering terjadi karena respopn kardioinhibitori terhadap stimulasi sinus karotis sebaiknya ditangani dengan pemasangan pacemaker permanen. 2
Individu dengan sinkop yang tidak bisa dijelaskan oleh semua pemeriksaan kemungkinan besar berkaitan dengan kondisi psikiatri. Pasien dengan sinkop sebaiknya dirawat di rumah sakit jika kejadiannya berkaitan dengan abnormalitas yang mengancam nyawa atau kambuh dengan kemungkinan cedera yang signifikan. Pemeriksaan dengan elektrokardiogram juga sebaiknya dilakukan. Jika kondisi jantung pasien normal atau jelas pingsan karena pengaruh vasovagal atau sinkop situasional, pasien bisa dipulangkan. 2

Nutrisi dan suplemen4
Mengingat banyak kasus yang berkaitan dengan jantung, suplemen yang diberikan biasanya berguna untuk meningkatkan kesehatan jantung.
  1. Asam lemak omega-3, seperti minyak ikan, berguna untuk menurunkan inflamasi serta meningkatkan kesehatan jantung. Penggunaan bersama warfarin harus diperhatikan karena dapat meningkatkan resiko perdarahan.
  2. Multivitamin harian yang berisi vitamin antioksidan seperti A, C, E, vitamin B dan mineral (Mg, Ca, asam folat, Zinc, dan Selenium).
  3. Koenzim Q10, 100-200 mg pada bedtime yang merupakan antioksidan.
  4. Acetyl-L-carnitine, 500 mg perhari (antioksidan)
  5. Alpha-lipoic acid, 25-50 mg dua kali perhari (antioksidan)
  6. L-arginine (1-2 gram satu atau dua kali perhari). Tidak disarankan pada pasien dengan infeksi virus seperti herpes
Zat-zat herbal yang dapat digunakan di antaranya adalah
  • Green tea (camellia sinensis), 250-500 mg perhari, merupakan antioksidan dan antiinflamasi.
  • Bilberry (Vaccinium myrtillus). 80 mg dua sampai tiga kali perhari, merupakan antioksidan yang membantu memperlancar sirkulasi.
  • Ginkgo (Ginkgo biloba), 40-80 mg tiga kali perhari, merupakan antioksidan.

Glukoneogenesis


GLUKONEOGENESIS
Pada dasarnya glukoneogenesis adalah sintesis glukosa dari senyawa bukan karbohidrat, misalnya asam laktat dan beberapa asam amino. Proses glukoneogenesis berlangsung terutama dalam hati. Asam laktat yang terjadi pada proses glikolisis dapat dibawa oleh darah ke hati. Di sini asam laktat diubah menjadi glukosa kembali melalui serangkaian reaksi dalam suatu proses yaitu glukoneogenesis (pembentukan gula baru).
Glukoneogenesis yang dilakukan oleh hati atau ginjal, menyediakan suplai glukosa yang tetap. Kebanyakan karbon yang digunakan untuk sintesis glukosa akhirnya berasal dari katabolisme asam amino. Laktat yang dihasilkan dalam sel darah merah dan otot dalam keadaan anaerobik juga dapat berperan sebagai substrat untuk glukoneogenesis. Glukoneogenesis mempunyai banyak enzim yang sama dengan glikolisis, tetapi demi alasan termodinamika dan pengaturan, glukoneogenesis bukan kebalikan dari proses glikolisis karena ada tiga tahap reaksi dalam glikolisis yang tidak reversibel, artinya diperlukan enzim lain untuk reaksi kebalikannya.

glukokinase
1. Glukosa + ATP Glukosa-6-fosfat + ADP

fosfofruktokinase
2. Fruktosa-6-fosfat + ATP fruktosa-1,6-difosfat + ADP

piruvatkinase
3. Fosfenol piruvat + ADP asam piruvat + ATP


Enzim glikolitik yang terdiri dari glukokinase, fosfofruktokinase, dan piruvat kinase mengkatalisis reaksi yang ireversibel sehingga tidak dapat digunakan untuk sintesis glukosa. Dengan adanya tiga tahap reaksi yang tidak reversibel tersebut, maka proses glukoneogenesis berlangsung melalui tahap reaksi lain. Reaksi tahap pertama glukoneogenesis merupakan suatu reaksi kompleks yang melibatkan beberapa enzim dan organel sel (mitokondrion), yang diperlukan untuk mengubah piruvat menjadi malat sebelum terbentuk fosfoenolpiruvat.

Tiga reaksi pengganti yang pertama mengubah piruvat menjadi fosfoenolpiruvat (PEP), jadi membalik reaksi yang dikatalisis oleh piruvat kinase. Perubahan ini dilakukan dalam 4 langkah. Pertama, piruvat mitokondria mengalami dekarboksilasi membentuk oksaloasetat. Reaksi ini memerlukan ATP (adenosin trifosfat) dan dikatalisis oleh piruvat karboksilase. Seperti banyak enzim lainnya yang melakukan reaksi fiksasi CO2, pada reaksi ini memerlukan biotin untuk aktivitasnya. Oksaloasetat direduksi menjadi malat oleh malat dehidrogenase mitokondria. Pada reaksi ini, glukoneogenesis secara singkat mengalami overlap (tumpang tindih) dengan siklus asam sitrat. Malat meninggalkan mitokondria dan dalam sitoplasma dioksidasi membentuk kembali oksaloasetat. Kemudian oksaloasetat sitoplasma mengalami dekarboksilasi membentuk PEP pada reaksi yang tidak memerlukan GTP (guanosin trifosfat) yang dikatalisis oleh PEP karboksikinase.
Reaksi pengganti kedua dan ketiga dikatalisis oleh fosfatase. Fruktosa-1,6-bisfosfatase mengubah fruktosa-1,6-bisfosfat menjadi fruktosa-6-fosfat, jadi membalik reaksi yang dikatalisis oleh fosfofruktokinase. Glukosa-6-fosfatase yang ditemukan pada permulaan metabolisme glikogen, mengkatalisis reaksi terakhir glukoneogenesis dan mengubah glukosa-6-fosfat menjadi glukosa bebas.
Dengan penggantian reaksi-reaksi pada glikolisis yang secara termodinamika ireversibel, glukoneogenesis secara termodinamika seluruhnya menguntungkan dan diubah dari lintasan yang menghasilkan energi menjadi lintasan yang memerlukan energi. Dua fosfat berenergi tinggi digunakan untuk mengubah piruvat menjadi PEP. ATP tambahan digunakan untuk melakukan fosforilasi 3-fosfogliserat menjadi 1,3-bisfosfogliserat. Diperlukan satu NADH pada perubahan 1,3-bisfosfogliserat menjadi gliseraldehida-3-fosfat. Karena 2 molekul piruvat digunakan pada sintesis satu glukosa, maka setiap molekul glukosa yang disintesis dalam glukoneogenesis, sel memerlukan 6 ATP dan 2 NADH. Glikolisis dan glukoneogenesis tidak dapat bekerja pada saat yang sama. Oleh karena itu, ATP dan NADH yang diperlukan pada glukoneogenesis harus berasal dari oksidasi bahan bakar lain, terutama asam lemak.
Walaupun lemak menyediakan sebagian besar energi untuk glukoneogenesis, tetapi lemak hanya menyumbangkan sedikit fraksi atom karbon yang digunakan sebagai substrat. Ini sebagai akibat struktur siklus asam sitrat. Asam lemak yang paling banyak pada manusia yaitu asam lemak dengan jumlah atom karbon genap didegradasi oleh enzim -oksidasi menjadi asetil-KoA. Asetil KoA menyumbangkan fragmen 2-karbon ke siklus asam sitrat, tetapi pada permulaan siklus 2 karbon hilang sebagai CO2. Jadi, metabolisme asetil KoA tidak mengakibatkan peningkatan jumlah oksaloasetat yang tersedia untuk glukoneogenesis. Bila oksaloasetat dihilangkan dari siklus dan tidak diganti, kapasitas pembentukan ATP dari sel akan segera membahayakan. Siklus asam sitrat tidak terganggu selama glukoneogenesis karena oksaloasetat dibentuk dari piruvat melalui reaksi piruvat karboksilase.
Kebanyakan atom karbon yang digunakan pada sintesis glukosa disediakan oleh katabolisme asam amino. Beberapa asam amino yang umum ditemukan mengalami degradasi menjadi piruvat. Oleh karena itu masuk ke proses glukoneogenesis melalui reaksi piruvat karboksilase. Asam amino lainnya diubah menjadi zat antara 4 atau 5 karbon dari siklus asam sitrat sehingga dapat membantu meningkatkan kandungan oksaloasetat dan malat mitokondria. Dari 20 asam amino yang sering ditemukan dalam protein, hanya leusin dan lisin yang seluruhnya didegradasi menjadi asetil-KoA yang menyebabkan tidak dapat menyediakan substrat untuk glukoneogenesis.

Pengaturan Glukoneogenesis
Hati dapat membuat glukosa melalui glukoneogenesis dan menggunakan glukosa melalui glikolisis sehingga harus ada suatu sistem pengaturan yang mencegah agar kedua lintasan ini bekerja serentak.Sistem pengaturan juga harus menjamin bahwa aktivitas metabolik hati sesuai dengan status gizi tubuh yaitu pembentukan glukosa selama puasa dan menggunakan glukosa saat glukosa banyak. Aktivitas glukoneogenesis dan glikolisis diatur secara terkoordinasi dengan cara perubahan jumlah relatif glukagon dan insulin dalam sirkulasi.
Bila kadar glukosa dan insulin darah turun, asam lemak dimobilisasi dari cadangan jaringan adipose dan aktivitas -oksidasi dalam hati meningkat. Hal ini mengakibatkan peningkatan konsentrasi asam lemak dan asetil-KoA dalam hati. Karena asam amino secara serentak dimobilisasi dari otot, maka juga terjadi peningkatan kadar asam amino terutama alanin. Asam amino hati diubah menjadi piruvat dan substrat lain glukoneogenesis. Peningkatan kadar asam lemak, alanin, dan asetil-KoA semuanya memegang peranan mengarahkan substrat masuk ke glukoneogenesis dan mencegah penggunaannya oleh siklus asam sitrat. Asetil-KoA secara alosterik mengaktifkan piruvat karboksilase dan menghambat piruvat dehidrogenase. Oleh karena itu, menjamin bahwa piruvat akan diubah menjadi oksaloasetat. Piruvat kinase dihambat oleh asam lemak dan alanin, jadi menghambat pemecahan PEP yang baru terbentuk menjadi piruvat.
Pengaturan hormonal fosfofruktokinase dan fruktosa-1,6-bisfosfatase diperantarai oleh senyawa yang baru ditemukan yaitu fruktosa 2,6-bisfosfat. Pembentukan dan pemecahan senyawa pengatur ini dikatalisis oleh enzim-enzim yang diatur oleh fosforilasi dan defosforilasi. Perubahan konsentrasi fruktosa-2,6-bisfosfat sejajar dengan perubahan untuk glukosa dan insulin yaitu konsentrasinya meningkat bila glukosa banyak dan berkurang bila glukosa langka. Fruktosa-2,6- bisfosfat secara alosterik mengaktifkan fosfofruktokinase dan menghambat fruktosa 1,6-bisfosfatase. Jadi, bila glukosa banyak maka glikolisis aktif dan glukoneogenesis dihambat. Bila kadar glukosa turun, peningkaan glukagon mengakibatkan penurunan konsentrasi fruktosa-2,6-bisfosfat dan penghambatan yang sederajat pada glikolisis dan pengaktifan glukoneogenesis.



Daftar Pustaka
Poedjiadi,A.2005.Dasar-dasar Biokimia.UI-Press,Jakarta.
Wirahadikusumah,M.1985.Biokimia:metabolisme energi, karbohidrat, dan lipid. Penerbit ITB, Bandung.

EUTHANASIA Tinjauan dari Segi Medis, Etis, dan Moral




1. Pendahuluan
“Saya tidak hidup. Saya dibuat untuk hidup. Saya tetap hidup. Untuk siapa, untuk apa yang tak saya ketahui, yang saya tahu saya hanyalah mayat hidup!ratap Vincent Humbert. Kondisi tanpa daya ini membuat Vincent tak mau meneruskan hidupnya. Pada November 2002, ia mengirimkan surat kepada Presiden Prancis, Jacques Chirac, meminta agar ia diberi hak untuk mati. Chirac membalas surat Vincent dan menelponnya ke rumah sakit, menjelaskan bahwa ia tak bisa memenuhi permintaannya itu. Vincent pun akhirnya menyusun rencana kematian bersama ibunya, Marie Humbert. Ia juga menulis buku berisi penjelasan soal kasusnya – dibantu seorang wartawan bernama Frederick Veille.
Kemudian tepat tiga tahun setelah kecelakaan, Vincent dan Marie melaksanakan rencana mereka, Marie menyuntikkan obat penenang dengan dosis berlebih ke pembuluh darah putranya. Hari berikutnya, buku karya Vincent, Vous Demande le Droit de Mourir (Saya Meminta Pada Anda Hak untuk Mati) terbit.
Di Indonesia pun pernah heboh soal euthanasia. Menjelang pengumuman putusan permohonan penetapan euthanasia oleh Hasan Kesuma atas nama istrinya, Agian Isna Nauli oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Ketua Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Iskandar Sitorus sebagai kuasa hukum Hasan mengatakan pihaknya sudah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
“Apabila PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan kami, maka kami akan melanjutkan dengan meminta pihak yang akan melakukan eksekusi. Sedangkan kalau PN Jakarta Pusat menolak gugatan kami, maka kami akan mengajukan upaya hukum berupa penetapan ke Mahkamah Agung”, jelasnya.
Iskandar mengatakan kekecewaannya kepada Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari yang pernah menjanjikan akan menanggung biaya Ny. Agian selama berada di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM) Jakarta beberapa waktu lalu di hadapan media massa. Tapi kenyataannya menurut Iskandar, sampai saat ini hal tersebut belum terealisasi. “Lima menit setelah Ibu menteri menyatakan hal itu, datang bill pengobatan untuk Hasan. Ini namanya kebohongan publik yang dilakukan oleh pejabat negara. Apabila terlaksana Senin depan (9/11), kami akan melaporkan Ibu menteri ke polisi karena melakukan kebohongan publik,” ungkap Iskandar.

2. Seputar Euthanasia
Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:
1.       Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2.      Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3.      Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.
Dalam tulisan ini, kita akan berbicara mengenai euthanasia saja. Pertama-tama perlu diklarifikasi arti kata euthanasia itu sendiri. Euthanasia bukanlah pengertian yang jelas dan baku, sebab di balik istilah yang sama ternyata ada pengertian yang berbeda. Perbedaan pengertian ini terjadi dalam perjalanan sejarah. Harus diakui bahwa terkadang terjadi perbedaan persepsi dari kalangan ahli, moralis, medis dengan pihak Gereja sendiri. Setidaknya dengan penelusuran arti euthanasia, kita semakin mampu menangkap apa itu euthanasia menurut Gereja apabila Gereja menolaknya dengan tegas. Pada bagian ini akan dibahas euthanasia dalam tiga segi yaitu arti, sejarah serta macamnya yang ditinjau dari berbagai sudut. Namun harus diperhatikan juga bahwa pembagian euthanasia dalam berbagai istilah tersebut terkadang membingungkan karena masing-masing ahli terkadang mendefinisikan jenis-jenis euthanasia dengan berbeda-beda.

2.1. Arti
Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani eu (baik) dan thánatos (kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik (good death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak, atau euthanatos (kata sifat) yang berarti mati dengan mudah“, “mati dengan baik” atau “kematian yang baik”[2]. Secara etimologis, euthanasia di zaman kuno berarti kematian yang tenang tanpa penderitaan yang hebat. Dalam arti aslinya (Yunani) kata ini lebih berpusat pada cara seseorang mati yakni dengan hati yang tenang dan damai, namun bukan pada percepatan kematian.
Dewasa ini orang menilai euthanasia terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan penderitaan orang sakit atau orang yang berada di sakratul maut. Kadang-kadang proses “meringankan penderitaan” ini disertai dengan bahaya mengakhiri hidup sebelum waktunya. Dalam arti yang lebih sempit, euthanasia dipahami sebagai mercy killing[3], membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan, entah terhadap anak cacat, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak tersembuhkan. Tindakan itu dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tidak bahagia itu diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat[4]. Demikian pula orang merasa lebih baik mati daripada mengalami degradasi martabatnya. Orang macam ini melihat bahwa orang yang tidak mampu lagi bergerak, menderita, tak mampu berbuat apa-apa sebagai penurunan martabatnya. Maka daripada hidup tanpa martabat, lebih baik mati dengan martabat ketika orangnya masih kuat dan masih punya kontrol penuh atas hidupnya.
Dari perjalanan waktu arti euthanasia sendiri mengalami pergeseran arti. Euthanasia yang pada awalnya berarti kematian yang baik, dewasa ini diartikan sebagai tindakan untuk mempercepat kematian. Kiranya penting memahami arti euthanasia itu sendiri sebelum dinilai secara etis maupun moral. Oleh karena itu, kiranya perlu dilihat arti euthanasia menurut Gereja.
Gereja sendiri yang dalam hal ini diwakili oleh Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman mendefinisikan euthanasia sebagai sebuah tindakan atau tidak bertindak yang menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja mendatangkan kematian, untuk dengan demikian menghentikan rasa sakit. Jadi, euthanasia dilihat pada taraf intensi dan juga metode yang dipakai. Dalam bahasa Inggris dikatakan demikian, By euthanasia is understood an action or an omission which of itself or by intention causes death, in order that all suffering may in this way be eliminated. Euthanasia’s terms of reference, therefore, are to be found in the intention of the will and in the methods used[5]. Euthanasia adalah berbuat atau tidak berbuat yang dalam perbuatan itu sendiri atau dalam intensi menyebabkan kematian agar dengan cara ini semua penderitaan dapat dihilangkan). Dalam hal ini, yang harus diperhatikan adalah metode (berbuat/tidak berbuat) dan intensinya (menyebabkan kematian). Pemakaian kata euthanasia sekarang ini tidak lagi merefer pada makna aslinya.
Arti euthanasia yang diberikan oleh Kongregasi Suci pada tahun 1980 ini dikutip kembali oleh Dewan para Uskup Kanada untuk menentukan mana yang dianggap euthanasia dan mana yang bukan pada tahun 1994. Dewan para uskup Kanada itu menyebutkan bahwa sebuah suntikan yang mematikan merupakan salah satu contoh tindakan euthanasia. Orang sering menyebut injeksi yang mematikan ini sebagai euthanasia aktif[6].
Dengan demikian pengertian euthanasia dalam Gereja Katolik menyangkut tiga hal yaitu: pertama, sebuah tindakan atau tidak berbuat; kedua, dengan intensi pada kematian seseorang; dan ketiga, dengan maksud mengakhiri penderitaan seseorang. Oleh karena itu, penilaian atas sebuah tindakan sebagai euthanasia atau tidak terletak pada intensi dan tindakannya. Untuk pembahasan selanjutnya, kalau kita berbicara mengenai definisi euthanasia, pengertian dalam Gereja Katoliklah yang akan kita gunakan.
Akhir-akhir ini banyak terdengar sebutan lain lagi: assisted suicide atau “bunuh diri yang dibantu dokter”[7]. Maksudnya adalah dokter membantu pasien terminal untuk membunuh dirinya jika ia memilih mengakhiri penderitaannya. Hal ini biasanya dilakukan dengan menulis resep untuk obat yang mematikan dalam dosis besar. Perbedaan dengan euthanasia adalah bahwa pasien terminal membunuh dirinya sendiri, ia tidak “dibunuh” oleh dokternya. Karena alasan itu, secara psikologis bunuh diri dengan bantuan seperti itu barangkali tidak membebani hati nurani profesi medis daripada euthanasia langsung, tetapi secara etis tidak ada banyak perbedaan. Dalam hal euthanasia maupun bunuh diri dengan bantuan, dokter adalah pelaku utama untuk akibat yang sama. Bagi pasien terminal, bunuh diri dengan bantuan mempunyai konsekuensi bahwa kemungkinannya cukup terbatas karena banyak pasien terminal tidak sanggup lagi meminum obat atau melakukan tindakan lain yang perlu untuk mengakhiri hidupnya.

2.2. Sejarah Euthanasia[8]
Sebenarnya, persoalan euthanasia bukanlah hal yang baru. Sepanjang sejarah manusia, euthanasia sudah diperdebatkan dan dipraktekkan. Sekilas, kita akan melihatnya.

2.2.1. Lingkup Budaya Yunani-Romawi Kuno
Perdebatan euthanasia dalam era ini dapat dilihat dari pandangan beberapa tokoh kuno. Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an sebelum Masehi, menulis, “Dari apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang baik (Fr. 18)”. Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC – 50 AD, mengatakan bahwa euthanasia adalah ‘kematian tenang dan baik’ (Philo 1, 182: de Sacrificiis Abelis et Caini 100). Suetonius, seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi memberitakan kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: “Ia mendapat kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya ‘euthanasia’ bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus Augustus 99). Cicero, seorang sastrawan, hidup sekitar tahun 106 BC, memakai istilah euthanasia dalam arti ‘kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan kelayakan’ (Surat kepada Atticus 16.7.3). Seneca, yang bunuh diri tahun 65 M malah menganjurkan, lebih baik mati daripada sengsara merana.

2.2.2. Zaman Renaissance
Pada zaman renaissance, pandangan tentang euthanasia diutarakan oleh Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan euthanasia medica, yaitu bahwa dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu dimasuki gagasan euthanasia untuk membantu orang yang menderita waktu mau meninggal dunia. Thomas More dalam “the Best Form of Government and The New Island of Utopia” yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti makan atau dengan racun yang membiuskan.

2.2.3. Abad XVII-XX
David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh diri (Essays on the suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late of David Hume, London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan euthanasia.
Tahun 20-30-an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan jalan masalah euthanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater) membenarkan euthanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die Freigabe der Vernichtung lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo) ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar hukum Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.

2.2.4. Sekarang Ini
Dewasa ini, baik di negara-negara Eropa, Amerika Utara maupun Indonesia, perdebatan etis, moral, dan teologis tentang euthanasia semakin marak. Persoalan legalisasi euthanasia pun menjadi tuntutan umum, bahkan euthanasia sudah dilegalkan di Belanda dan Luxemburg. Sementara itu, praktek euthanasia sendiri pun diyakini sudah banyak dilakukan, juga di Indonesia, meskipun secara legal hal itu dilarang.

2.3. Macam-macam Euthanasia
Sebelum kita meninjau persoalan medis, etis, dan teologis, kita perlu mengerti dulu berbagai macam euthanasia. Ada berbagai macam euthanasia[9]:

2.3.1. Dari Sudut Cara/Bentuk
Dari sudut cara atau bentuk, euthanasia dapat dibedakan dalam tiga hal[10]:
a.    Euthanasia aktif, artinya mengambil keputusan untuk melaksanakan dengan tujuan menghentikan kehidupan. Tindakan ini secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, melakukan injeksi dengan obat tertentu agar pasien terminal meninggal.
b.    Euthanasia pasif, artinya memutuskan untuk tidak mengambil tindakan atau tidak melakukan terapi. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup kepada pasien. Misalnya, terapi dihentikan atau tidak dilanjutkan karena tidak ada biaya, tidak ada alat ataupun terapi tidak berguna lagi. Pokoknya menghentikan terapi yang telah dimulai dan sedang berlangsung.
c.     Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.

2.3.2. Dari Sudut Maksud (Voluntarium)
Dari sudut maksud, euthanasia dapat dibedakan:
a.    Euthanasia langsung (direct), artinya tujuan tindakan diarahkan langsung pada kematian.
b.    Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan tindakan tidak langsung untuk kematian tetapi untuk maksud lain misalnya meringankan penderitaan.

2.3.3. Dari Sudut Otonomi Penderita
Dari sudut otonomi penderita euthanasia dapat dilihat dalam tiga jenis:
a.    Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar dan tidak dapat menyatakan kehendak (incompetent).
b.    Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili oleh orang lain (transmitted judgement).
c.     Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain (substituted judgement).

2.3.4. Dari Sudut Motif dan Prakarsa
Dari sudut motif dan prakarsa, euthanasia dibedakan menjadi dua:
a.    Prakarsa dari penderita sendiri, artinya penderita sendiri yang meminta agar hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang tak tersembuhkan atau karena sebab lain.
b.    Prakarsa dari pihak luar; artinya orang lain yang meminta agar seorang pasien dihentikan kehidupannya karena berbagai sebab. Pihak lain itu misalnya keluarganya dengan motivasi untuk menghentikan beban atau belas kasih. Bisa juga, prakarsa itu datang dari pemerintah karena ideologi tertentu atau kepentingan yang lain.

2.4. Beberapa Aspek Euthanasia
2.4.1. Aspek Hukum
Undang undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal-pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana. Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344, 345, dan 359. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal 1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata[11]. Secara formal tindakan euthanasia di Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan.

2.4.2. Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

2.4.3. Aspek Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
2.4.4. Aspek Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ahli-ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat, dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis pun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal-hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal-hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.

2.5. Cara-cara Euthanasia
Tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara[12], yakni:
a.       Langsung dan sukarela: memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih pasien. Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri.
b.      Sukarela tetapi tidak langsung: pasien diberitahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya.
c.       Langsung tetapi tidak sukarela: dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya dengan memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat.
d.      Tidak langsung dan tidak sukarela: merupakan tindakan euthanasia pasif yang dianggap paling mendekati moral.

3. Pandangan tentang Euthanasia di Beberapa Agama dan Negara
Ada berbagai macam pandangan euthanasia di beberapa agama. Secara sekilas, kita akan melihatnya.

3.1. Agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah suatu konsekuensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau batin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Akumulasi terus menerus dari “karma” yang buruk adalah penghalang “moksa” yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi. Ahimsa adalah prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti siapa pun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu sebab perbuatan tersebut dapat menjadi faktor yang mengganggu karena menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia adalah kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kelahiran kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada di dunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu di mana seharusnya ia menjalani kehidupan. Misalnya, seseorang bunuh diri pada usia 17 tahun padahal dia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun. Maka selama 43 tahun rohnya berkelana tanpa arah tujuan. Setelah itu, rohnya masuk ke neraka untuk menerima hukuman lebih berat; kemudian kembali ke dunia (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma”-nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya.

3.2. Agama Buddha
Agama Buddha sangat menekankan larangan untuk membunuh makhluk hidup. Ajaran ini merupakan moral fundamental dari Sang Buddha. Oleh karena itu, jelas bahwa euthanasia adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain itu, ajaran Budha sangat menekankan pada “welas asih” (“karuna”). Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha. Tindakan jahat itu akan mendatangkan “karma” buruk kepada siapa pun yang terlibat dalam tindakan euthanasia tersebut.

3.3. Agama Islam
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:66; 2:243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS 2:195), dan dalam ayat lain disebutkan, “Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri,” (QS 4:29). Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu tindakan yang memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
Islam membedakan dua macam euthanasia, yaitu:
a. Euthanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa’al (euthanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit –karena kasih sayang– yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Euthanasia positif dilarang sebab tujuan tindakan adalah pembunuhan atau mempercepat kematian. Tindakan ini dikategorikan sebagai pembunuhan dan dosa besar.
b. Euthanasia negatif
Euthanasia negatif disebut taisir al-maut al-munfa’il. Pada euthanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan. Pasien dibiarkan begitu saja karena pengobatan tidak berguna lagi dan tidak memberikan harapan apa-apa kepada pasien. Pasien dibiarkan mengikuti saja hukum sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

3.4. Gereja Ortodoks
Gereja Ortodoks punya kebiasaan untuk mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga hingga kematian melalui doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Kehidupan hingga kematian dipandang sebagai suatu kesatuan kehidupan manusia. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan anti euthanasia.

3.5. Agama Yahudi
Agama Yahudi melarang euthanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya ke dalam “pembunuhan”. Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan, sumber dan tujuan kehidupan. Walaupun dengan motivasi yang baik, misalnya mercy killing, euthanasia merupakan kejahatan karena melawan kewenangan Tuhan. Dasar yang dipakai adalah Kej 1:9, “Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia”.

3.6. Hukum Euthanasia di Beberapa Negara
Beberapa negara sudah mengatur hukum euthanasia secara tegas. Beberapa contoh yang dapat disebutkan antara lain:
·       Belanda. Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Dalam karangan berjudul “The Slippery Slope of Dutch Euthanasia” dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
·       Australia. Negara bagian Australia, Northern Territory, mengizinkan euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan orang lain meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally ill bill” (UU tentang Hak Pasien Terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia sehingga harus ditarik kembali. Di negara bagian yang lain, euthanasia adalah tindakan ilegal dan melawan hukum.
·       Belgia. Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan euthanasia pada akhir September 2002. Para pendukung euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan euthanasia telah dilakukan setiap tahun sejak legalisasi tersebut. Namun mereka masih mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”.
·       Amerika. Euthanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon. UU euthanasia ditetapkan pada tahun 1997 tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri dengan bantuan syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat: usia minimal 18 tahun, kemungkinan hidup tinggal 6 bulan, harus mengajukan secara tertulis sebanyak 3 kali dan 2 kali secara lisan dengan saksi. Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam gangguan mental. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Polling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia.
·       Kanada. Secara tegas Kanada menolak euthanasia. Euthanasia adalah tindakan ilegal dan melawan hukum.
·       Kolumbia. Secara hukum, Kolumbia masih ambigu dalam menetapkan peraturan yang jelas. Pada tahun 1997, euthanasia diterima oleh mahkamah konstitusional tetapi belum pernah diratifikasi oleh kongres/parlemen.
·       Indonesia. Berdasarkan hukum di Indonesia, euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, melawan Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana: ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”, dan pasal 345, ““Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”
·       Swiss. Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri.
·       Luxemburg. Baru-baru ini, Luxemburg menjadi negara selanjutnya yang menyetujui tindakan euthanasia. Ketetapan ini baru diberlakukan 19 Februari 2008 yang lalu. Parlemen telah menyetujui UU yang mengatur euthanasia ini[13].
·       Inggris. Di Inggris, masih merupakan suatu tindakan melawan hukum. Kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang euthanasia dalam bentuk apa pun.
·       Jepang. Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang euthanasia. Demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai euthanasia tersebut. Ada 2 kasus euthanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai “euthanasia pasif” (消極的安楽死, shōkyokuteki anrakushi). Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai University pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai “euthanasia aktif ” (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi).
·       Republik Ceko. Di Republik Ceko euthanasia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai euthanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan euthanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.
·       India. Di India euthanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan euthanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus euthanasia sukarela di mana si pasien sendirilah yang menginginkan kematian di mana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan euthanasia tersebut (bantuan euthanasia). Pada kasus euthanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun euthanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.
·       China. Di China, euthanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Euthanasia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, di mana seorang yang bernama “Wang Mingcheng” meminta seorang dokter untuk melakukan euthanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkap juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People’s Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya euthanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.

4. Masalah Euthanasia
Persoalan euthanasia bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Ada banyak soal di balik euthanasia yang amat mempengaruhi pilihan dan tidakan untuk melakukan atau tidak melakukan euthanasia. Masalah-masalah tersebut adalah:

4.1. Kekaburan Batas Antara Kematian – Kehidupan serta Kemajuan Iptek Kedokteran[14]
Dalam perjalanan sejarah, ada banyak perubahan untuk menentukan apakah seorang dapat dinyatakan mati atau tidak. Definisi kematian tetap sama yaitu berhentinya secara irreversible seluruh fungsi pengaturan manusia sebagai organisme secara keseluruhan baik mental maupun fisik. Namun kriteria kematian seseorang sendiri berubah seturut perkembangan ilmu pengetahuan dan kedokteran. Jaman modern mencatat bahwa kriteria kematian telah berubah dari cardiac-respiratory (berhentinya denyut jantung dan pernafasan) menjadi kriteria neurologis yaitu kematian seluruh otak yakni batang otak dan otak besar. Dalam perkembangan sejarah, kapan orang dikatakan mati merupakan masalah serius dan menimbulkan banyak perdebatan. Pada abad XVIII kekhawatiran akan nasib orang mati suri yang terlanjur dikubur dipecahkan dengan memasang sistem pembebasan dari peti mati, misalnya: tali untuk membunyikan bel. Atau orang yang baru mati dijaga kalau-kalau memberi tanda-tanda kehidupan.
Munculnya aneka macam alat kedokteran seperti stetoskop (abad XIX) membantu para dokter untuk mendengarkan denyut jantung dengan lebih jelas sehingga lebih bisa memastikan apakah seseorang sudah mati atau belum. Pada abad XX ditemukan Electrocardiogram (ECG) yang merupakan sarana teknis yang lebih cermat untuk memeriksa kegiatan jantung. Sekarang ada alat yang lebih canggih lagi, Electroencefalogram (EEG) sehingga dokter dapat memantau kegiatan elektris dalam otak, misalnya interaksi antara fungsi-fungsi otak, jantung dan paru-paru.
Permasalahan kekaburan kematian manusia tidak hanya berhenti pada cara penentuan kematian seseorang melainkan juga semakin dikaburkan dengan kemajuan teknologi kedokteran. Beberapa fungsi vital organ manusia dapat didukung oleh teknologi baru, sehingga orang yang secara klinis mati dapat “dihidupkan kembali” dengan sarana-sarana artifisial. Kesepakatan mengenai kematian seseorang akan menentukan sikap dan tindakan yang sama.
Di satu sisi, kemajuan teknologi kedokteran disambut dengan gembira, tapi di sisi lain menimbulkan kekuatiran dan ketakutan baru. Kemajuan itu adalah berkat bagi manusia untuk memulihkan kesehatan sekaligus kutuk karena usaha melanjutkan kehidupan berarti juga memperpanjang penderitaan dan ketidakpastian.

4.2. Kewajiban Memelihara hidup[15]
Permasalahan euthanasia berkait erat dengan kewajiban memelihara hidup. Misalnya saja sumpah Hipokrates mengandung dua gagasan yaitu: kesediaan menolong penderita dan menolak membantu orang untuk bunuh diri. Dua gagasan sumpah ini dimasukkan ke dalam aneka kode etik kedokteran dewasa ini. Sumpah ini membantu para tenaga medis untuk menghadapi situasi dan masalah baru karena kemungkinan “penundaan” saat kematian yang bahkan menjadi kabur dengan teknologi canggih.

4.3. Otonomi Penderita[16]
Euthanasia juga berhadapan dengan gagasan tentang otonomi manusia (penderita). Keyakinan akan martabat pribadi manusia sebagai subjek pengemban hak asasi makin meningkat, justru dalam berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan baru yang disediakan ilmu dan teknologi kedokteran canggih. Berkaitan dengan otonomi manusia setidaknya menyangkut dua hal yaitu: hak atas privacy dan hak untuk menolak penanganan serta hak untuk mati.
Di sini ada pergeseran arti. Semula hak untuk mati berarti hak asasi untuk menolak penanganan (basic right to refuse treatment). Namun dewasa ini hak untuk mati berarti hak untuk menolak penanganan yang menyelamatkan hidup (the right to refuse life-saving treatment). Gagasan ini timbul sehubungan dengan penolakan transfusi darah karena alasan keagamaan oleh penganut sekte Saksi Yehovah, meskipun transfusi darah termasuk sarana biasa atau proporsional dalam moral tradisional. Hak untuk menolak penanganan yang memperpanjang proses meninggal (the right to refuse death-prolonging treatment) juga berarti hak agar penanganan demikian itu dihentikan atas permintaan penderita atau keluarganya.
Hak untuk mati tumbuh dari gabungan antara hak untuk menolak penanganan yang menyelamatkan hidup berdasarkan kebebasan agama dan hak untuk menolak penanganan yang menunda kematian seseorang berdasarkan hak privacy. Perkembangan menjadi hak untuk mati dapat dipahami sejauh dalam konteks konkret menolak life-saving treatment dan menolak death-prolonging treatment atau life-support system berarti kematian.

5. Pro dan Kontra Euthanasia
Masalah euthanasia menimbulkan pro dan kontra. Ada sebagian orang yang menyetujui euthanasia ini. Sebagian pihak lain menolaknya. Dalam hal ini tampak adanya batasan karena adanya sesuatu yang mutlak berasal dari Tuhan dan batasan karena adanya hak asasi manusia. Pembicaraan mengenai euthanasia tidak akan memperoleh suatu kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Secara sederhana, perdebatan euthanasia dapat diringkas sbb: atas nama perhormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Apakah pengakhiran hidup macam itu bisa dibenarkan?

5.1. Pro Euthanasia
Kelompok ini menyatakan bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan, dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompk ini adalah pendapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi, tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien. Argumen yang paling sering digunakan adalah argumen atas dasar belas kasihan terhadap mereka yang menderita sakit berat dan secara medis tidak mempunyai harapan untuk pulih[17]. Argumen pokok mereka adalah pemahaman bahwa kematian menjadi jalan yang dipilih demi menghindari rasa sakit yang luar biasa dan penderitaan tanpa harapan si pasien[18]. Argumen kedua adalah perasaan hormat atau agung terhadap manusia yang ada hubungannya dengan suatu pilihan yang bebas sebagai hak asasi. Setiap orang memiliki hak asasi. Di dalamnya termasuk hak untuk hidup maupun hak untuk mati.

5.2. Kontra Euthanasia
Setiap orang menerima prinsip nilai hidup manusia. Orang-orang tidak beragama pun, yang tidak menerima argumen teologis mengenai kesucian hidup, setuju bahwa hidup manusia itu sangat berharga dan harus dilindungi. Mereka setuju bahwa membunuh orang adalah tindakan yang salah. Bagi mereka, euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung[19]. Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan immoral dan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Mereka berpendapat bahwa hidup adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada seorang pun atau institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan penderita tersebut. Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki hak untuk mati.
Penolakan euthanasia ini berkaitan erat dengan penolakan abortus atas dasar argumen “kesucian hidup”. Karena kehidupan itu sendiri berharga, maka hidup manusia tidak pernah boleh diakhiri dalam keadaan apa pun juga. Banyak orang menolak euthanasia langsung atau aktif karena takut akan “menginjak lereng licin” (the slippery slope)[20]. Jika kita boleh membunuh orang yang sedang dalam proses meninggal dunia atau pasien koma yang irreversible maka bisa jadi kita akan memperluas pengertian dan mulai membunuh bayi yang baru lahir, mereka yang sakit jiwa, anak cacat mental, orang yang tidak produktif atau secara sosial tidak diinginkan. Begitu batas-batas untuk membunuh diperluas, tidak ada lagi orang yang aman.
Argumen yang lain adalah argumen berdasarkan ihwal mengasihi diri sendiri. Ihwal mengasihi diri sendiri secara bertanggung jawab melarang euthanasia. “Memberikan kehidupan sebagai hadiah dan korban bagi kehidupan orang lain dapat dibenarkan, sementara menyebabkan kematian secara langsung karena kesulitan pribadi tidak dibenarkan”[21]. Dasar bagi larangan tersebut adalah panggilan Allah atas manusia agar mewujudkan potensi dirinya dan mencapai kepenuhan diri. Manusia juga harus terbuka terhadap horizon makna ini, juga dalam situasi kemalangan, sakit, penderitaan, yang dapat mendorongnya untuk melakukan bunuh diri, karena kehidupan fisik manusia selalu ditopang dan dilindungi Allah yang menjamin makna hidup.

6. Tinjauan Kedokteran
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti[22], yaitu:
a.       Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.
b.      Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang.
c.       Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
b.      Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
c.       Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.
d.      Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.
e.       Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.” Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan[23]. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu[24].
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis[25].

7. Tinjauan Filosofis-Etis
Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan otonomi dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Pertanyaannya adalah apakah pengakhiran hidup seperti itu dapat dibenarkan?
Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi[26]. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati[27].
Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh orang lain.
Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang baik”, tanpa penderitaan yang tidak perlu.

8. Tinjauan Teologis
8.1. Euthanasia dalam Perspektif Kitab Suci
Hidup manusia adalah dasar segala nilai sekaligus sumber dan persyaratan yang perlu bagi semua kegiatan manusia dan juga untuk setiap hidup bersama masyarakat. Kitab Suci memandang hidup manusia itu suci karena berasal dari Allah sendiri, “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2:7). Karena itu, pembunuhan orang lain tidak dibenarkan karena melawan hukum ilahi, “Jangan membunuh” (Kel 20:13). Hidup dan mati manusia berada di tangan Tuhan karena, “kita adalah milik Tuhan” (Rom 14:8; bdk. Fil 1:20). Hidup manusia itu suci karena sejak awal mula melibatkan karya penciptaan Allah dan hal ini tetap berlangsung selamanya dalam hubungan yang sangat khusus dengan Sang Pencipta yang adalah satu-satunya tujuan akhir hidup manusia. Kesucian manusia itu bukan hanya karena asal-usulnya dari Allah tetapi juga karena tujuan hidup manusia adalah kembali kepada-nya (penebusan). Karena itu, hidup manusia tidak boleh dilanggar (violated) dan dihancurkan, tetapi harus dilindungi, dijaga, dan dipertahankan.
Euthanasia dan bunuh diri merupakan penolakan terhadap kedaulatan Allah yang mutlak atas kehidupan dan kematian, seperti dinyatakan dalam doa Israel kuno, “Engkau berdaulat atas hidup dan mati; Engkau membawa kepada gerbang alam maut dan ke atas kembali” (Keb 16:13; bdk. Ayub 13:2).

8.2. Euthanasia dalam Declaration on Euthanasia
Sejak pertengahan abad ke-20, Gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral Gereja mengenai euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei 1980, Kongregasi untuk Ajaran Iman menerbitkan Declaration on Euthanasia yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, teristimewa mengingat semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi euthanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Dokumen ini memandang bahwa euthanasia merupakan penyerangan langsung terhadap hidup manusia yang tidak berdosa. Dokumen ini menyatakan secara jelas:
It is necessary to state firmly once more that nothing and no one can in any way permit the killing of an innocent human being, whether a fetus or an embryo, an infant or an adult, an old person, or one suffering from an incurable disease, or a person who is dying. Furthermore, no one is permitted to ask for this act of killing, either for himself or herself or for another person entrusted to his or her care, nor can he or she consent to it, either explicitly or implicitly. Nor can any authority legitimately recommend or permit such an action. For it is a question of the violation of the divine law, an offense against the dignity of the human person, a crime against life, and an attack on humanity.[28]
Di lain pihak, euthanasia tidak langsung dalam kondisi tertentu diperbolehkan. Para Uskup Amerika Serikat mengeluarkan ajaran resmi, “Seseorang tidak wajib menggunakan baik sarana-sarana yang ‘luar biasa’ atau sarana-sarana yang ‘tidak sepadan’ untuk mempertahankan hidup, yaitu sarana-sarana yang dipahami sebagai pemberian harapan akan manfaat yang tidak masuk akal atau sebagai keterlibatan beban-beban yang terlalu berat”[29]. Penentuan apakah suatu tindakan itu “biasa” atau “sepadan” versus “luar biasa” atau “tidak sepadan” melibatkan pengukuran “jenis tindakan yang dilakukan, tingkat kompleksitas atau risiko, biaya dan kemungkinan-kemungkinan menggunakannya” berlawanan dengan “hasil yang bisa diharapkan, mengingat keadaan si orang yang sakit dan sumber-sumber fisik dan moral”[30]. Umumnya, sarana pendukung hidup menawarkan harapan penyembuhan yang masuk akal kepada para pasien tanpa biaya atau kesulitan yang berat.

8.3. Euthanasia dalam Evangelium Vitae
Ensiklik Evengelium Vitae yang dikeluarkan oleh Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Maret 1995 juga berbicara mengenai euthanasia. Secara khusus, ensiklik ini membahas euthanasia pada artikel no 64-67. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek euthanasia, memperingatkan kita untuk melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari budaya kematian’ …. Jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu”. Euthanasia yang “mengendalikan maut dan mendatangkannya sebelum waktunya, dengan secara “halus” mengakhiri hidupnya sendiri atau hidup orang lain ….. nampak tidak masuk akal dan melawan perikemanusiaan[31]. Euthanasia merupakan “pelanggaran berat terhadap hukum Allah, karena itu berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moral tidak dapat diterima”[32]. Sebagai pendasaran, teks tersebut menunjuk pada hukum kodrati, Sabda Allah, tradisi dan ajaran umum Gereja Katolik.

8.4. Euthanasia dalam Katekismus Gereja Katolik 1997
Katekismus Gereja Katolik 1997 (No 2276-2279 dan 2324) juga memberikan ikhtisar penjelasan ajaran Gereja Katolik kita tentang hal ini. Gereja Katolik menolak dengan tegas euthanasia aktif. Katekismus no 2277 memberikan penjelasan mengenai hal itu:
Whatever its motives and means, direct euthanasia consists in putting an end to the lives of handicapped, sick, or dying persons. It is morally unacceptable. Thus an act or omission which, of itself or by intention, causes death in order to eliminate suffering constitutes a murder gravely contrary to the dignity of the human person and to the respect due to the living God, his Creator. The error of judgment into which one can fall in good faith does not change the nature of this murderous act, which must always be forbidden and excluded.[33]
Euthanasia pasif, dalam arti tertentu, masih diperkenankan dengan catatan bukan kematian yang dikehendaki melainkan penghentian penanganan medis yang membebani[34]. Apa pun bentuk motivasinya, euthanasia yang dikehendaki merupakan suatu pembunuhan. Euthanasia melawan martabat pribadi manusia dan hormat terhadap Allah yang hidup, Penciptanya[35]. Dalam keadaan yang sudah sangat sekarat pun tidak dibenarkan menghentikan perawatan yang biasanya diberikan kepada orang sakit[36].

9. Beberapa Premis Penilaian Moral atas Euthanasia
Dalam menilai masalah euthanasia, perlu disadari bahwa masalah euthanasia amat kompleks. Masalah euthanasia tidak pernah berdiri sendiri tetapi selalu berkait dengan soal lain, misalnya sosial, politik dan ekonomi. Di sini, hanya disajikan premis untuk penilaian euthanasia dari segi moral kehidupan.

9.1.    Pandangan mengenai hidup
Euthanasia pada dasarnya berkaitan dengan hidup itu sendiri. Pandangan tentang hidup itu sendiri amat menentukan sikap dan pilihan atas euthanasia. Yang dibahas di sini adalah pandangan hidup secara etis dan teologis

9.1.1.  Hidup sebagai anugerah[37]
Banyak peristiwa dalam hidup kita mengatasi perhitungan dan perencanaan manusia (kemandulan, kesembuhan atau kematian di luar dugaan) dan menimbulkan keyakinan bahwa hidup itu pada akhirnya adalah anugerah. Memang manusia meneruskan atau mewariskan kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri tidak berasal dari padanya, melainkan dalam bahasa religius dari Tuhan sebagai pencipta dan sumber kehidupan. Dibandingkan dengan Tuhan, hidup manusia itu kontingen, dapat ada, dapat tidak ada, tetapi memang de facto ada karena diciptakan Tuhan. Deklarasi tentang euthanasia sendiri menegaskan hal ini dengan mengutip perkataan Santo Paulus Bila kita hidup, kita hidup bagi Tuhan, bila kita mati, kita mati bagi Tuhan. Apakah kita hidup atau mati, Kita adalah milik Tuhan (Rom 14:8 bdk. Fil1:20)[38]. Manusia bukanlah pemilik mutlak dari hidupnya sendiri. manusia administrator hidup manusia yang harus mempertahankan hidup itu.
Dengan demikian, manusia tidak mempunyai hak apapun untuk mengambil atau memutuskan hidup baik hidupnya sendiri maupun hidup orang lain. Euthanasia adalah bentuk dari pembunuhan tu karena euthanasia mengambil hidup orang lain atau hidupnya sendiri (assisted suicide). Euthanasia menjadi salah satu cermin di mana manusia ingin merebut hak prerogatif dari Allah sendiri yang adalah Tuhan atas kehidupan. Hal ini ditegaskan Peschke demikian:
Euthanasia offends against the exclusive right of disposition by God the Creator over life and death of a human being; It offends against the good of the society; and it contradicts the love of self as well as the value of life as the most fundamental earthly good of man.[39]

9.1.2. Hidup sebagai nilai asasi yang sangat tinggi[40].
Dari sekian banyak nilai, kiranya jelas bahwa hidup merupakan nilai dasar. Tanpa hidup banyak nilai lainnya menjadi tidak atau kurang berarti. Karena itu, hidup juga merupakan nilai yang sangat tinggi, bahkan dalam arti tertentu juga nilai tertinggi di antara nilai-nilai dunia fana. Martabat hidup manusia tidak berubah meskipun ia berada dalam status “vegetatif” (PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari segala sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya. Karena itu, hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.

9.1.3. Hidup sebagai hak asasi dan nilai yang harus dilindungi[41]
Karena hidup merupakan anugerah dengan nilai asasi dan sangat tinggi, maka hidup merupakan hak asasi manusia dan karenanya juga harus dilindungi terhadap segala hal yang mengancamnya. Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan perlindungan atas kehidupan ini:
the Church inteds not only to reaffirm the right to life–the violation of whic is an offense against the human person and against God the Creator and Father, the loving source of life – but she also intend to devote herself ever more fully to the concrete defense and promotion of this right.[42]

9.1.4. Hidup sebagai tugas[43]
Anugerah dan tugas bersifat korelatif, artinya hidup sebagai anugerah sekaligus berarti hidup mengembangkannya seutuhnya (menurut segala seginya, seperti biologis, fisik, psikis, kultural, sosial, religius, moral dan seterusnya). Dalam tugas mengembangkan kehidupan tersirat tanggung jawab dan hak untuk mempergunakan sarana-sarana yang perlu atau bermanfaat untuk memenuhi tugas itu sebaik-baiknya.

9.2. Pandangan mengenai Penderitaan dan Kematian
Selain berkaitan dengan kehidupan, euthanasia juga berurusan dengan kematian. Maka perlu diperhatikan pula pandangan tentang kematian.


9.2.1. Penderitaan sebagai beban atas anugerah hidup[44]
Hidup memang anugerah, tetapi tak jarang anugerah ini dibebani kekurangan kualitas kehidupan berupa penderitaan. Memang penderitaan juga dapat mempunyai segi positif dan nilainya, tetapi secara manusiawi penderitaan pertama-tama dirasakan sebagai beban. Menurut ajaran kristiani, rasa sakit, terutama pada waktu meninggal, dalam rencana penyelamatan Allah mendapat makna khusus. Penderitaan merupakan partisipasi dalam penderitaan Kristus dan menghubungkan dengan kurban penebusan[45]. 

9.2.2. Mati dan kematian sebagai keterbatasan anugerah[46]
Hidup memang anugerah, namun anugerah yang terbatas. Oleh karena itu hidup harus juga diterima dalam keterbatasannya yaitu kematian. Keterbatasan sebenarnya bukanlah keburukan, tetapi seringkali dirasakan sebagai keburukan, meskipun di lain pihak juga dapat diinginkan sebagai pembebasan. Soalnya sekarang ialah di mana batas itu, kapan saatnya tiba, sebab manusia dewasa ini makin mampu “menunda” saat kematian atau “memperpanjang hidup”.

9.2.3. Penderitaan dan kematian dalam cahaya iman[47]
Pandangan ini tidak dimaksudkan sebagai hiburan murah, melainkan memang bersumber pada kekayaan iman yang mempunyai cakrawala yang jauh lebih luas daripada penalaran akal budi tanpa data dari wahyu kristiani. Gereja Katolik harus mempertimbangkan kematian sebagai sebuah peristiwa natural. Keterbatasan obat dan kondisi manusia harus dimengerti dengan baik. Tidak ada harapan bahwa kehidupan fisik dapat dijaga dengan seluruh biaya yang ada. Kita berharap bagaimana dalam kondisi serta pemahaman yang benar, orang dapat menerima kematian dengan ikhlas.

10. Penutup
Sampai saat ini, euthanasia masih menjadi perdebatan dalam hidup umat manusia. Ada yang bersikap pro dan ada yang bersikap kontra terhadap euthanasia. Beberapa negara bahkan sudah melegalkan dan mengatur praktek euthanasia. Gereja sendiri secara tegas menolaknya dalam berbagai kesempatan. Ajaran Gereja selalu menolak pelaksanaan euthanasia. Declaration on Euthanasia (1980), Ensiklik Evengelium Vitae (1995), dan Katekismus Gereja Katolik (1997) dengan tegas menolak euthanasia. Euthanasia merupakan perlawanan terhadap martabat pribadi manusia dan hormat kepada Allah Sang Pemberi Hidup. Gereja Katolik selalu menekankan kesucian hidup manusia, penghargaan terhadap martabat pribadi manusia dan hormat kepada Allah. Euthanasia merupakan kejahatan melawan kehidupan.

Daftar Pustaka

A.    Buku

1.       Bertens, K., Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
2.      Bertens, K., Sketsa-sketsa Moral: 50 Esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
3.      Go, Piet, Euthanasia: Beberapa Soal Etis Akhir Hidup menurut Gereja Katolik, Malang: Dioma, 1989.
4.      Holderegger, A., Il Suicidio, Assisi: Citadella, 1979, 436, sebagaimana dikutip oleh Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, 144.
5.      James Rachels, “Euthanasia”, dalam Tom Regan (ed.), Matters of Life and Death: New Introductory Essays in moral Philosophy, New York: Random House, 1980.
6.      Kubler-Ross, Lima Tahap Proses Terminal, Seri Pastoral 330 No 11, Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 2001.
7.      Kusmaryanto, CB., Moral Hidup, Diktat Kuliah Fakultas Teologi USD, Yogyakarta, 2005.
8.      Peschke, Karl-Heinz, Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.
9.      Samil, Ratna Suprapti, Etika Kedokteran Indonesia, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994.
10.   Shannon, Thomas A., Pengantar Bioetika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.

B.     Dokumen

1.       Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith, “Declaration on Euthanasia”, 1980.
2.      United States Catholic Conference, “Nutrition and Hydration: Moral and Pastoral Reflections”, 1992.
3.      Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae.
4.      Katekismus Gereja Katolik 1997.

C.    Artikel

1.       John Paul II, “Letter on Combating Abortion and Euthanasia”, dalam Origins 8 (1991).
2.      Seper, Fr. C and Hamer J. 1980. “Euthanasia: Declaration of the Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith (May 5, 1980)”. The Pope Speaks: The Church Document Quarterly. Volume 25, Number 4. Huntington: Our Sunday Visitor.
3.      Canadian Bishops/Senate Testimony, ”What Euthanasia Is and What It Is Not”, dalam Origins 23 (1994).
4.      Peschke, Karl-Heinz, “The Pros and Cons of Euthanasia Reexamnined”, dalam The Irish Theological Quarterly Volume 58, Number 1, Kildare: St. Patrick’s College, 1992.

D.    Internet

1.       Pollard, Brian. “Euthanasia” http://www.euthanasia.com. /definitions. Html. Di download pada tanggal 27 Februari 2008.
2.      Stolinsky David. C, M.D. “Assisted Suicide of the Medical Profession” dalam. http://www.euthanasia.com/historyeuthanasia.html, di-download tanggal 27 Februari 2008.
3.      “History of Euthanasia” dalam www.euthanasia.com/historyeuthanasia.html, hlm 3 di-download tanggal 27 Februari 2008.
4.      www.tempointeraktif.com, di-download pada 5 Maret 2008.
5.      www.reuters.com, di-downloud pada tanggal 6 Maret 2008.

Artikel-artikel pendukung:
1.       Bernardin J., “Euthanasia: Ethical and Legal Challenge”, Origins 18 (1988).
2.      Canadian Bishops/Senate Testimony, ”What Euthanasia Is and What It Is Not”, Origins 23 (1994).
3.      Gula, Richard, “Moral Perspectives on Euthanasia”, Studies in Christian Ethics 1 (1991).
4.      John Paul II, “Letter on Combating Abortion and Euthanasia”, Origins 8 (1991).
5.      Ohio Bishops/ Health Care, “Pastoral Reflection: Euthanasia, Assisted Suicide”, Origins 21 (1993).
6.      Peschke, K.H., “The Pros and Cons of Euthanasia Reexamnined”, The Irish Theological Quarterly 1 (1992).
7.      Thekkel, J., “Declaration on Euthanasia”, Indian Theological Studies 1 (1982).


[1] Pembahasan seputar euthanasia tersebut mengambil gagasan pokok dari buku karangan Piet Go. Selengkapnya bisa dilihat dalam Piet Go, Euthanasia: Beberapa Soal Etis Akhir Hidup menurut Gereja Katolik, Malang: Dioma, 1989.
[2] K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta: Kanisius, 2001, 128.
[3] Arti sempit sendiri telah dikatakan oleh Kongregasi Suci untuk Urusan Doktrin dan Iman dalam deklarasinya mengenai euthanasia terutama pada bagian mengenai arti euthanasia secara etimologis. Lihat Seper, Fr. C and Hamer J. 1980. “Euthanasia: Declaration of the Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith (May 5, 1980)”. The Pope Speaks: The Church Document Quarterly. Volume 25, Number 4. Huntington: Our Sunday Visitor, 292.
[4] Menurut Piet Go, sebenarnya masih dapat ditambahkan euthanasia dipakai sebagai eufemisme untuk menutupi kejahatan pembunuhan hidup yang dianggap “tak layak hidup” menurut ideologi eugenisme Hitler, dan bukannya karena belas kasihan. Lih. Piet Go, 6.
[5] Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith, “Declaration on Euthanasia”, 1980.
[6] Canadian Bishops/Senate Testimony, ”What Euthanasia Is and What It Is Not”, dalam Origins 23 (1994) 394.
[7] K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual, 129.
[8] Di sini kami mendasarkan diri pada Piet Go, Euthanasia: Beberapa Soal Etis Akhir Hidup menurut Gereja Katolik, 1-2. Sumber lain adalah James Rachels, “Euthanasia”, dalam Tom Regan (ed.), Matters of Life and Death: New Introductory Essays in moral Philosophy, New York: Random House, 1980, 32-38.
[9] Macam-macam euthanasia ini tidak dapat diseragamkan satu sama lain. Beberapa tokoh mengelompokkan dengan cara yang berbeda.
[10] Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994, 129.
[11] Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, 135-136.
[12] Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, 132.
[13] Sumber ini diambil dari www.reuters.com, diunduh pada tanggal 6 Maret 2008.
[14] Piet Go, Euthanasia, 9-10.
[15] Piet Go, Euthanasia, 10.
[16] Piet Go, Euthanasia, 11-12.
[17] James Rachels, “Euthanasia”, 40-45.
[18] Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, Maumere: Pernerbit Ledalero, 2003, 141.
[19] James Rachels, “Euthanasia”, 45-46.
[20] Thomas A. Shannon, Pengantar Bioetika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, 69-70.
[21] A. Holderegger, Il Suicidio, Assisi: Citadella, 1979, 436, sebagaimana dikutip oleh Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, 144.
[22] Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, 128.
[23] Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, 135.
[24] K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual, 130.
[25] Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, 136.
[26] K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual, 130.
[27] K. Bertens, Sketsa-sketsa Moral: 50 Esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta: Kanisius, 1994, 98.
[28] Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith, “Declaration on Euthanasia”, 1980: “Pentinglah menyatakan sekali lagi dengan sungguh-sungguh bahwa tidak ada dan tidak seorang pun dengan cara apa pun memperbolehkan pembunuhan umat manusia yang tidak berdosa, apakah itu janin atau embrio, bayi atau orang dewasa, atau orang yang sedang menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau seseorang yang sedang dalam sakratul maut. Tidak seorang pun boleh meminta tindakan mematikan ini bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain, yang merupakan tanggungannya, bahkan orang tidak boleh menyetujui tindakan itu, baik secara eksplisit maupun implisit. Tidak ada otoritas yang secara sah dapat memerintahkan atau memperbolehkannya. Karena hal ini merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum ilahi, pelanggaran melawan martabat pribadi manusia, kejahatan melawan kehidupan dan serangan terhadap umat manusia.”
[29] United States Catholic Conference, “Nutrition and Hydration: Moral and Pastoral Reflections”, 1992.
[30] Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith, “Declaration on Euthanasia”, 1980.
[31] Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae art 64.
[32] Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae art 65.
[33] Cathecism of the Catholic Church (1997), No. 2277.
[34] Cathecism of the Catholic Church (1997), No. 2278: “Discontinuing medical procedures that are burdensome, dangerous, extraordinary, or disproportionate to the expected outcome can be legitimate; it is the refusal of “over-zealous” treatment. Here one does not will to cause death; one’s inability to impede it is merely accepted. The decisions should be made by the patient if he is competent and able or, if not, by those legally entitled to act for the patient, whose reasonable will and legitimate interests must always be respected.
[35] Cathecism of the Catholic Church (1997), No. 2324: “Intentional euthanasia, whatever its forms or motives, is murder. It is gravely contrary to the dignity of the human person and to the respect due to the living God, his Creator.
[36] Cathecism of the Catholic Church (1997), No. 2279: “Even if death is thought imminent, the ordinary care owed to a sick person cannot be legitimately interrupted. The use of painkillers to alleviate the sufferings of the dying, even at the risk of shortening their days, can be morally in conformity with human dignity if death is not willed as either an end or a means, but only foreseen and tolerated as inevitable Palliative care is a special form of disinterested charity. As such it should be encouraged.
[37] Piet Go, Euthanasia, 12.
[38] Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith, “Declaration on Euthanasia”.
[39] K.H. Peschke, “The Pros and Cons of Euthanasia Reexamnined”, dalam The Irish Theological Quarterly Volume 58, Number 1, Kildare: St. Patrick’s College, 1992, 18.
[40] Piet Go, Euthanasia, 13.
[41] Piet Go, Euthanasia, 13.
[42] John Paul II, “Letter on Combating Abortion and Euthanasia”, dalam Origins 8 (1991) 136.
[43] Piet Go, Euthanasia, 13.
[44] Piet Go, Euthanasia, 13.
[45] Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith, “Declaration on Euthanasia”.
[46] Piet Go, Euthanasia, 13.
[47] Piet Go, Euthanasia, 14.

kumpulan askep