1. Patofisiologi gangguan kesadaran dan derajat kesadaran
Kesadaran merupakan keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls aferen dan eferen.
Gangguankesadaran, yaitu keadaan dimana tidak terdapat aksi dan reaksi, walaupun diransang secara kasar.
Tingkat kesadaran :
Ø Kompos mentis : sadar sepenuhnya baik terhadap dirinya maupun lingkungan. Pada kompos mentis ini aksi dan reaksi bersifat adekuat yang tepat dan sesuai.
Ø Apatis : keadaan pasien yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungan.
Ø Delirium : penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-meronta.
Ø Somnolen (letargi, obtundasi, hipersomnia) : mengantuk yang masih dapat dipulihkan bila diberi ransangan tapi saat ransangan dihentikan, pasien tertidur lagi. Pada somnolen jumlah jam tidur meningkat dan reaksi psikologis lambat.
Ø Soporous/stupor : keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan ransangan kuat tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberijawaban verbal yang baik. Pada soporous/stupor reflek kornea dan pupil baik, BAB dan BAK tidak terkontrol. Stupor disebabkan oleh disfungsi serebral organic difus.
Ø Semi koma : penurunan kesadaran yang tidak member respon terhadap ransangan verbal dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tapi reflek kornea dan pupil masih baik.
Ø Koma : penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada respon terhadap nyeri.
Derajat kesadaran yang paling rendah yaitu koma. Koma terbagi dalam :
Ø Koma supratentorial diensephalik : merupakan semua proses supratentorial yang mengakibatkan destruksi dan kompresi pada substansia retikularis diensefalon yang menimbulkan koma.
Koma supratentorial diensephalik dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu :
- Proses desak ruang yang meninggikan tekanan dalam ruang intracranial supratentorial secara akut.
- Lesi yang menimbulkan sindrom ulkus.
- Lesi supratentorial yang menimbulkan sindrom kompresi rostrokaudal terhadap batang otak.
Ø Koma infratentorial diensefalik, disini terdapat 2 macam proses patologik yang menimbulkan koma :
- Proses patologik dalam batang otak yang merusak substansia retikularis.
- Proses diluar batang otak yang mendesak dan mengganggu fungsi substansia retikularis.
Koma infratentorial akan cepat timbul jika substansia retikularis mesensefalon mengalami gangguan sehingga tidak bisa berfungsi baik. Hal ini terjadi akibat perdarahan. Dimana perdarahan di batang otak sering merusak tegmentum pontis dari pada mesensefalon.
Ø Koma bihemisferik difus : terjadi karena metabolism neural kedua belah hemsferium terganggu secara difus. Gejala yang ditimbulkannya yaitu dapat berupa hemiparesis, hemihiperestesia, kejang epileptic, afasia, disatria, dan ataksia, serta gangguan kualitas kesadaran.
Derajat kesadaran lainnya yaitu tidur. Tidur merupakan suatu derajat kesadaran yang berada dibawah keadaan awas-waspada dan merupakan fisiologik yang ditentukan oleh aktivitas bagian-bagian tertentu dari substansia retikularis. Tidur secara patologis yaitu keadaan tidur dan berbagai mecam keadaan yang menunjukkan daya bereaksi dibawah derajat awas-waspada, diantaranya letargi, mutismus akinetik, stupor, dan koma.
Gangguan tidur terdiri atas hipersomnia dan insomnia :
a. Hipersomnia (kebanyakan tidur) merupakan gejala keadaan patologik yang dibedakan dalam :
- Hipersomnia karena proses patologik diotak, seperti ensefalitis dan tumor serebri.
- Hipersomnia karena proses patologik sistemik, seperti hiperglikemia atau uremia.
b. Insomnia (tidak bisa tidur) merupakan gejala sekunder beberapa jenis psikoneurosis yang dapat timbul sebagai :
- Insomnia primer, yaitu penderita tidur tapi tidak merasa tidur.
- Insomnia sekunder akibat psikoneurosis yang umumnya punya banyak keluhan non organic, sakit kepala, perut kembung, badan pegal, dll.
- Insomnia sekunder akibat penyakit organic, yaitu penderita tidak bisa tidur karena saat tertidur, ia diganggu oleh penderitaan organic. Misalnya seperti penderita diabetes mellitus yang sering terbangun karena sering kencing, atau penderita ulkus duodeni yang sering terbangun karena mules dan lapar pada tengah malam, atau penderita arthritis reumatika yang mudah terbangun oleh nyeri yang timbul pada setiap perubahan sikap badan.
Selain dari gangguan tidur diatas, ada juga gangguan tidur fungsional, yaitu diantaranya :
Ø Somnambulisme, yaitu berjalan dalam keadaan tidur.
Ø Sleep automatism, yaitu berjalan sambil melakukan suatu perbuatan yang bertujuan dalam keadaan tidur. Misalnya membereskan koper seperti orang yang ingin bepergian tapi dalam keadaan tidur.
Ø Kekau, yaitu berbicara dalam keadaan tidur yang biasanya terkait dengan mimpi.
Ø Kejang nokturnus atau mioklonus nokturnus, yaitu saat tidur, ia terbangun kembali karena anggota geraknya berkejang sejenak.
Ø Paralisis nokturnus, yaitu perasaan lumpuh seluruh tubuh yang dialami sebagai kenyataan dan menghilang serentak saat mata dapat dibuka.
2. Etiologi, pathogenesis, gambaran klinis, dan terapi radang susunan saraf pusat
Radang pada SSP umumnya terjadi akibat radang pada tempat lain.
Radang Selaput Otak (meningitis)
Meningitis bakterial
Yaitu infeksi pada cairan serebrospinal (CSS) yang disertai radang piamater dan arachnoid, ruang subarachnoid, jaringan superficial otak, dan medulla spinalis.
Factor resiko :
Ø infeksi sistemik ataupun fokal, contohnya septicemia dan TB paru.
Ø Trauma dan tindakan tertentu, contohnya fraktur basis crania.
Ø Penyakit darah
Ø Penyakit hati
Ø Pemakaian bahan-bahan yang menghambat pembentukan antibody (antibody respons)
Ø Kelainan yang berhubungan dengan imunosupresion, contohnya diabetes mellitus
Ø Gangguan atau kelainan obstetric dan ginekologik
Patofisiologi :
Ø Kuman masuk ke SSP secara :
- Hematogen atau langsung menyebar dari kelainan dinasofaring, paru, dan jantung
- Perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan didekat selaput otak.
Ø Kuman (meningokok, pneumokok, hemofilus influenza, dan stertokok) à masuk keruang subarachnoid (timbul reaksi radang pada piamater dan arachnoid, CSS, dan system ventrikulus ) à pembuluh darah meningeal kecil dan sedang sehingga mengalami hiperemesis à sel leukosit polimorfonuklear menyebar keruang subarachnoid à eksudat (bagian dalam terdapat makrofag dan bagian luar terdapat leukosit PMN dan fibrin) à bentuk limfosit dan leukosit à bentuk sel-sel plasma (2 minggu kemudian).
Ø Selainpada arteri, radang juga bisa terjadi pada vena dikorteks yang bisa menyebabkan thrombosis, infark otak, edema otak, dan degenerasi neuron sehingga menimbulkan ensefalitis superficial.
Ø Thrombosis dan organisasi eksudat perineural yang fibrio-purulen menyebabkan kelainan nervi kranialis (Nn III,IV, VI, VII dan VIII)
Ø Organisasi dari ruang subarachnoid menghambat aliran dan absorpsi CSS menyebabkan hidrosefalus komunikans.
Gambaran Klinik
Pada neonatus :
Ø Panas tinggi, mual muntah, gangguan pernapasan, kejang, nafsu makan menurun, minum sangat kurang, konstipasi dan diare.
Ø Biasanya disertai septicemia dan pneumonitis
Ø Gangguan kesadaran (apati, letargi, renjatan, dan koma)
Ø Koagulasi intravaskularis diseminata
Ø Tanda iritasi meningeal belum timbul
Pada anak dan orang dewasa :
Ø Panas, nyeri kepala yang hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung
Ø Gangguan saluran pernapasan bagian atas
Ø Kaku kuduk, opistotonus, bisa terjadi renjatan, hipotensi, dan takikardi
Ø Gangguan kesadaran (letargi)
Ø Fotopobia dan hiperestesi ( menyertai peningkatan tekanan intracranial )
Diagnosis :
Diagnosis pastinya yaitu pungsi lumbal dengan :
Ø Indikasi : bisa terjadi iritasi meningeal yang berlangsung beberapa hari (terutama) atau dengan gejala meningitis, panas yang tidak diketahui sebabnya.
Ø Kontraindikasi : bisa menimbulkan abses otak
Ø Walaupun merupakan factor resiko meningitis, tapi mutlak dilakukan.
Ø Kalau ada tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial, lakukan pungsi lumbal melalui sisterna magna, gunanya untuk menghindari terjadinya dekompresi dibawah foramen magnum dan herniasi tosilar.
Ø Kalau tekanan permulaan CSS diatas 200 mmH2O, beri manitol 0.25-0.5 mg/Kg BB secara bolus segera setelah pungsi lumbal, gunanya untuk menghindari herniasi otak.
Ø CSS diambil secukupnya. Umumnya tekanan CSS 200-500 mmH2O tampak kabur, keruh, atau purulen.
Imunodiagnostik :
Ø Counter immunoelectrophoresis dari CSS : menentukan antigen kuman dalam CSS
Ø Pemeriksaan urin : kalau pemeriksaan CSS dan darah negative
Ø Aglutinasi lateks (antibody-coated latex particles atau organism stafilokokok A) : menentukan antigen polisakarida.
Ø Pemeriksaan enzim CSS (enzyme linked immunoassay)
Ø Pemeriksaan lain : reaksi quelung, pengecatan bakteri dengan immunofluoresens dan test darah dengan nitroblue tetrazolium.
Ø Pneumo-angiografi : bisa terjadi penyempitan arteri, penyumbatan aliran retrogad atau aliran darah menjadi sangat pelan.
Ø Foto polos tengkorak : menentukan fraktur dan infeksi disinus-sinus paranasales
Ø Foto dada : menentukan adanya pneumonia, abses paru, proses spesifik, dan massa otak.
Ø Pemeriksaan EEG : bisa dilihat gelombang lambat yang difus dikedua hemisfer, penurunan voltase karena efusi subdural, atau aktifitas delta fokal (kalau bersamaan dengan abses otak)
Ø CT-Scan dan MRI : edema otak, ventrikulitis, hidrosefalus, dan massa tumor.
Ø Pemeriksaan lain :
- Tes tuberculin
- Pemeriksaan elektrolit
- Pemeriksaan darah tepi (hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel)
Diagnosis banding :
Ø Meningismus
Ø Penyakit behcet
Ø Meningitis limfositik
Ø Infeksi lain (seperti ensefalitis dan infeksi virus)
Penyulit :
Ø Ventrikulitis
Ø Efusi subdural
Ø Gangguan elektrolit
Ø Meningitis rekurens
Ø Gejala-gejala sisa epilepsy, gangguan nervi cranialis, kelainan otak fokal, dan hidrosefalus.
Tatalaksana
Perawatan umum :
Ø Istirahat mutlak
Ø Untuk infeksi yang cukup berat, pasien harus dirawat diruang isolasi
Ø Perhatikan fungsi resperasi, kalau terjadi respiratory distress, pasang pipa endotrakeal atau trakeostomi.
Ø Pantau pemberian cairan parenteral
Ø Perbaiki dehidrasi, dimana pada orang dewasa normalnya membutuhkan ± 3000 ml cairan sehari
Ø Segera atasi hiponatremia dan hipokalemia
Ø Perhatikan kemungkinan kejang, hiperpireksia, edema otak, flebitis, dekubitus, dan kekurangan gizi.
Pemberian antibiotic :
Ø Sesuai dengan bakteri dan dalam dosis tinggi :
- Infeksi pneumokokok, streptokokok, dan meningokok beri penisilin G dengan dosis 1-2 juta unit tiap 2 jam.
- Infeksi hemofilus ber kloramfenikol 4 x 1 gr/24 jam, atau ampisilin 4 x 3 gr/24 jam intravena.
- Infeksi meningokok beri sulfadiazine 12 x 500 mg dalam 24 jam selama ± 10 hari.
- Beri gentamisin untuk E.coli, klebsiela, proteus, dan kuman-kuman gram negative. Yaitu pada bayi premature beri 5mg/KgBB/hari yang dibagi dalam 2 dosis, pada neonates beri 7.5mg/KgBB/hari dalam 3x pemberian, serta pada bayi, anak dan dewasa beri 5mg/KgBB/hari dalam 3x pemberian.
Ø Selama menunggu hasil biakan, berikan antibiotic spectrum luas selama 10-14 hari sekurang-kurangnya 7 hari. Setelah demam bebas berikan secara parenteral.
Prognosis
Tergantung pada jenis kuman, hebatnya penyakit pada permulaan, umur, lama gejala / sakit sebelum dirawat, kecepatan yang ditegakkan berdasarkan diagnosis, antibiotic yang diberikan, serta kondisi patologik yang menyertai meningitis.
Meningitis tuberkulosa
Yaitu radang selaput otak akibat komplikasi tuberculosis primer. Secara histologik pada meningo-ensefalitis (tuberkulosa) terjadi invasi keselaput otak dan jaringan susunan saraf pusat.
Pada meningitis tuberkolosa, perjalanan penyakitnya lebih lama dan perubahan / kelainan dalam CSS tidak begitu hebat.
Klasifikasi : (umumnya terdapat lebih dari 1 jenis pada 1 penderita)
a. Tuberculosis miliaris yang menyebar :
- secara hematogen
- peradangan difus dalam ruang sub arachnoid
- tuberkel-tuberkel yang terdapat pada dinding pembuluh darah kecil di hemisfer otak bagian cekung dan dasar otak.
b. Bercak-bercak pengijuan fokal
- Tedapat bercak-bercak pada sulkus dan terdiri dari pengijuan yang dikelilingi oleh sel-sel raksasa dan epitel.
c. Peradangan akut meningitis pengijuan
- Paling sering dijumpai (78 %)
- Invasi local pada selaput otak, sehingga terbentuk tuberkel-tuberkel baru pada selaput otak dan jaringan otak
d. Meningitis proliferative
- Terjadi perubahan proliferative pada pembuluh-pembuluh darah selaput otak yang mengalami peradangan berupa endarteritis dan panarteritis sehingga bisa menimbulkan infark otak.
Etiologi
Sering disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa jenis hominis, jarang pada jenis bovinum atau aves
Factor resiko :
Ø Penduduk dengan sosio-ekonomi rendah
Ø Kurang gizi
Ø Higien buruk
Ø Factor suku / ras
Ø Kurang / tidak mendapat fasilitas imunisasi
Ø Paling sering terjadi pada usia dibawah 2 tahun (9-15 bulan)
Patofiologi :
Ø Focus biasanya diparu, selain itu bisa juga pada kelenjar getah bening, tulang, sinus nasals, gastrointestinal, ginjal, dll.
Ø Meningitis tuberkulosa juga merupakan komplikasi penyebaran TB paru
Ø Terjadi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil (beberapa mm – 1 cm), berwarna putih.
Ø Terdapat pada permukaan otak, selaput otak, sum-sum tulang belakang, dan tulang tuberkel kemudian melunak, pecah, dan masuk kedalam ruang sub arachnoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan difus.
Ø Secara mikroskopik terdapat pengijuan sentral dan dikelilingi oleh sel-sel raksasa, limfosit, sel-sel plasma dan dibungkus oleh jaringan ikat sebagai penutup / kapsul.
Ø Peradangan bisa juga perkontinuitatum
Ø Akibat dari reaksi radang terdapat eksudat kental, serofibrinosa dan gelatin oleh kuman-kuman dan toxin yang mengandung sel mononuclear, limfosit, sel plasma, makrofag, sel raksasa dan fibroblast. Eksudat terutama terkumpul didasar tengkorak, juga menyebar melalui pembuluh-pembuluh darah piamater dan menyerang jaringan otak. Dibawahnya, eksudat juga dapat menyumbat aquaduktus sylvii, foramen magendi, foramen luschka dengan akibat terjadinya hidrosefalus, edema pupil, dan peningkatan tekanan intracranial.selain itu, kelainan juga terjadi pada pembuluh-pembuluh darah yang berjalan dalam ruang sub arachnoid (berupa kongesti, peradangan, dan penyumbatan) akibat dari arthritis, flebitis, dan infark otak.
Gambaran klinik :
Ø Stadium 1 :
- Stadium podromal ± 2 minggu – 3 bulan.
- Sub akut, sering tanpa panas / hanya kenaikan suhu ringan, hanya dengan tanda-tanda infeksi umum, muntah-muntah, tidak nafsu makan, murung, berat badan menurun, tidak ada gairah, muda tersinggung, cengeng, tidur terganggu dan apatis yang sering terjadi pada anak kecil.
- Pada anak yang lebih besar, dapat terjadi nyeri kepala, tidak nafsu makan, obstipasi, muntah-muntah, dan pola tidur terganggu.
- Pada orang dewasa, dapat terjadi panas hilang-timbul, nyeri kepala, konstipasi, tidak nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, delusi, dan sangat gelisah.
Ø Stadium 2 :
- Gejala lebih berat yaitu terjadi kejang umum / fokal terutama pada anak kecil dan bayi
- Tanda-tanda ransangan meningeal lebih nyata, seluruh tubuh jadi kaku dan timbul opistotonus, dimana terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial, ubun-ubun menonjol, dan muntah lebih hebat.
- Nyeri kepala tambah hebat sampai anak berteriak dan menangis (nada khas) / meningeal cry.
- Kesadaran makin turun
- Ada gangguan N. kranialis (N II, III, IV, VI, VII, dan VIII)
- Bisa terjadi hemiparesis dan hemiplegia karena infark otak dan rigiditas deserebrasi
- Pada funduskopi, terjadi atrofi N. II dan khoroid tuberkel (kelainan pada retina yang tampak seperti busa berwarna kuning dan ukurannya sekitar ½ diameter papil)
Ø Stadium 3 :
- Suhu tidak teratur dan semakin tinggi
- Nadi terganggu, pernapasan terganggu (nafas kusmaul / cheyne-strokes)
- Gangguan miksi (retensi atau inkontinensia urin)
- Kesadaran makin menurun sampai koma yang dalam
- Pasien bisa meninggal dalam waktu 3 minggu
Diagnosis
a. Anamnesis : riwayat kontak dengan penderita, keadaan sosio-ekonomi, imunisasi, dll.
b. Gejala khas : tekanan intracranial meningkat, muntah hebat, nyeri kepala progresif, dan pada bayi, fontanella menonjol.
c. Pungsi lumbal :
Ø Jernih, kadang-kadang sedikit keruh / ground glass appearance.
Ø Kalau cairan serebrospinal didiamkan, akan terjadi pengendapan fibrin yang halus (seperti sarang laba-laba), bisa diperiksa untuk biakan / kultur menurut pengecatan Zehl-Nielsen atau Tan Thiam Hok, jumlah sel 10-500 /ml yang kebanyakan limfosit dengan kadar gula menurun, yaitu 20-40 mg% dan kadar klorida dibawah 600 mg%)
Diagnosis banding
Pada stadium prodromal sulit dibedakan dengan penyakit infeksi sistemik yang disertai peningkatan suhu.
Tatalaksana
perawatan umum :
Ø Harus intensif di rumah sakit
Ø Perhatikan kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi pada umumnya, posisi penderita, perawatan kandung kemih dan defekasi, serta perawatan lainnya sesuai kondisi
Ø Waspadai hiperpireksia, gelisah, kejang, nyeri, dan kerewelan lainnya.
Pengobatan : dengan tuberkulostatika, kortikosteroid, tuberculin intratekal, dan enzim proteolitik.
Prognosis :
Ø Kalau tidak diobati, pasien bisa meninggal dalam waktu 6-8 minggu
Ø Anak dibawah 3 tahun dan dewasa diatas 40 tahun, prognosisnya jelek
Ø Prognosis ditentukan oleh umur, kapan pengobatan dimulai dan pada stadium berapa.
Tuberkulostatika
Diberikan secara kombinasi, tripel drug yaitu kombinasi antara INH dengan 2 jenis lainnya.
a. Isonlazida (INH)
- Dosis anak : 10-20 mg/KgBB/hari
- Dosis dewasa : 400 mg/hari
- INH dapat menyebabkan polyneuritis, neuropati, maupun gejala-gajala psikis
b. Streptomisin
- Intramuscular ± 3 bulan tidak boleh terlalu lama
- Dosis : 30-50 mg/KgBB/hari
- Bersifat autotoksik (bila perlu lakukan pemeriksaan audiogram)
- Bisa mengganggu SST dan bersifat nefrotoksik
- Bila perlu bisa diteruskan 2x seminggu selama 2-3 bulan sampai CSS normal, sementara itu obat lain bisa diteruskan sampai ± 2 tahun.
c. Rimfamisin
- Dosis : 10-20 mg/KgBB/hari, dewasa : 600 mg/hari dosis tunggal
- Pada anak < style="">
d. PAS / Para-Amina-Salicylic Acid
- Dosis : 200 mg/KgBB/hari dalam 3 dosis yang bisa diberikan sampai 12 gr/ hari.
- Menyebabkan nafsu makan terganggu, demam, mual, muntah, diare, dan arthritis.
e. Etambutol
- Dosis 25 mg/KgBB/hari sampai 1500 mg/hari ± 2 bulan
- Menyebabkan neuritis optika yang bersifat hepatotoksik dan dapat menimbulkan polineuropati dan kejang.
Kortikosteroid
a. Prednisone
- Dosis : 2-3 mg/KgBB/hari (dosis normal : 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 2-4 minggu, lalu diteruskan dengan dosis 1 mg/KgBB/hari selama 1-2 minggu.
b. Deksametason
- Intravena
- Dosis : 10 mg tiap 4-6 jam
- Terutama kalau ada udem otak
- Kalau keadaan membaik, diturunkan secara bertahap sampai 4 minggu tiap 6 jam secara intravena
Pemberian kortikosteroid seluruhnya ± 3 bulan
Pemberian secara parenteral untuk mengurangi eksudat dibagian basal, mencegah nekrosis perlengketan, dan menghalangi spinal block
Bahaya kortikosteroid, yaitu super infeksi bisa menutupi penyakitnya (masking effect)
Tuberculin intratekal
Gunanya untuk mengaktivasi enzim lisosomal yang menghancurkan eksudat dibagian dasar otak.
Enzim proteolitik
- Contohnya streptokinase
- Diberikan secara intratekal untuk menghalangi adesi
- Kalau diberikan cepat dan tepat, akan berhasil setelah 7-10 hari yang ditandai dengan hilangnya nyeri kepala dan gangguan mental.
Rabies
è Disebut juga hydrophobia, lyssa, dan rage
è Merupakan suatu infeksi virus akut pada SSP yang disebabkan oleh virus rabies ; suatu virus RNA
è Virus rabies terdapat dalam air liur binatang yang telah terinfeksi melalui gigitan, goresan, dan garukan yang masuk kedalam tubuh manusia. Jadi, kasus rabies terjadi sebagai akibat dari inokulasi virus melalui kulit yang telah terbuka. Hewan yang sering mengalami adalah anjing, rubah, serigala, kucing, kalong, dan kera. Tetapi ada juga kasus rabies tanpa gigitan binatang, hanya dengan meghirup udara yang mengandung rabies, seperti di gua-gua, dimana terdapat banyak kalong yang menderita rabies, ataupun dilaboratorium karena kurang hati-hati.
Patofisiologi :
Waktu inkubasi rabies adalah antara 10 hari sampai 1 tahun/lebih. Umumnya berkisar antara 1-3 bulan, dalam hal tertentu bisa lebih cepat yaitu 10-21 hari terutama bila terdapat banyak gigitan dalam atau gigitan pada wajah. Gigitan pada lengan atas lebih berbahaya daripada lengan bawah dan tungkai bawah, apalagi bila gigitan terdapat pada wajah, karena lebih dekat dengan medulla oblongata dan banyak mengandung serat-serat saraf halus dan kecil.
Waktu inkubasi, selain bergantung pada tempat inokulasi juga bergantung pada daya tahan tubuh penderita dan virulensi virus rabies. Virus rabies sudah dapat diisolasi pada hari ke-4 setelah gigitan. Selain inokulasi, virus rabies masuk kedalam sel-sel otot, kemudian menyebar ke SSP melalui transportasi aksonal dari saraf-saraf sensorik dan motorik dan menimbulkan ensefalomielitis.
Proses radang dapat terjadi diseluruh system saraf pusat, terutama di radiks dorsalis ganglion jugularis, ganglion gasseri, dan nucleus dentatus, medulla oblongata bagian bawah, hipotalamus dan nucleus tuberalis.
Gambaran klinik
è Stadium permulaan : 2-4 hari, kadang lebih lama, nyeri, parastesi pada tempat gigitan atau garukan, demam, nyeri kepala, malaise, suara serak, anoreksia, perasaan takut yang kemudian jadi depresif.
è Stadium gelisah : suhu badan meningkat, leukositosis, LED meningkat.
Stadium ini sangat dikenal dengan general over action, sangat peka terhadap ransangan sensorik dengan aktivitas saraf autonom yang berlebihan, letih, fotofobia, hiperakusis, tonus otot meningkat, hipersalivasi, dilatasi pupil.
Gejala psikiatrik yang timbul : sangat gelisah, terus bergerak, mau lari, mamukul orang, berteriak, sangat agresif, curiga terhadap segala sesuatu didekatnya dan sekan-akan dikejar hantu.
è Stadium paralisis : penderita koma, kejang berhenti, otot-otot lumpuh secara progresif, akhirnya terjadi paralisis otot-otot pernapasan dan penderita meninggal dunia.
Diagnosis :
è Anamesis tentang kapan digigit, lokasi gigitan dan oleh binatang apa. Dengan ini dapat diambil tinadakn untuk mencegah timbulnya rabies.
è Pemeriksaan laboratorium : meliputi profil CSS, biopsy kulit dan otak, antibody rabies dalam serum, isolasi virus dalam saliva, kerongkongan dan CSS. CSS berwarna jernih, jumlah sel tidak menentu berkisar antara 5-500 /ml, protein kadarnya meningkat, kadar glukosa dan klorida normal.
Penatalaksanaan :
è Preventif : apabila seseorang digigit anjing / binatang yang disangka rabies, maka binatang harus diobservasi. Diberi makan dan minum seperti biasa selama ±10 hari dan binatang tersebut diikat. Bila tidak ada apa-apa, berarti orang tersebut tidak perlu divaksinasi. Tapi bila menunjukkan tanda-tanda rabies, maka orang tersebut harus divaksinasi dan anjingnya dibunuh, serta otaknya diperiksa dilaboratorium dinas kehewanan.
è Kuratif : luka, gigitan/garukan anjing/binatang menderita rabies dibersihkandengan air sabun dan disinfektan (as nitrat/larutan benzolkonium klorida 2% atau benzilamonium klorida/zephiran) : bahan-bahan tersebut dapat menghentikan aktivitas virus.
Penderita dengan infeksi rabies, segera diberi pengobatan serum anti rabies. Selama perawatan perhatikan kebutuhan cairan dan elektrolit, jumlah kalori harus cukup, termasuk vitamin. Kejang harus ditanggulangi, pada kelainan pernapasan harus diberi oksigen dan bantuan pernapasan, sebaiknya penderita dirawat diruang perawatan intensif.
3. Etiologi, pathogenesis, gambaran klinis, dan terapi trauma susunan saraf pusat
“Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi dibawah umur 45 tahun dan merupakan penyebab kematian no. 4 pada seluruh populasi. Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cidera kepala. Kecelakaan kendaraan bermotor menrupakan penyebab cedera kepala pada lebih dari 2 juta orang setiap tahunnya, 75.000 orang meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanent”. Trauma capitis adalah gangguan traumatic yang menyebabkan gangguan fungsi otak disertai atau tanpa disertai perdarahan in testina dan tidak mengganggu jaringan otak tanpa disertai pendarahan in testina dan tidak mengganggu jaringan otak.
Tipe-Tipe Trauma :
1. Trauma Kepala Terbuka: Faktur linear daerah temporal menyebabkan pendarahan epidural, Faktur Fosa anterior dan hidung dan hematom faktur lonsitudinal. Menyebabkan kerusakan meatus auditorius internal dan eustachius.
2. Trauma Kepala Tertutup
· Comosio Cerebri, yaitu trauma Kapitis ringan, pingsan + 10 menit, pusing dapat menyebabkan kerusakan struktur otak.
· Contusio / memar, yaitu pendarahan kecil di jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler dapat menyebabkan edema otak dan peningkatan TIK.
· Pendarahan Intrakranial, dapat menyebabkan penurunan kesadaran, Hematoma yang berkembang dalam kubah tengkorak akibat dari cedera otak. Hematoma disebut sebagai epidural, Subdural, atau Intra serebral tergantung pada lokasinya.
Ada berbagai klasifikasi yang di pakai dalam penentuan derajat kepala.
The Traumatic Coma Data Bank mendefinisikan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow:
1. Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
* Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)
* Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
* Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang
* Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
* Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala
* Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
2. Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
* Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
* Konkusi
* Amnesia pasca trauma
* Muntah
*Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).
3. Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
* Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
* Penurunan derajat kesadaran secara progresif
* Tanda neurologis fokal
* Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
Klasifikasi cidera kepala berdasarakan mekanisme, keparahan dan morfologi cidera :
mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter:
ü Trauma tumpul : Kecepatan tinggi(tabrakan mobil).
: Kecepatan rendah(terjatuh,di pukul).
ü Trauma tembus (luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya.
Keparahan cidera
ü Ringan : Skala koma glasgow(GCS) 14-15.
ü Sedang : GCS 9-13.
ü Berat : GCS 3-8.
Morfologi :
Fraktur tengkorak : kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup.Basis:dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII.
Lesi intrakranial : Fokal: epidural, subdural, intraserebral. Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cidera difus.
Jenis-jenis cidera kepala
1. Cidera kulit kepala. Cidera pada bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila cidera dalam. Luka kulit kepala maupun tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi.
2. Fraktur tengkorak. Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak di sebabkan oleh trauma. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka dan tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup keadaan dura tidak rusak.
Cidera Otak. Cidera otak serius dapat tejadi dengan atau tanpa fraktur tengkorak, setelah pukulan atau cidera pada kepala yang menimbulkan kontusio, laserasi dan hemoragi otak. Kerusakan tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.
Komosio. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit. Komosio dipertimbangkan sebagai cidera kepala minor dan dianggap tanpa sekuele yang berarti. Pada pasien dengan komosio sering ada gangguan dan kadang efek residu dengan mencakup kurang perhatian, kesulitan memori dan gangguan dalam kebiasaan kerja.
Kontusio. Kontusio serebral merupakan didera kepala berat, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah haemoragi. Pasien tidak sadarkan dari, pasien terbaring dan kehilangan gerakkan, denyut nadi lemah, pernafsan dangkal, kulit dingin dan pucat, sering defekasi dan berkemih tanpa di sadari.
Haemoragi intrakranial. Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi di dalam kubah kranial adalah akibat paling serius dari cidera kepala, efek utama adalah seringkali lambat sampai hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi dan herniasi otak serta peningkatan TIK.
Hematoma epidural (hamatoma ekstradural atau haemoragi). Setelah cidera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini karena fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus /rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di dura dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal; haemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.
Hematoma sub dural. Hematoma sub dural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar, suatu ruang yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma sub dural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik. Tergantung ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma sub dural akut d hubungkan dengan cidera kepala mayor yang meliputi kontusio dan laserasi. Sedangkan Hematoma sub dural sub akut adalah sekuele kontusio sedikit berat dan di curigai pada pasien gangguan gagal meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Dan Hematoma sub dural kronik dapat terjadi karena cidera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia.
Haemoragi intraserebral dan hematoma. Hemoragi intraserebral adalah perdaraan ke dalam substansi otak. Haemoragi ini biasanya terjadi pada cidera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cidera peluru atau luka tembak; cidera kumpil).
Etiologi
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :
1. Benda Tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat.
2. Benda Tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/ kekuatan diteruskan kepada otak.
Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada :
· Lokasi
· Kekuatan
· Fraktur infeksi/ kompresi
· Rotasi
· Delarasi dan deselarasi
Mekanisme cedera kepala :
a. Akselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam. Contoh : akibat pukulan lemparan.
b. Deselerasi. Contoh : kepala membentur aspal.
c. Deformitas. Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas bagan tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama :
a. Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus.
b. Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir kompleks
c. Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas
Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis :
* Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran.
* Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal.
* Respon pupil mungkn lenyap.
* Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK.
* Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial.
* Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat.
Pemeriksaan Dianostik:
1. CT –Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel pergeseran cairan otak.
MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.
2. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
3. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
4. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
5. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..
6. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.
7. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
8. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam peningkatan TIK.
9. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
10. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran.
11. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
Komplikasi
· Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
· Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
· Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik.
Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotesis atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak. Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala.
Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut :
· Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi.
· Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma.
· Berikan oksigenasi.
· Awasi tekanan darah
· Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neuregenik.
· Atasi shock
· Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya:
a) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b) Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
c) Pemberian analgetika
d) Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
e) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
f) Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak.
g) Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea N.
Tindakan terhadap peningkatan TIK :
1. Pemantauan TIK dengan ketat.
2. Oksigenisasi adekuat.
3. Pemberian manitol.
4. Penggunaan steroid.
5. Peningkatan kepala tempat tidur.
6. Bedah neuro.
Tindakan pendukung lain
1. dukungan ventilasi.
2. Pencegahan kejang.
3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
4. Terapi anti konvulsan.
5. Klorpromazin untuk menenangkan pasien.
6. Pemasangan selang nasogastrik.
4. Peranan rehabilitasi pada pasien gangguan vascular
Beberapa kondisi yang terjadi pada stroke
1. Kelemahan, kelumpuhan atau paralysis pada satu bagian tubuh.
2. Ganggaun berbicara
3. Pergerakan yang kaku atau gangguan keseimbangan tubuh.
4. Tidak mengetahui apa yang terjadi pada satu sisi tubuhnya.
5. Gangguan menelan.
6. Mengalami masalah dalam buang air kecil (sistem perkemihan) dan buang air besar
7. Perubahan dalam penglihatan atau penglihatan buruk.
8. Mati rasa
9. Gangguan dalam melakukan perawatan diri sendiri
Rehabilitasi stroke merupakan bagian yang sangat penting dari upaya pemulihan pada penderita pasca stroke. Rehabilitasi stroke dapat membantu penderita pasca stroke dalam banyak hal yaitu membangun kekuatan, koordinasi, daya tahan atau ketahanan dan rasa percaya diri. Pada rehabilitasi stroke penderita akan mempelajari beberapa hal seperti cara bergerak, berbicara, berpikir dan bagaimana melakukan perawatan diri sendiri.
Tujuan dari rehabilitasi stroke adalah untuk membantu penderita dalam mempelajari bagaiamana melakukan hal-hal yang biasanya dikerjakan sebelum mengalami stroke.
Dokter yang akan menentukan apakah anda perlu melakukan rehabilitasi pasca stroke ataukah tidak. Dan jika memang perlu dilakukan upaya rehabilitasi stroke, dokter juga akan menentukan jenis rehabilitsi apa yang terbaik buat penderita dan kebanyakan penderita pasca stroke mendapatkan yang lebih baik. Seberapa cepat dan banyak perubahan ke arah perbaikan tergantung pada seberapa parah stroke yang terjadi.
Rehabilitasi stroke dimulai tepat setelah serangan stroke berakhir dan keadaan atau kondisi tubuh sudah stabil. Peningkatan-peningkatan yang terjadi bersamaan dengan terjadinya penyembuhan pada otak.
Penderita perlu berhati-hati karena jika sudah pernah mengalami stroke maka penderita mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk kembali timbul stroke lainnya khususnya pada tahun-tahun pertama setelah terjadinya stroke yang pertama.
Penderita pasca stroke mempunyai resiko tinggi terjadinya stroke lain (stroke kedua) jika penderita mempunyai kebiasaan merokok, peminum alkohol, tekanan darah tinggi (hipertensi), Kolesterol tinggi, diabetes atau kencing manis dan obesitas atau kelebihan berat badan (overweight).
Faktor-faktor resiko berikut juga menjadi faktor yang dapat meningkatkan resiko untuk terjadinya stroke lanjutan seperti gagal jantung, transient ischemic attack (TIA).
5. Promosi dan prevensi pada kasus dengan gangguan vascular
Mengatasi agar tidak timbul stroke ulangan :
- Lakukan pemeriksaan rutin ke dokter sehingga dokter dan penderita dapat bekerja bersama-sama untuk meningkatkan kesehatan penderita.
- Jika penderita perokok, menghentikan kebiasaan merokok akan sangat membantu.
- Kurangi jumpah konsumsi alkohol.
- Kontrol tekanan darah tinggi agar tetap dalam batas atau mendekati normal
- Kontrol Kolesterol agar tetap dalam batas atau mendekati normal
- Jika penderita diabetes, kontrol dan kendalikan kadar gula darah agar tetap dalam batas atau mendekati normal.
- Lakukan aktifitas olah raga secara teratur 4-6 kali seminggu selama 30-60 menit.