Rabies adalah suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua jenis binatang berdarah panas dan manusia. Penyakit ini ditandai dengan disfungsi hebat susunan saraf pusat dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Rabies merupakan salah satu penyakit menular tertua yang dikenal di Indonesia. Virus rabies termasuk dalam genus Lyssavirus dan famili Rhabdoviridae. Genus Lyssavirus sendiri terdiri dari 80 jenis virus dan virus rabies merupakan prototipe dari genus ini. (1,2,3,4)
Sejarah penemuan rabies bermula 2000 tahun SM ketika Aristoteles menemukan bahwa anjing dapat menularkan infeksi kepada anjing yang lain melalui gigitan. Ketika seorang anak laki-laki berumur 9 tahun digigit oleh seekor anjing rabies pada tahun 1885, Louis Pasteur mengobatinya dengan vaksin dari medulla spinalis anjing tersebut, menjadikannya orang pertama yang mendapatkan imunitas, karena anak tersebut tidak menderita rabies. (5)
ETIOLOGI
Berbagai jenis hewan dapat menularkan rabies ke manusia. Yang terbanyak adalah oleh hewan liar, khususnya musang, kelelawar, rubah, dan serigala. Anjing, kucing, hewan ternak, atau hewan berdarah panas dapat menularkan rabies kepada manusia. Manusia tertular rabies melalui gigitan hewan yang terinfeksi. (6,7,8)
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, virus rabies termasuk dalam famili rhabdovirus, bersifat neurotrop, yang besarnya 100 x 140 nanometer. Inti virus rabies terdiri dari asam nukleat RNA saja, yang bersifat genetik. Inti ini dikelilingi oleh ribonukleoprotein yang disebut capsid. Kombinasi inti dan kapsomer yang terdiri satuan molekul protein disebut nukleokapsid, di luarnya terdapat envelope yang pada permukaannya terdapat spikula (spikes). Nukleokapsid berbentuk kumparan heliks dari inti kompleks ribonukleoprotein yang dibentuk oleh gen virus rabies, berupa sebuah rantai tunggal RNA tak bersegmen, sebuah nukleoprotein, sebuah fosfoprotein, dan RNA dependen RNA polimerase. Envelope virus terdiri dari sebuah membran yang terbuat dari lipid host dan 2 jenis protein yaitu G dan M, lipid ini dapat dilarutkan dengan eter, sehingga virus rabies itu dengan mudah sekali diinaktivasi dengan lipid solvent. Envelope virus menentukan virulensi sedangkan RNA dan nukleokapsidnya sendiri tidak infectious. (1,4)
EPIDEMIOLOGI
Data mengenai rabies yang dapat dipercaya di berbagai daerah tidak merata, menyebabkan kesulitan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kesehatan manusia dan pada hewan. WHO kembali melakukan penghitungan jumlah kasus rabies pada tahun 2004 dan berdasarkan data ini, jumlah kematian di seluruh dunia akibat rabies mencapai kisaran angka 55000 jiwa, terbanyak di daerah pedesaan Afrika dan Asia. Sedangkan jumlah orang yang mendapatkan perawatan setelah terjadi kontak dengan hewan suspek rabies mencapai angka 10 juta orang setiap tahun. Di Amerika Serikat, kasus rabies di berbagai daerah bergantung pada program pengendalian dan imunisasi hewan. Jumlah kematian terbesar di negara ini terjadi pada awal pertengahan abad ke-20, dengan jumlah rata-rata 50 kasus per tahun. Kebanyakan dikarenakan oleh gigitan anjing. (3,9)
PATOFISIOLOGI
Infeksi rabies pada manusia boleh dikatakan hampir semuanya akibat gigitan hewan yang mengandung virus dalam salivanya. Kulit yang utuh tidak dapat terinfeksi oleh rabies akan tetapi jilatan hewan yang terinfeksi dapat berbahaya jika kulit tidak utuh atau terluka. (1,10)
Virus juga dapat masuk melalui selaput mukosa yang utuh, misalnya selaput konjungtiva mata, mulut, anus, alat genitalia eksterna. Penularan melalui makanan belum pernah dikonfirmasi sedangkan infeksi melalui inhalasi jarang ditemukan pada manusia. Hanya ditemukan 3 kasus yang infeksi terjadi melalui inhalasi ini. Setelah masuk ke dalam tubuh, virus rabies akan menghindari penghancuran oleh sistem imunitas tubuh melalui pengikatannya pada sistem saraf. Setelah inokulasi, virus ini memasuki saraf perifer. Masa inkubasi yang panjang menunjukkan jarak virus pada saraf perifer tersebut dengan sistem saraf pusat. Amplifikasi terjadi hingga nukleokapsid yang kosong masuk ke myoneural junction dan memasuki akson motorik dan sensorik. Pada tahap ini, terapi pencegahan sudah tidak berguna lagi dan perjalanan penyakit menjadi fatal dengan mortalitas 100 %. (1,3)
Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan memperbanyak diri dan menyebar ke dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus, dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron – neuron sentral, virus kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada serabut saraf volunter maupun otonom. Dengan demikian, virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh dan berkembang biak dalam jaringan seperti kelenjar ludah. (1)
Khusus mengenai infeksi sistem limbik, sebagaimana diketahui bahwa sistem limbik sangat berhubungan erat dengan fungsi pengontrolan sikap emosional. Akibat pengaruh infeksi sel-sel dalam sistem limbik ini, pasien akan menggigit mangsanya tanpa adanya provokasi dari luar. (1)
GAMBARAN KLINIS
Pada Hewan
Kriteria tersangka rabies adalah sebagai berikut :
1. Anjing atau hewan yang menggigit terbukti secara laboraotrium adalah positif menderita rabies.
2. Anjing atau hewan yang menggigit mati dalam waktu 5 – 10 hari.
3. Anjing atau hewan yang menggigit menghilang atau terbunuh.
4. Anjing atau hewan yang menggigit mempunyai gejala-gejala rabies. (2)
Setelah virus rabies memasuki tubuh hewan, virus ini akan berjalan ke otak melalui saraf perifer. Anjing, kucing, dan kelinci mungkin dapat menunjukkan berbagai gejala, termasuk ketakutan, agresif, air liur yang berlebih, sulit menelan, sempoyongan, dan kejang. Hewan liar dengan rabies mungkin hanya menunjukkan prilaku yang tidak biasanya misalnya seekor hewan yang biasanya terlihat di malam hari mungkin dapat ditemukan berkeliaran di siang hari. Sebagai tambahan, gejala ini dapat terlihat pada anjing, kucing, kuda, ternak, domba, dan kambing dengan rabies mungkin menunjukkan depresi, atau peningkatan sensitivitas pada cahaya. (7).
Pada Manusia
Ketika seseorang pertama kali digigit oleh hewan yang terinfeksi rabies, gejalanya dapat terlihat pada otot rangka. Masa inkubasi rata-rata pada manusia sekitar 3 – 8 minggu, lebih lama daripada masa inkubasi pada hewan. Sangat jarang tapi pernah ditemukan masa inkubasi selama 19 tahun. Pada 90 % kasus, masa inkubasinya kurang dari 1 tahun. Ada pula yang menyebutkan bahwa masa inkubasinya adalah 60 hari untuk gigitan yang terdapat di kaki. Gigitan pada wajah hanya membutuhkan waktu sekitar 30 hari. Hal ini disebabkan karena lokasi inokulasi yang makin dekat dengan otak, makin pendek masa latennya. Pada masa inkubasi ini, virus rabies menghindari sistem imun dan tidak ditemukan adanya respon antibodi. Saat ini, pasien dapat tidak menunjukkan gejala apa – apa (asimptomatik). (1,3,5)
Pada stadium prodromal, virus mulai memasuki sistem saraf pusat. Stadium prodromal berlangsung 2 – 10 hari dan gejala tak spesifik mulai muncul berupa sakit kepala, lemah, anoreksia, demam, rasa takut, cemas, nyeri otot, insomnia, mual, muntah, dan nyeri perut. Parestesia atau nyeri pada lokasi inokulasi merupakan tanda patognomonik pada rabies dan terjadi pada 50 % kasus pada stadium ini, dan tanda ini mungkin menjadi satu-satunya tanda awal. (2,3,5,13)
Setelah melewati stadium prodromal, maka dimulailah stadium kelainan neurologi yang berlangsung sekitar 2 – 7 hari. Pada stadium ini, sudah terjadi perkembangan penyakit pada otak dan gejalanya dapat berupa : (1,2,3)
1. Bentuk spastik (furious rabies): peka terhadap rangsangan ringan, kontraksi otot farings dan esofagus, kejang, aerofobia, kaku kuduk, delirium, semikoma, dan hidrofobia. Yang sangat terkenal adalah hidrofobia di mana bila pasien diberikan segelas air minum, pasien akan menerimanya karena ia sangat haus, dan mencoba meminumnya. Akan tetap
i kehendak ini dihalangi oleh spasme hebat otot-otot faring. Dengan demikian, ia menjadi takut dengan air sehingga mendengar suara percikan air kran atau bahkan mendengar perkataan air saja, sudah menyebabkan kontraksi hebat otot-otot tenggorok. Spasme otot-otot faring maupun pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsangan sensorik seperti meniupkan udara ke wajah pasien atau menyinari matanya. Pasien akan meninggal dalam 3 – 5 hari setelah mengalami gejala-gejala ini.
2. Bentuk demensia.
3. Kepekaan terhadap rangsangan bertambah, gila mendadak, dapat melakukan tindakan kekerasan, koma, mati.
4. Bentuk paralitik (dumb rabies) : Pada bentuk ini pasien tampak lebih diam daripada tipe furious. Gejala yang dapat muncul pada bentuk ini adalah demam dan rigiditas. Paralisis yang terjadi bersifat simetrik dan mungkin menyeluruh atau bersifat ascending sehingga dapat dikelirukan dengan Guillain-Barre Syndrome. Sistem sensoris biasanya masih normal.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah rutin : dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000 – 13000/mm3) dan penurunan hemoglobin serta hemtokrit.
2. Urinalisis : dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit.
3. Mikrobiologi : Kultur virus rabies dari air liur penderita dalam waktu 2 minggu setelah onset.
4. Histologi : dapat ditemukan tanda patognomonik berupa Negri bodies (badan inklusi dalam sitoplasma eosinofil) pada sel neuron, terutama pada kasus yang divaksinasi dan pasien yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu.
5. Serologi : Dengan mendeteksi RNA virus dari saliva pasien dengan menggunakan polymerase chain reactions (PCR).
6. Cairan serebrospinal : dapat ditemukan monositosis sedangkan protein dan glukosa dalam batas normal. (1,2,3)
DIAGNOSIS BANDING
1. Intoksikasi obat-obatan
Keracunan obat-obatan dapat memperlihatkan gejala yang mirip dengan rabies misalnya koma (intoksikasi obat hipnotik), pupil midriasis dan anisokor (intoksikasi atropin atau morfin), kejang (intoksikasi amfetamin), hambatan pada pusat napas (intoksikasi insektisida), hingga henti jantung (intoksikasi antidepresan trisiklik dan digitalis). Seluruh gejala ini dapat ditemukan pada rabies jika virus telah menyerang susunan saraf pusat. Anamnesis yang cermat dan teliti diperlukan untuk membedakan kedua kelainan ini.
2. Ensefalitis
Rabies sendiri dapat menyebabkan ensefalitis karena virus sehingga gejala yang muncul sangat mirip misalnya prilaku yang tidak normal, perubahan kepribadian, kejang, sakit kepala, dan fotofobia. Alergi terhadap vaksin rabies juga dapat menyebabkan ensefalitis. Anamnesis mengenai riwayat digigt hewan, kontak dengan saliva, serta bepergian ke daerah endemik rabies dapat menegakkan diagnosis.
3. Tetanus
Seperti rabies, tetanus juga dapat menyebabkan demam, nyeri dan parestesia di sekitar luka dan kejang. Akan tetapi kejang pada tetanus sifatnya tonik dan adanya kontak dengan hewan liar dapat membedakan keduanya.
4. Histerikal pseudorabies
Reaksi berlebihan karena digigit hewan yang terjadi segera setelah penderita kontak dengan hewan sedangkan pada rabies tidak demikian karena adanya masa inkubasi.
5. Poliomielitis
Mirip dengan rabies tipe paralitik akan tetapi pada poliomyelitis terdapat demam dan kelumpuhan yang bersifat asimetrik, arefleksi, dan atrofi otot (gejala LMN). (2,3,14)
PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan rabies adalah dengan menghilangkan virus bebas dari tubuh dengan pembersihan dan netralisasi, yang diikuti dengan penginduksian sistem imun spesifik terhadap virus rabies pada orang yang terpajan sebelum virusnya bereplikasi di susunan saraf pusat. Hal ini membutuhkan vaksinasi aktif maupun pasif. Pada vaksinasi pasif, imunoglobulin rabies dari orang yang telah divaksinasi sebelumnya (Human Rabies Immune Globulin), diberikan kepada pasien yang belum memiliki imunitas sama sekali. Sehingga dalam hal ini vaksinasi pasif disebut pula serum anti rabies. Sedangkan vaksinasi aktif rabies atau vaksin anti rabies terbagi atas:
1. Nerve Tissue derived Vaccines (NTV) yang diproduksi dari jaringan otak hewan yang terinfeksi. NTV dapat menyebabkan reaksi neurologi berat karena adanya jaringan bermyelin pada vaksin. Akan tetapi, NTV , masih tetap banyak digunakan sebagai pencegahan rabies.
2. Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) yang dikultur dalam fibroblast manusia. Merupakan jenis vaksin rabies yang paling optimal saat ini. (1,4)
Di Amerika Serikat, pencegahan setelah terkena gigitan adalah sebagai berikut : 1 dosis Human Rabies Immune Globulin (HRIG) dan 5 dosis vaksin anti rabies dalam periode 28 hari. HRIG harus diberikan segera setelah tergigit/terpajan dalam 24 jam pertama. HRIG hendaknya tidak diinjeksikan pada tempat yang sama dengan vaksin. Setelah itu, 5 dosis vaksin anti rabies harus diberikan pada hari 0, 3, 7, 14, dan 28 dengan dosis 1 ml tiap kali. (5,9)
Sedangkan di Indonesia sendiri, penanganan penderita yang tergigit anjing atau hewan tersangka dan positif rabies adalah sebagai berikut : (2)
No. INDIKASI TINDAKAN DOSIS BOSTER KET.
1. Luka gigitan 1. Dicuci dengan air sabun (detergen) 5–10 menit kemudian dibilas dengan air bersih.
2. Alkohol 40-70 %
3. Berikan yodium atau senyawa amonium kuartener 0,1 %
4. Penyuntikan SAR secara infiltrasi di sekitar luka. – - # menunda penjahitan luka, jika penjahitan diperlukan gunakan anti serum lokal.
# dapat diberikan Toxoid Tetanus, antibiotik, anti inflamasi, dan analgesik.
2. Kontak, tetapi tanpa lesi, kontak tak langsung, tak ada kontak – - – -
3. Menjilat kulit, garukan atau abrasi kulit, gigitan kecil (daerah tertutup), lengan, badan, & tungkai. Beri VAR
# hari 0 : 2 x suntikan IM
# hari 7 : 1 x suntikan IM
# hari 21 : 1 x suntikan IM Imovax / Verorab 0,5 ml deltoid kiri dan 0,5 ml di kanan
0,5 ml deltoid kanan atau kiri
0,5 ml deltoid kanan atau kiri – Dosis untuk semua umur sama
4. Menjilat mukosa, luka gigitan besar/dalam, luka di kepala, leher, jari tangan, dan kaki. Serum Anti Rabies (SAR)
# ½ dosis disuntikkan infiltrasi di sekitar luka
# ½ dosis sisa disuntikkan IM regio glutea.
Vaksin Anti Rabies (VAR)
# sesuai poin 3 Imovag rabies
20 IU/kgBB
Imovax atau Verorab
Hari 90 : 0,5 ml IM di deltoid kanan/kiri -
5. Kasus gigitan ulang
# < 1 tahun
# > 1 tahun Berikan VAR hari 0
Beri SAR + VAR secara lengkap Imovax, Verorab
Imovax, Verorab, Imogan Rabies – 0,5 ml IM deltoid. Umur < 3 tahun 0,1 ml IC flexor lengan bawah
Umur > 3 tahun 0,25 ml IC flexor lengan bawah.
Sesuai poin 1,3,4
6. Bila ada reaksi penyuntikan : lokal, kemerahan, gatal, & bengkak Beri antihistamin sistemik atau lokal. Jangan beri kortikosteroid. – - -
7. Bila timbul efek samping pemberian VAR berupa meningoensefalitis, berikan kortikosteroid dosis tinggi.
PROGNOSIS
Penyakit rabies tidak dapat disembuhkan sehingga prognosisnya jelek (infaust). Tanpa pencegahan, penderita hanya dapat bertahan sekitar 8 hari sedangkan dengan penanganan suportif, penderita dapat bertahan hingga beberapa bulan. (1,2,5,8)
DAFTAR PUSTAKA
1. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Cetakan ke-7. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2006. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis dan Standar Pelayanan Operasional Neurologi. Jakarta : PERDOSSI.
3. Gompf, S.G.. 2007. Rabies [online]. [cited March 5th, 2008] ; [28 screens]. Available from : http://www.emedicine.com/med/topic1374.htm
4. Jameson R.. 2006. Rabies [online]. [cited March 6th, 2008] ; [6 screens]. Available from : http://www.bio.davidson.edu/courses/immunology/Students-spring2006/Jameson/Rabies.html
5. Auerbach, P.. 2006. Rabies Virus, Symptoms, Vaccine, and Treatment [online]. [cited March 6th, 2008] ; [3 screens]. Available from :
http://www.surviveoutdoors.com/reference/rabies.ht
ml
6. Center for Disease Control and Prevention. 2006. Rabies Infection and Animals [online]. [cited March 5th, 2008] ; [1 screen]. Available from : http://www.cdc.gov/healthypets/diseases/rabies.htm
7. American Veterinary Medical Association. 2008. What you should know about rabies [online]. [cited March 5th, 2008] ; [2 screens]. Available from :
http://www.avma.org/communications/brochures/rabies/rabies_brochure.html
8. Siswono. 2006. IPB Kembangkan Vaksin Rabies Baru [online]. [cited March 6th, 2008] ; [2 screens]. Available from :
http://www.gizi.net/cgi/bin/berita/fullnews.htm
9. World Health Organization. 2006. Rabies [online]. [cited March 5th, 2008] ; [2 screens]. Available from :
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs099/en.htm
10. Perez, E. 2007. Rabies [online]. [cited March 6th, 2008] ; [1 screen]. Available from : http://www.nlm.nih.gov-medlineplus/ency/images/ency/fullsize/-7261.jpgimg.htm
11. Anonym. Rabies [online]. [cited March 5th, 2008] ; [1 screen]. Available from : http://www.roanoke.com/news/images/0206_rabies.html
12. Anonym. Dkimages [online]. [cited March 6th, 2008] ; [1 screen]. Available from : http://www.dkimages.com/discover/Home/Animals/Pets/and-Pet/Care-Dogs/Dog-Care/DogCare/1657.htm
13. Perez, E. 2007. Rabies [online]. [cited March 6th, 2008] ; [1 screen]. Available from : http://www.nlm.nih.gov-medlineplus/ency/images/ency/fullsize/-19621.jpgimg.htm
14. Ganiswarna, S.G. dkk.. 2004. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar