KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat
TUHAN yang MAHA KUASA, yang atas
rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “FACTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
MENINGKATNYA PENYAKIT CHIKUNGUNYA DAN FACTOR PENYEBAB PENYAKIT”.
Penulisan makalah adalah merupakan
salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas semester VI mata kuliah
keperawatan Komunitas III Di Fakultas keperawatan Universitas pembangunan
Indonesia.
Dalam
Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki
penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang
membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada :
- Bapak Ketua yayasan serta segenap jajarannya yang telah memberikan kemudahan-kemudahan baik berupa moril maupun materiil selama mengikuti perkuliahan di fakultas keperawatan Universitas Pembangunan Indonesia MANADO
- Dosen-Dosen mata Kuliah Keperawatan Komunitas III
- Bapak Stevanus Timah S,sos Skm,M,kes selaku Dosen Mata Kuliah yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pkiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan makalah ini
- Rekan-rekan semua di Kelas A 4 Minsel Fakultas keperawatan Universitas pembangunan Indonesia Manado
- Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini
- Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga TUHAN memberikan imbalan yang setimpal pada mereka
yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai
ibadah, SYALOM.
Daftar
isi
Kata
pengantar 1
Daftar
Isi 3
Bab
I Pendahuluan
1.1Latar belakang 5
1.2 Prioritas masalah 8
1.3 Rumusan masalah
1.4 Tujuan Penulisan
1.5 Manfaat Penulisan 9
Bab
II Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
2.3 Masa Inkubasi 10
2.4 Tanda dan Gejala
2.5 Pemeriksaan Laboratorium 12
2.6 Terapi 15
2.7 Prognosis
2.8 Komplikasi
2.9 Diagnosa banding 16
2.10 Pencegahan 17
Bab
III Metode Penelitian
3.1
Jenis penelitian
3.2
Waktu Dan tempat penelitian
3.3
Subjek Penelitian
3.4Variabel penelitian 21
3.5
Penyusunan data penelitian 22
2.6
Alat bantu dan Bahan Penelitian
Bab
IV Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil 23
4.2 Pembahasan 25
Bab
V Kesimpulan Dan Saran 26
Daftar
Pustaka 27
BAB I
1.1. Latar
Belakang
Di negara
berkembang seperti Indonesia, angka kematian penyakit menular cukup tinggi dan
prevalensinya terus meningkat karena banyak dipengaruhi faktor lingkungan dan
perilaku hidup masyarakat. Terlebih lagi dengan sosial ekonomi yang memburuk
sehingga kejadian kasus penyakit menular memerlukan penanganan yang lebih
serius, profesional dan bermutu.
Indonesia juga
menghadapi beban ganda dalam pembangunan kesehatan atau yang dikenal dengan Double
Burden. Dewasa ini Indonesia masih dihadapkan dengan meningkatnya beberapa
penyakit menular (Re-Emerging Diseases), sementara penyakit tidak
menular atau penyakit degeneratif terus meningkat. Di samping itu telah muncul
lagi berbagai penyakit baru (New-Emerging Diseases). Salah satu masalah
yang menjadi perhatian dan tercantum dalam PERPRES No. 7 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 adalah
perkembangan re-emerging diseases seperti Chikungunya yang mana jumlah
kasusnya cenderung meningkat serta penyebarannya semakin luas.
Untuk itu perlu
dilakukan upaya pemeliharaan kesehatan guna untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat,ataupun individu. Upaya pemeliharaan kesehatan
adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan
oleh inidividu, kelompok masyarakat, lembaga pemerintahan, atau swadaya
masyarakat. Upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut dilihat dari empat aspek ,
yaitu upaya pemeliharaan kesehatan yang meliputi, upaya kuratif ( pengobatan ),
dan rehabilitatif ( pemulihan kesehatan setelah sembuh dari sakit ), dan upaya
peningkatan kesehatan berupa upaya preventif ( pencegahan penyakit ), dan upaya
promotif ( peningkatan kesehatan itu sendiri ).
Penyakit
Chikungunya adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus.
Di Indonesia, infeksi virus Chikungunya telah ada sejak abad ke-18. Saat itu
infeksi virus ini menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam 5
hari (vifdaagse koorts) yang kadangkala disebut juga sebagai demam sendi
(knokkel koorts).
Proses terjadinya
penularan Chikungunya di suatu daerah meliputi tiga faktor utama yakni adanya
manusia, virus dan vektor perantara. Nyamuk vektor Chikungunya biasa menggigit
pada pagi dan sore hari serta menyukai tempat yang agak gelap. Setelah
menggigit, nyamuk ini akan menggigit orang lain dan kemudian menulari orang
selanjutnya. Untuk itu harus dilakukan upaya pencegahan sesegera mungkin agar
penularan dan angka kejadian penyakit ini tidak meningkat.
Upaya pencegahan
dititikberatkan pada pemberantasan sarang nyamuk penular dengan membasmi jentik
nyamuk penular di tempat perindukannya. Selanjutnya penderita sebaiknya
diisolasi dari gigitan nyamuk sehingga dapat mencegah penularan pada orang
lain. Setiap orang dapat mencegah gigitan nyamuk penular chikungunya tersebut
dengan repelan, memakai kelambu saat tidur, menyalakan obat nyamuk bakar, atau
menyemprot sarang nyamuk penular chikungunya. Jika penyakit ini tidak segera
ditanggulangi dan tidak dilakukan upaya pencegahan maka akan berakibat buruk
bagi penderita, keluarga, ataupun kelompok masyarakat di suatu daerah tersebut.
Penyakit ini bisa menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan tergantung
stamina tubuh penderita. Jika stamina menurun, maka rasa ngilu pada persendian
akan sering muncul dan kemungkinan akan muncul infeksi lain. Selain itu,
beberapa faktor penyebab timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya adalah
perpindahan penduduk dari daerah terinfeksi, sistem pengelolaan limbah dengan
penyediaan air bersih yang tidak memadai, serta berkembangnya penyebaran dan
kepadatan nyamuk (sanitasi lingkungan yang buruk).
Di Indonesia,
Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan pada
tahun 1973 yang terjadi di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur dan di DKI
Jakarta. Tahun 1982 di Kuala Tungkal Provinsi Jambi dan tahun 1983 di Daerah
Istimewa Yogyakarta. KLB Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999
yaitu di Muara Enim (1999), Aceh (2000), Jawa Barat yakni Bogor, Bekasi, dan
Depok (2001) yang menyerang secara bersamaan pada penduduk di satu kesatuan
wilayah (RW/Desa). Pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya KLB
Chikungunya seperti Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI Jakarta,
Banten, Jawa Timur dan lain-lain. Pada tahun 2003 KLB Chikungunya terjadi lagi
di beberapa wilayah di pulau Jawa, NTB, dan Kalimantan Tengah. Kemudian tahun
2006 dan 2007 terjadi KLB di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Selatan.
Berbagai upaya
telah dilakukan oleh petugas kesehatan untuk mencegah dan memberantas penyakit
Chikungunya meliputi penyuluhan dan fogging, namun belum memberi hasil yang
memuaskan. Hal ini karena masih ada faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
terutama Chikungunya.
Puskesmas tumpaan baru yang berada di kabupatea
minahasa selatan menjadi salah satu lini pertama pejuang kesehatan di
masyarakat. Puskesmas tersebut sudah melaksanakan program The Basic Six
dengan cukup baik yang menjadi salah satu program dasar sebagai sebuah rumah
sakit. Balai Pengobatan Umum (BPU) sebagai salah satu program kerjanya telah
memberikan pelayanan kesehatan kuratif bagi masyarakat yang datang untuk
berobat.
Sasaran kesehatan
wilayah kerja Puskesmas tumpaan (Mengacu
pada Indikator Indonesia Sehat 2010 dan SPM) diantaranya yaitu:
1.
Derajat Kesehatan
2.
Keadaan Lingkungan
3.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
4.
Pelayanan Kesehatan
5.
Perbaikan Gizi Masyarakat
B.
Matriks Penetapan Prioritas Masalah
Di Puskesmas tumpaan baru mempunyai
daftar 10 besar penyakit atau keluhan pasien berkunjung ke puskesmas selama
tahun 2011. Kesepuluh besar penyakit tersebut dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Daftar 10 besar penyakit di
Puskesmas tumpaan baru tahun 2011
No
|
Penyakit
|
Kasus
|
1
|
Influenza
|
591
|
2
|
Febris
|
284
|
3
|
Vulnus
|
198
|
4
|
Jamur
|
174
|
5
|
Diare dan
Gastroenteritis
|
158
|
6
|
Rematixme
|
140
|
7
|
Diabetes Melitus
|
129
|
8
|
Rhinitis
|
126
|
9
|
Gastritis
|
117
|
10
|
Asma
|
102
|
Dari kesepuluh penyakit tersebut,
peneliti mengambil secara acak 3 penyakit untuk dijadikan dasar prioritas
masalah. Penyakit tersebut adalah ISPA, Diabetes Mellitus, dan Chikungunya.
Matrik penetapan prioritas masalah dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Matrik Penetapan Prioritas
Masalah
No
|
Penyakit
|
Importancy
|
T
|
R
|
Jumlah
|
||||||
P
|
S
|
RI
|
DU
|
SB
|
PE
|
PC
|
|||||
1
|
Chikungunya
|
3
|
2
|
3
|
2
|
3
|
4
|
3
|
1
|
3
|
3888
|
2
|
ISPA
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
1
|
3
|
2
|
384
|
3
|
DM
|
2
|
3
|
2
|
2
|
1
|
3
|
2
|
2
|
1
|
288
|
Melihat data diatas Chikungunya
merupakan kejadian luar biasa di dusun Jaranan sehingga meresahkan masyarakat
yang melaporkan kejadian tersebut ke puskesmas tumpaan. Walaupun frekuensi
masyarakat yang berobat ke BPU puskesmas karena Chikungunya lebih rendah
daripada karena ISPA, namun berdasarkan matrik penetapan prioritas masalah,
Chikungunya mempunyai nilai lebih tinggi daripada ISPA. Hal ini dikarenakan
adanya faktor importance dan sumber daya yang tersedia untuk chikungunya
lebih tinggi daripada untuk ISPA.
Penelitian ini akan mengetahui
bagaimana tingkat faktor predisposition dari unsur Host dalam
menyebabkan penyakit chikungunya. Faktor yang akan diambil adalah tingkat
pengetahuan, sikap, dan perilaku (PSP) masyarakat dalam memandang suatu
penyakit chikungunya.
C.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka dapat
dibuat suatu rumusan masalah yaitu bagaimana tingkat pengetahuan, sikap,
perilaku dan lingkungan masyarakat desa tumpaan baru tentang penyakit
Chikungunya.
D.
Tujuan Penulisan
Tujuan yang akan dicapai dalam penulisan
ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, perilaku dan lingkungan
masyarakat desa tumpaan baru tentang penyakit chikungunya.
E.
Manfaat penulisan
a.
Manfaat untuk Puskesmas
Sebagai sarana
kerjasama yang saling menguntungkan untuk dapat meningkatkan pelayanan
kesehatan terhadap masyarakat dan mendapatkan umpan balik dari hasil evaluasi
koasisten dalam rangka mengoptimalkan peran puskesmas.
b.
Manfaat untuk mahasiwa
Sebagai sarana
ketrampilan dan pengalaman dalam upaya pelayanan kesehatan masyarakat dengan
menerapkan prinsip-prinsip kedokteran masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi.
Chikungunya
berasal dari bahasa suku Swahili yang berarti (posisi tubuh) meliuk atau
melengkung, mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi
hebat (arthralgia).
2.2 Etiologi.
Penyakit
Chikungunya disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIKV). CHIKV termasuk keluarga Togaviridae,
Genus Alphavirus dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus.
CHIKV sebagai
penyebab Chikungunya masih belum diketahui pola masuknya ke Indonesia. Sekitar
200-300 tahun lalu CHIKV merupakan virus pada hewan primata di tengah hutan
atau savana di Afrika. Satwa primata yang dinilai sebagai pelestari virus
adalah bangsa baboon (Papio sp), Cercopithecus sp. Siklus di
hutan diantara satwa primata dilakukan oleh nyamuk Aedes sp (Ae
africanus, Ae luteocephalus, Ae opok, Ae furciper, Ae taylori, Ae cordelierri).
2.3 Masa Inkubasi.
Masa inkubasi
Chikungunya adalah 2-12 hari tetapi pada umumnya 3-7 hari.
2.4 Tanda Dan Gejala.
Infeksi yang tidak
menampakkan gejala yang khas sering terjadi terutama pada anak-anak dan gejala
nyeri sendi terutama banyak dialami oleh wanita dewasa.
Demam.
Biasanya demam
tinggi, timbul mendadak disertai menggigil dan muka kemerahan. Panas tinggi bisa
bertahan selama 2-3 haridilanjutkan dengan penurunan suhu tubuh selama 1-2 hari
kemudian naik lagi membentuk kurva “Sadle back fever” (Bifasik). Demam
bisa disertai menggigil dan muka kemerahan (flushed face). Pada beberapa
penderita mengeluh nyeri dibelakang bola mata dan bisa terlihat mata kemerahan
(injection conjunctiva), mata berair dan rasa terbakar pada mata.
Sakit Persendian.
Nyeri sendi
biasanya terlokalisir di daerah sendi yang besar, tetapi bisa juga di beberapa
sendi kecil. Persendian yang nyeri tidak bengkak tetapi teraba lebih lunak.
Nyeri persendian ini sering merupakan keluhan yang pertama muncul sebelum
timbul demam dan dapat bermanifestasi berat menyerupai artritis rheumatoid,
sehingga kadang-kadang penderita memerlukan kursi roda sebelum datang berobat
ke fasilitas kesehatan. Pada pemeriksaan sendi tidak terlihat tanda-tanda
pengumpulan cairan sendi. Sendi yang sering dikeluhkan adalah sendi lutut,
siku, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang belakang. Pada posisi
berbaring biasanya penderita miring dengan lutut tertekuk dan berusaha
mengurangi dan membatasi gerakan. Artritis ini dapat bertahan selama beberapa minggu,
bulan bahkan ada yang sampai bertahan beberapa tahun sehingga dapat menyerupai Rheumatoid
Artritis.
Nyeri Otot.
Nyeri otot (fibromyalgia) bisa pada
seluruh otot terutama pada otot penyangga berat Badan seperti pada otot bagian
leher, daerah bahu dan anggota gerak. Kadang-kadang Terjadi pembengkakan pada
otot sekitar mata kaki atau sekitar pergelangan kaki (Achilles).
Bercak Kemerahan (rash)
Pada Kulit.
Kemerahan pada
kulit bisa terjadi pada seluruh tubuh berbentuk makulo-popular (viral rash),
sentrifugal (mengarah ke bagian anggota gerak, telapak tangan dan telapak
kaki). Bercak kemerahan ini terjadi pada hari pertama demam, tetapi lebih
sering muncul pada hari ke 4-5 demam. Lokasi kemerahan biasanya pada daerah
muka, badan, tangan, dan kaki.
Sakit Kepala.
Keluhan sakit
kepala merupakan keluhan yang sering ditemui. Biasanya sakit kepala tidak
terlalu berat.
Kejang dan
Penurunan Kesadaran.
Kejang biasanya pada anak karena panas yang terlalu
tinggi jadi bukan secara langsung oleh penyakitnya. Kadang-kadang kejang
disertai penurunan kesadaran. Pemeriksaan cairan spinal (cerebro spinal)
tidak ditemukan kelainan biokimia dan jumlah sel.
Manifestasi
Perdarahan.
Tidak ditemukan
perdarahan pada pengamatan dini walaupun pernah dilaporkan di India terjadi
perdarahan gusi pada 5 anak dari 70 anak yang diobservasi.
Gejala lain.
Gejala lain yang
kadang-kadang dapat ditemui adalah pembesaran kelenjar getah bening di bagian
leher dan kolaps pembuluh darah kapiler.
2.5 Pemeriksaan Laboratorium.
Serum manusia
Pemeriksaan
serologis (IgM / IgG) dengan cara ELISA, HI, RDT (Rapid Diagnostik) dan
pemeriksaan dengan PCR (Polymerase Chain Reaction ).
Vektor (nyamuk
dewasa)
Isolasi virus
dengan biakan Polymerase Chain Reaction ( PCR )
Tempat pemeriksaan
: badan LitBangke, BTKL dan BLK sentinel dan untuk RDT dapat dilakukan di semua
tempat pelayanan kesehatan. Untuk pemeriksaan awal dilakukan pemeriksaan :
Hematologi Rutin.
1.
Pemeriksaan Kadar Hemoglobin : Biasanya dijumpai Hb normal atau anemia bila ada perdarahan.
2.
Pemeriksaan Trombosit : dapat ditemukan trombositopenia.
3.
Pemeriksaan Hematokrit : Hmt normal atau meningkat bila dengan
dehidrasi.
4.
Pemeriksaan Leukosit : leukopenia atau Leukositosis.
5.
Hitung Jenis Leukosit : limfositosis.
6.
Pemeriksaan Laju Endap Darah : LED meningkat karena adanya infeksi.
7.
Kimia Klinik
Fungsi hati SGOT,
SGPT dan bilirubun total/direk yang bisa meningkat bila dijumpai hepatomegali.
CK (creatinin kinase) yang meningkat karena adanya nyeri otot.
8.
Serologis DHF : Anti DHF IgM-IgG untuk menyingkirkan DBD.
Untuk memastikan
diagnosis dilakukan pemeriksaan : (1)
I. Sampel dari penderita (manusia)
a. isolasi virus
dari inokulasi serum fase akut
b. pemeriksaan
serologis dengan cara ELISA
c. pemeriksaan IgM
dan IgG dengan metode Immuno Fluorescent Assay (IFA)
d.
pemeriksaan materi genetik dengan Polymerase ChainReaction (PCR)
e.
pemeriksaan antibodi dengan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI Test),
serum diambil pada masa akut (hari ke 5 mulai demam) dan serum konvalesen pada
minggu ke 2 sesudah demam.
Interpretasi hasil
IFA :
(1) Bila IgM (-)
dan IgG (-) dengan gejala klinis jelas, pemeriksaan diulang 10-14 hari
kemudian. Bila hasil pemeriksaan ulang IgM (+) IgG (-), berarti infeksi akut
primer.
(2) Bila IgM (-)
IgG (+) dilakukan pemeriksaan ulang 10-14 hari kemudian. Bila hasil pemeriksaan
ulang IgG (+) dengan kenaikan titer > 4X berarti infeksi sekunder
dipertanyakan (?).
(3) Bila IgM (+)
IgG (+) berarti sedang terjadi infeksi sekunder.
II. Vektor (nyamuk)
a. Isolasi virus
dengan biakan.
b. Pemeriksaan
dengan PCR.
Saat ini
Departemen Kesehatan melalui Badan LitBangke, BTKL dan BLK sentinel dapat
melakukan pemeriksaan konfirmasi tersebut (HI dan ELISA), dengan cara
mengirimkan sampel serum pasien dan orang-orang sekitar yang dicurigai ke Badan
LitBangke, BTKL dan BLK sentinel. Untuk RDT dapat dilakukan pemeriksaan di
semua tempat pelayanan kesehatan.
Cara pengambilan
dan pengiriman sampel serum : (dapat dilakukan di PKM)
1. Lakukan vena
punksi untuk mengambil darah vena sebanyak (5-7 cc) dimasukkan dalam
tabung kaca yang pakai penutup.
2. Diamkan selama
(10-15) menit sampai darah membeku.
3. Kemudian
lakukan sentrifugasi 1500 rpm selama 10 menit untuk memisahkan serumnya.
4. Pisahkan serum
dengan menggunakan pipet dan masukan ke dalam tabung sampel dengan tutup ulir
yang sudah diberi identitas pasien.
5. Sebelum dikirim
ke LitBangke dan LABKES serum sampel disimpan di lemari pendingin c/BUKAN DALAM
FREEZER, bisa sampai selama 2 minggu (sampai°dengan suhu 4-8 serum konvalesen didapat). Serum sampel
yang dikirim sebaiknya sepasang (akut dan konvalesen).
6. Pengiriman
sampel harus sesuai prosedur, didalam cool box dengan dilapisi dry ice / cool
pack supaya suhu pengiriman tetap antara 4-8C / BUKAN DALAM FREEZER.
7. Didalam wadah
tempat pengiriman harus dituliskan alamat pengirim dan penerima dengan jelas.
8. Sebelum
mengirim sampel pasien, pengirim sebaiknya memberitahukan kepada penerima
sampel, dalam hal ini Bagian Virologi LitBangke, BTKL dan LABKES. (Depkes
RI,Hal 6-8 2003)
2.6 Terapi
Sampai saat ini
belum ditemukan obat spesifik untuk penyakit ini dan juga belum ditemukan
vaksin yang berguna sebagai tindakan preventif, pengobatan hanya bersifat
simptomatis dan supportif. Perjalanan penyakit ini umumnya cukup baik karena
bersifat self limitepd yakni akan sembuh sendiri. Adakalanya penderita
dirawat di RS lantaran kondisi yang lemah dan lunglai dan keadaan ini acapkali
menakutkan bagi penderita dan keluarganya. Namun, pada penderita yang telah
terinfeksi timbul imunitas / kekebalan terhadap penyakit ini dalam jangka
panjang.
Simptomatis (
mengatasi gejala ).
Aspirin dan
steroid harus dihindari. Bisa dengan obat Antipiretik, analgetik (Non-Aspirin
Analgetik; Non Steroid Anti Inflamasi Drug parasetamol, antalgin, natrium
diklofenak, piroksikam, ibuprofen, dll; obat anti mual dan muntah :
dimenhidramin atau metoklopramid), minum cukup, makanan bergizi, cegah kejang.
Supportif.
Tirah baring,
batasi pergerakan, konsumsi vitamin.
Sekuele nyeri
sendi (bila terjadi) :
1. Simptomatis :
NSAID.
2. Supportif :
rehabilitasi (fisiotherapy).
(Depkes RI,hal :8
2003)
2.7 Prognosis.
Penyakit ini
bersifat self limiting diseases, tidak pernah dilaporkan adanya
kematian. Keluhan sendi mungkin berlangsung lama. Brighton meneliti pada 107
kasus infeksi Chikungunya 87,9% sembuh sempurna, 3,7% mengalami kekakuan sendi
atau mild discomfort, 2,8% mempunyai persistent residual joint stiffness
tapi tidak nyeri dan 5,6% mempunyai keluhan sendi yang persistent, kaku dan
sering mengalami efusi sendi.
2.8 Komplikasi.
Dalam literatur
ilmiah belum pernah dilaporkan kematian, kasus neuroinvasif atau kasus
perdarahan yang berhubungan dengan infeksi virus Chikungunya. Pada kasus anak
komplikasi dapat terjadi dalam bentuk : kolaps pembuluh darah, renjatan,
miokarditis, ensefalopati, dan sebagainya namun ini jarang ditemukan.
2.9 Diagnosis Banding.
Diagnosis banding
penyakit Chikungunya yang paling mendekati adalah Demam Dengue atau Demam
Berdarah Dengue.
2.10
Pencegahan.
Mengingat sampai
sat ini kematian karena Chikungunya belum pernah dilaporkan, juga belum ada
obat dan vaksin terhadap penyakit ini, maka upaya pencegahan dititikberatkan pada
pemberantasan sarang nyamuk penular dengan membasmi jentik nyamuk penular di
tempat perindukannya.
Penderita sebaiknya diisolasi
dari gigitan nyamuk sehingga dapat mencegah penularan ke orang lain. Setiap
orang dapat mencegah gigitan nyamuk penular Chikungunya dengan repelan,
kelambu, obat nyamuk bakar dan semprot atau rumah dengan kasa anti nyamuk.
Tetapi yang terbaik adalah membebaskan sarang nyamuk di setiap rumah dan juga
rumah-rumah tetangganya, asrama, sekolah, masjid, terminal dan tempat-tempat umum
lainnya. Pembersihan sarang nyamuk di rumah sendiri adalah sangat penting,
tetapi adanya sarang nyamuk di rumah tetangga merupakan ancaman penyebaran
Chikungunya karena nyamuk dapat terbang sangat jauh.
Dalam upaya
mencapai hasil yang diinginkan dari pemberantasan vektor penular penyakit ini
maka sangat penting untuk memusatkan pada pemberantasan sumber jentik dan harus
melibatkan masyarakat, sektor lain baik swasta, LSM dan sebagainya. Untuk itu
perlu diterapkan pendekatan terpadu pengendalian nyamuk dengan menggunakan
metode yang tepat (modifikasi lingkungan, biologi dan kimiawi) yang aman, murah
dan ramah lingkungan.
Metode pengendalian nyamuk
a.
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).
b.
Tujuan
: Mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus sehingga penularan Chikungunya dapat dicegah atau dibatasi.
c. Sasaran.
Semua tempat perkembangbiakan nyamuk penular Chikungunya.
a)
Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari.
b)
Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non-TPA).
c)
empat penampungan air alamiah.
d.
Ukuran keberhasilan.
Keberhasilan
kegiatan PSN Chikungunya antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik
(ABJ), apabila ABJ ≥ 95% diharapkan penularan Chikungunya dapat dicegah atau
dikurangi.
Cara memberantas
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang tepat guna ialah
dengan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yaitu kegiatan memberantas
jentik ditempat berkembangbiaknya dengan cara :
1. Kimiawi
(Larvasidasi).
Larvasidasi adalah
pemberantasan jentik dengan menaburkan bubuk larvasida. Pemberantasan jentik
dengan bahan kimia tersebut untuk wadah yang tidak dapat dibersihkan, dikuras,
juga dianjurkan pada daerah yang sulit air. Bila wadah telah diberi larvasida
maka jangan dikuras selama 2-3 bulan. Kegiatan ini tepat digunakan apabila
surveilans epidemiologi penyakit penyakit dan vektor menunjukkan adanya periode
berisiko tinggi dan di lokasi dimana KLB mungkin timbul. Menentukan waktu dan
tempat yang tepat untuk pelaksanan larvasidasi sangat penting untuk
memaksimalkan efektivitasnya.
Terdapat 2 jenis
larvasidasi (insektisida) yang dapat digunakan pada wadah yang dipakai untuk
menampung air bersih (TPA) yakni :
(1) Temephos 1%.
Formulasi yang
digunakan adalah granules (sand granules). Dosis yang digunakan adalah 1 1 sdm rata) untuk tiap 100 L air. Dosis ini
telah terbukti±ppm atau 10 gram ( efektif selama 8-12 minggu (2-3
bulan). (2) Insect Growth Regulators ( Pengatur Pertumbuhan Serangga )
Insect Growth
Regulators (IGRs) mampu menghalang pertumbuhan nyamuk dimasa sebelum dewasa
dengan menghambat proses chitin synthesis selama masa jentik berganti
atau mengacaukan proses perubahan pupa menjadi nyamuk dewasa. Contoh IGRs
adalah Methroprene dan Phyriproiphene. Secara umum IGRS akan
memberikan efek ketahanan 3-6 bulan dengan dosis yang cukup rendah bila
digunakan di dalam tempat penampungan air.
Kegiatan
larvasidasi meliputi :
a.
Larvasidasi Selektif.
Larvasidasi
selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat penampungan air (TPA) baik di dalam
maupun di luar rumah pada seluruh rumah dan bangunan di desa/kelurahan endemis
dan sporadis serta penaburan bubuk larvasida pada TPA yang ditemukan jentik dan
dilaksanakan 4 kali dalam 1 tahun (3 bulan sekali). Pelaksana larvasidasi
adalah kader yang telah dilatih oleh petugas Puskesmas. Tujuan larvasidasi
selektif adalah sebagai tindakan sweeping hasil penggerakan masyarakat
dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk.
b. Larvasidasi
Massal.
Larvasidasi massal
adalah penaburan bubuk larvasida secara serentak diseluruh wilayah/daerah
tertentu di semua tempat penampungan air baik terdapat jentik maupun tidak ada
jentik di seluruh bangunan termasuk rumah, kantor-kantor dan sekolah. Kegiatan
larvasidasi massal ini dilaksanakan di lokasi terjadinya KLB Chikungunya.
2. Biologi
Penerapan
pengendalian biologis yang ditujukan langsung terhadap jentik hanya terbatas
pada sasaran berskala kecil. Pengendalian dengan cara ini misalnya dengan
memelihara ikan pemakan jentik atau dengan bakteri.
Ikan yang biasa
dipakai adalah ikan larvavorus (Gambusia affins, Poecilia reticulata dan
ikan adu), sedang ikan bakteri yang dinilai efektif untuk pengendalian ini ada
2 spesies yakni bakteri Bacillus thuringiensis serotipe H-14(Bt.H-14)
dan Bacillus sphaericus (Bs) yang memproduksi endotoksin.
3. Fisik.
Pengendalian
secara fisik ini dikenal dengan kegiatan 3M Plus (Menguras, Menutup,
Mengubur) yaitu :
a. Menguras dan
menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi / wc, drum dan
lain-lain seminggu sekali (M1).
b. Menutup
rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air / tempayan dan
lain-lain (M2).
c. Mengubur atau
menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan (M3).
Selain itu
ditambah dengan cara lainnya, seperti :
a. Mengganti air
vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang sejenis seminggu
sekali.
b. Memperbaiki
saluran dan talang air yang tidak lancar/ rusak.
c. Menutup
lubang-lubang pada potongan bambu/ pohon dan lain-lain (dengan tanah, dan
lain-lain).
d. Memelihara ikan
pemakan jentik di kolam/ bak penampungan air.
e. Memasang kawat
kasa.
f. Menghindari
kebiasaan menggantung pakaian yang telah digunakan.
g. Mengupayakan
pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai.
h. Menggunakan
kelambu.
i. Memakai obat
yang dapat mencegah gigitan nyamuk.
j. Memasang ovitrap.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Jenis Penelitan
Jenis penelitian dilakukan secara cross
sectional, artinya penelitian ini dilakukan 1 kali dalam satu waktu.
Pengambilan data primer adalah dengan wawancara secara terstruktur dengan
kuesioner pada masyarakat daerah yang diduga terjangkit chikungunya.
B.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan diwilayah kerja
puskesmas tumpaan, yaitu jaga II pada tanggal 12 maret 2011
C.
Subyek Penelitian
Subyek yang menjadi sampel adalah warga
jaga II desa Tumpaan Baru dimana terdapat dugaan terjangkit chikungunya
didasari oleh banyaknya laporan dari masyarakat berhubungan dengan beberapa
warganya yang diduga terjangkit chikungunya. Subyek penelitian sebanyak 30
responden yang dipilih secara acak.
D.
Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan terdiri dari 4
variabel, yaitu skor pengetahuan, sikap, perilaku dan lingkungan masyarakat.
Masing-masing variabel terbagi menjadi 3 tingkatan. Tingkatan skor pengetahuan
adalah rendah (0-4), sedang (5-7), dan tinggi (8-10). Untuk tingkatan sikap
terbagi menjadi rendah (0-4), sedang (5-7), dan tinggi (8-10). Dan untuk
perilaku terbagi menjadi rendah (0-4), sedang (5-7), dan tinggi (8-10).
Sedangkan untuk lingkungan terbagi menjadi rendah (0-4), sedang (5-7) dan
tinggi (8-10).
E.
Pengumpulan Data Penelitian
Data diperoleh dari jawaban kuesioner
yang dibacakan oleh observer dan dilakukan observasi disekitar lingkungan
responden.
F.
Alat Bantu dan Bahan Penelitian
Alat bantu pengumpulan data berupa
quisioner yang berisi pertanyaan. Contoh kuesioner beserta penilaian terdapat
pada lampiran.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
HASIL
Penelitian ini berupa penelitian
observasional untuk melihat tingkat pengetahuan, sikap, perilaku dan lingkungan
terhadap penyakit chikungunya pada masyarakat desa tumpaan jagaII, kec tumpaan
kab Minsel Penelitian dilakukan selama 1 hari pada tanggal 12 Maret 2011.
Sebanyak 30 lembar kuesioner dibagikan dan dilakukan pula observasi pada
lingkungan tempat tinggal responden
Tabel 1. Karakteristik Sampel
Parameter
|
Nilai
|
1.
Jenis Kelamin
a.
Pria
b.
Wanita
2. Umur
a.
Mean
b. Max
c.
Min
3.
Pekerjaan
a.
Tidak bekerja
b.
Pelajar/Mahasiswa
c.
Karyawan
d.
Wiraswasta
4.
Pendidikan
a.
Tidak sekolah
b. SD
c.
SMP-SMA
d.
Sarjana
|
11 (36,64%)
19 (63,27%)
42,6
68
14
14 (46,62%)
3 (9,99%)
9 (29,97%)
4 (13,32%)
2 (6,66%)
7 (23,31%)
19 (63,27%)
2 (6,66%)
|
Karakteristik sampel dapat dilihat pada
tabel 1. Sampel terbanyak adalah wanita dengan pendidikan terbanyak
adalah SMA. Pekerjaan terbanyak adalah ibu rumah tangga dan pada tabel tersebut
dimasukkan ke dalam tidak bekerja. Rata-rata umur adalah 42,6
Tabel 2. Skor Pengetahuan, Sikap,
Perilaku dan Lingkungan masyarakat terhadap penyakit Chikungunya
Parameter
|
Jumlah
|
|||
Rendah
|
Sedang
|
Baik
|
||
1
|
Pengetahuan
|
2 (6,7%)
|
23 (76,7%)
|
5
(16,7%)
|
2
|
Sikap
|
1 (3%)
|
5 (17%)
|
24 (80%)
|
3
|
Perilaku
|
3 (10%)
|
5 (17%)
|
22 (73%)
|
4
|
Lingkungan
|
3 (10%)
|
11 (37%)
|
16 (53%)
|
Kriteria penilaian untuk menentukan
skor pengetahuan, sikap, prilaku masyarakat adalah: Rendah/ buruk (0- 30)
, Sedang ( 4- 6), Tinggi/ baik ( 7- 10), sedangkan untuk skoring lingkungan:
Rendah ( 0-4), Sedang (5-7), Baik (8- 10).
Nilai skor variable PSPL dapat dilihat
pada tabel 2. Untuk variable pengetahuan menunjukkan tingkat PSPL kebanyakan
adalah sedang. Untuk variable sikap, perilaku dan lingkungan menunjukkan
tingkat PSPL kebanyakan adalah Baik.
B.
PEMBAHASAN
Tingkat PSPL yang didapat kebanyakan
adalah baik, walaupun Tingkat pengetahuan masyarakat secara dominan adalah
sedang yakni 76, 7 %. Hal ini bisa dikatakan sebagai sesuatu yang cukup baik
dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat yang di dominasi SMA. Variable
sikap, Perilaku dan lingkungan menunjukan skor yang baik dikarenakan karena
puskesmas secara rutin melakukan program penyuluhan-penyuluhan mengenai
penyakit demam berdarah yang dalam pemberantasannya berkenaan dengan sikap,
perilaku dan lingkungan yang hampir sama dengan pemberantasan penyakit
chikungunya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas maka dapat
disimpulkan :
1.
Tingkat pengetahuan masyarakat desa tumpaan Jaga II, kec,Tumpaan kab Minsel terhadap
chikungunya 76,6% adalah sedang
2.
Tingkat sikap warga Desa Tumpaan jaga II Kec, Tumpaan Kab,Minsel terhadap
chikungunya sebanyak 80% adalah tinggi
3.
Tingkat perilaku warga Desa tumpaan Jaga II kec, tumpaan kab,Minsel terhadap
chikungunya sebanyak 73% adalah tinggi
4.
Tingkat Lingkungan warga Desa Tumpaan Baru Jaga II terhadap chikungunya
sebanyak 53% adalah tinggi.
5.
Tingkat perilaku masih berupa data quisioner dan memerlukan data pengamatan
langsung.
B. SARAN
1. Perlu
dilakukan penelitian pengamatan langsung terhadap perilaku pada masyarakat di Desa
Tumpaan Jaga II Kec Tumpaan Kab Minsel dalam waktu yang lebih lama lagi.
2. Perlu
dilakukan pengamatan terhadap lingkungan di Desa Tumpaan Baru Jaga II kec,
Tumpaan Kab, Minsel secara berkala untuk mencegah terjadinya penyakit 2
chikungunya dan penyakit infeksi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sunoto, Chikungunya, dalam Markum,
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid I, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 1991. hal. 448 - 66.
2. Hassan, R. dan Alatas, H. Penyakit Infeksi, dalam Buku Kuliah I Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Universitas Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 283 - 310.
3. Sunarto. dkk, Chikungunya, dalam Standar Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito, ed. 2, Cetakan I. Medika
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000, hal. 86.
4. Jaweta, Melnick, Adelberg, Mikrobiologi untuk Profesi
Kesehatan, ed. 16, EGC, Jakarta, 1986, hal. 599 - 602.
5. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi. Mentri Kesehatan Republik Indonesia. Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-01.pdf
6. Hendarwanto. Penyakit chikungunya, Dalam: Waspadji S, Rachman AM, Lesmana LA, dkk, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta: Pusat Informasi
dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ;1996. 451-57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar