KASIH yang sungguh adalah KASIH yang memberi tanpa mengeluh, berkorban tanpa pamrih dan mengabdi dalam kesetiaan. KASIH yang sungguh, mampu mengatasi keterbatasan dengan ketakterbatasan hati yang rela berbakti.
Kamis, 22 Maret 2012
Konsisten dengan Sikap
Dalam bersikap, terkadang tanpa sadar kita masih melihat kepada siapa sikap tersebut diperuntukkan. Akhirnya standar sikap pun jadi berubah-ubah. Dalam hemat penulis, setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakangi perubahan standar sikap itu. Pertama, rasa sayang yang berlebihan. Kedua, rasa takut yang mengakar. Terakhir, kepentingan pribadi. Mari kita bahas lebih lanjut satu persatu.
Sahabat, ketika rasa sayang kita berlebihan terhadap seseorang, seringkali kita menjadi lunak padanya. Siapapun ia, bukan hanya anak istri, tapi bisa juga sanak saudara, sahabat karib, rekan kerja, tetangga, dan lain sebagainya. Rasa sayang tersebut mempengaruhi sikap yang harusnya kita terapkan padanya sehingga tampak lebih “menguntungkan” baginya.
Lalu apa yang terjadi bila kita terus menerus dalam perasaan sayang yang berlebihan? Sahabat, ketika sayang itu berlebih, maka yang paling merasakan dampak buruknya adalah orang yang kita sayangi itu. Rasa sayang yang berlebihan bukan menumbuhkan, tapi ia malah “membunuh” secara perlahan.
Setidaknya ada dua hal dampak buruk yang mungkin terjadi. Pertama, ia tidak akan mampu mandiri. Karena ia merasa bahwa semua kebutuhannya telah dipenuhi. Semua kesulitannya selalu ada yang mengatasi. Kedua, akan timbul kecemburuan sosial dari orang-orang di sekitarnya.
Sahabat, rasa sayang itu sesuatu yang abstrak, sulit untuk diukur. Walaupun kita telah merasa cukup adil dalam membagikan sayang pada orang-orang di sekitar, kesan yang mereka tangkap akan berbeda-beda. Apalagi bila kita dengan sengaja membagikan rasa sayang yang berbeda, maka tentulah gejolak yang timbul akan semakin menjadi. Yang pada akhirnya akan membuat orang yang kita sayangi berlebih itu berada pada posisi yang sulit.
Kondisi lain yang melatarbelakangi perubahan sikap kita adalah rasa takut yang mengakar. Biasanya hal ini terjadi ketika kita harus bersikap di depan orang yang memiliki kuasa lebih dibanding diri kita. Dengan bersikap sesuai apa yang mereka senangi, kita berharap diri kita tetap berada dalam posisi aman.
Ketika dihadapkan pada orang yang punya kuasa, seringkali kita menyesuaikan sikap kita dengan keinginan mereka. Ada kekhawatiran sikap konsisten yang kita berlakukan membuat kita tampak salah di mata mereka. Padahal Sahabat, ketidakkonsistenan itulah yang pada akhirnya justru membuat kita menjadi dipersalahkan suatu saat kelak.
Latar belakang yang terakhir, perubahan sikap kita itu terkadang datang karena adanya kepentingan pribadi. Wujud dari kepentingan pribadi ini bermacam-macam. Umumnya bersifat keduniaan, seperti materi dan kedudukan. Ketika kita memilih konsisten dengan sikap, kita khawatir kepentingan pribadi itu tak akan bisa tercapai. Kita berusaha memuluskan jalan menuju pencapaian dengan “memoles” sikap yang kita lakukan.
Lalu hendak menjadi seperti apakah kita? Apakah kita rela diombang-ambingkan keadaan? Apakah kita nyaman menjadi orang yang plin-plan dalam menyikapi kejadian? Ingatlah Sahabat, lembaran-lembaran sejarah itu hanya diisi oleh mereka yang konsisten dengan sikapnya.. Semoga kita bisa..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar