Senin, 08 November 2010

konsep diri dan mekanisme koping dalam aplikasi proses keperawatan


 »

1.     I. PENDAHULUAN
Keluarga juga sering merasakan kekhawatiran dan ketidakpastian keadaan klien ditambah dengan kurangnya waktu petugas kesehatan (perawat dan dokter) untuk membicarakan keadaan klien. Terutama pada ruangan gawat darurat, tim kesehatan fokus pada penyelamatan klien dengan segera. Klien dan keluarga sering tidak diajak berkomunikasi, kurang diberi informasi yang dapat mengakibatkan perasaan sedih, ansietas, takut, marah, frustasi, tidak berdaya karena informasi yang tidak jelas, disertai ketidakpastian. Mereka tidak mengetahui proses yang terjadi, sewaktu-waktu mereka dipanggil untuk membeli obat atau alat. Mereka tidak berani bertanya,atau jika bertanya akan mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan.
Dengan memberikan asuhan keperawatan konsep diri yang diintegrasikan secara komprehensif pada program asuhan klien diharapkan klien dan keluarga sesegera mungkin dapat berperan serta sehingga ‘self-care’ dan “family support” dapat terwujud.
Keadaan klien dan keluarga ini dapat diatasi dengan cara meningkatkan kualitas asuhan pelayanan keperawatan. Salah satu aspek yang dapat dilakukan adalah asuhan keperawatan psikososial khususnya perawatan konsep diri dengan memberdayakan keluarga dan sistem pendukung klien.
Konsep diri sangat erat kaitannya dengan diri individu. Kehidupan yang sehat, baik fisik maupun psikologi salah satunya didukung oleh konsep diri yang baik dan stabil. Konsep diri adalah hal-hal yang berkaitan dengan ide, pikiran, kepercayaan serta keyakinan yang diketahui dan dipahami oleh individu tentang dirinya. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan individu dalam membina hubungan interpersonal.
Meski konsep diri tidak langsung ada, begitu individu dilahirkan, tetapi secara bertahap seiring dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan individu, konsep diri akan terbentuk karena pengaruh lingkungannya .
Selain itu, konsep diri juga akan dipelajari oleh individu melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain termasuk berbagai stressor yang dilalui individu tersebut. Hal ini akan membentuk persepsi individu terhadap dirinya sendiri dan penilaian persepsinya terhadap pengalaman akan situasi tertentu. Gambaran penilaian tentang konsep diri dapat diketahui melalui rentang respon dari adaptif sampai dengan maladaptif.
1.     II. KONSEP DIRI
1.     Pengertian
1.     Konsep diri berasal dari bahasa inggris yaitu self concept; merupakan suatu konsep mengenai diri individu itu sendiri yang meliputi bagaimana seseorang memandang, memikirkan dan menilai dirinya sehingga tindakan-tindakannya sesuai dengan konsep tentang dirinya tersebut.
2.     Konsep diri adalah gambaran seseorang tentang diri sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial, maupun psikologis yang diperoleh melalui pengalaman  individu dalam interaksinya dengan orang lain.
3.     Brooks (Rakhmat, 1991) menyatakan bahwa konsep diri adalah suatu pandangan dan perasaan seseorang tentang dirinya serta persepsi tentang dirinya, ini dapat bersifat psikis maupun sosial.
4.     Cawangas (Pudjijogyanti, 1988) bahwa konsep diri merupakan seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik kepribadiannya, motivasinya, kelemahannya, kepandaiannya dan kegagalannya.
5.     Dimensi
Konsep diri memiliki tiga dimensi, yaitu:
1.     Pengetahuan Tentang Diri Sendiri
Dimensi pertama adalah apa yang kita ketahui tentang diri kita, biasanya hal ini menyangkut hal-hal yang bersifat dasar, seperti usia, jenis kelamin, kebangsaan, latar belakang etnis, dan profesi. Faktor ini akan menentukan seseorang dalam kelompok sosial.
1.     Harapan Terhadap Diri Sendiri
Ketika seseorang berfikir tentang siapakan dirinya, pada saat yang sama ia akan berfikir akan menjadi apakah dirinya di masa yang akan datang. Prinsipnya, setiap orang memiliki harapan terhadap dirinya sendiri. Harapan akan diri sendiri ini merupakan ideal diri. Ideal diri berbeda untuk setiap individu.
1.     Evaluasi Diri Sendiri
Setiap hari, setiap orang berkedudukan sebagai penilai dirinya sendiri. Mengukur apakah dirinya bertentangan dengan pengharapan seseorang terhadap dirinya dan standart seseorang bagi dirinya sendiri. Evaluasi terhadap diri ini disebut dengan self esteem.
1.     Perkembangan
Konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman individu dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam berinteraksi ini, setiap individu akan menerima tanggapan. Tanggapan yang diterima tersebut akan dijadikan cermin bagi individu untuk menilai  dan memandang dirinya sendiri. Konsep diri terbentuk karena suatu proses umpan balik dari individu lain.
Hurlock (1993), mengatakan bahwa perkembangan konsep diri sifatnya hirarkis, yang paling dasar terbentuk adalah konsep diri primer. Konsep diri primer  ini didasarkan pengalaman seseorang di rumah dan dibentuk dari berbagai konsep terpisah, yang masing-masing merupakan hasil dari pengalamannya dengan anggota keluarga yang lain.
Sedangkan konsep diri sekunder, diperoleh dari pergaulan di luar rumah. Hal ini berhubungan bagaimana seseorang memandang dirinya melalui kaca mata orang lain.
Seseorang dengan konsep diri positif dapat mengeksplorasikan dunianya secara terbuka dan jujur karena latar belakang penerimaannya sukses, konsep diri yang positif berasal dari pengalaman yang positif yang mengarah pada kemampuan pemahaman.
1.     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Rainy (dalam Burn, 1979) menyatakan bahwa konsep diri merupakan individu yang dikenal pada individu tersebut sebagai konfigurasi yang unik. Konsep diri yang dikenal merupakan hal-hal yang dipersepsikan oleh individu tersebut, konsep-konsep dan evaluasi mengenai diri sendiri juga termasuk gambaran-gambaran dari orang lain terhadap dirinya yang dirasakan dan digambarkan sebagai pribadi yang diinginkan, yang dipelihara dari suatu pengalaman lingkungan yang dievaluasinya secara pribadi.
Argyle (Handry dan Heyes, 1989) berpendapat bahwa terbentuknya konsep diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
1.     Reaksi dari orang lain. Caranya dengan mengamati pencerminan perilaku seseorang terhadap respon orang lain, dapat dipengaruhi dari diri orang itu sendiri.
2.     Perbandingan dengan orang lain. Konsep diri seseorang sangat tergantung pada cara orang tersebut membandingkan dirinya dengan orang lain.
3.     Peranan seseorang. Setiap orang pasti memiliki citra dirinya masing-masing, sebab dari situlah orang tersebut memainkan peranannya.
4.     Indentifikasi terhadap orang lain. Pada dasarnya seseorang selalu ingin memiliki beberapa sifat dari orang lain yang dikaguminya.
Mead (Pudjigjoyanti, 1988), menyebutkan bahwa konsep diri merupakan produk sosial, yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisik dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang penting di sekitarnya. Oleh karena itu, banyak faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang.
Menurut Stuart dan Sudeen ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari:
1.     Teori Perkembangan.
Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap
sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pangalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata.
1.     Significant Other ( orang yang terpenting atau yang terdekat )
Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang
lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosialisasi.
1.     Self Perception ( persepsi diri sendiri )
Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi
individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu.
1.     Konsep Diri Positif dan Negatif
Setiap individu memiliki konsep diri, baik itu konsep diri yang positif maupun yang negatif, hanya derajat atau kadarnya yang berbeda-beda. Kenyataan tidak ada individu yang sepenuhnya memiliki konsep diri positif atau negatif. Tetapi karena konsep diri memegang peranan penting dalam menentukan dan mengarahkan seluruh perilaku individu, maka sedapat mungkin individu bersangkutan harus mempunyai konsep diri yang positif / baik (Rakhmat, 1991).
1.     Konsep Diri Negatif
Orang yang memiliki konsep diri negatif sangat sedikit mengetahui tentang dirinya. Ada dua jenis konsep diri negatif, pertama; pandangan seseorang tentang  dirinya benar-benar tidak teratur. Ia tidak memiliki kestabilan dan keutuhan diri. Ia benar-benar tidak tahu siapa dirinya, apa kekuatan dan kelemahannya atau apa yang dihargai dalam hidupnya. Kondisi ini umumnya dialami oleh remaja. Konsep diri mereka kerap kali tidak teratur untuk sementara waktu, dan hal ini terjadi pada masa transisi dari peran anak ke peran orang dewasa. Tetapi, pada orang dewasa hal ini  menunjukkan ketidakmampuan menyesuaikan.
Tipe kedua dari konsep diri negatif, hampir merupakan kebalikan dari yang pertama. Di sini konsep diri terlalu stabil dan terlalu teratur, dengan kata lain kaku. Mungkin karena didikan orang tua, individu tersebut menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari aturan-aturan yang menurutnya merupakan cara hidup yang tepat.
Dari hasil penelitian Dobson dan Shaw (Coulhoun, 1990), bahwa konsep diri yang negatif sering kali berhubungan dengan depresi klinis atau seseorang akan merasa cemas terus-menerus, karena menghadapi informasi tentang dirinya yang tidak dapat diterimanya dengan baik dan mengancam konsep dirinya.
Brook dan Emmert (1985), menyebutkan ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif, antara lain:
1.     Peka terhadap kritik;
2.     Responsif terhadap pujian, meskipun mungkin ia pura-pura menghindarinya;
3.     Hiperkritis terhadap orang lain;
4.     Merasa tidak disenangi oleh orang lain, sehingga sulit menciptakan kehangatan dan keakraban dengan orang lain;
5.     Pesimis terhadap kompetisi.
1.     Konsep Diri Positif
Dasar dari konsep diri yang positif adalah penerimaan diri. Hal ini disebabkan orang yang memiliki konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Konsep diri ini meliputi informasi positif maupun negatif tentang dirinya. Individu dengan konsep diri positif dapat menerima dan memahami kenyataan yang bermacam-macam tentang dirinya.
Berlawanan dengan ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif, maka ciri-ciri orang dengan konsep diri positif, yaitu:
1.     Yakin akan kemampuannya untuk mengatasi suatu masalah;
2.     Merasa setara dengan orang lain;
3.     Menerima pujian dengan tanpa merasa malu;
4.     Menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat;
5.     Mampu memperbaiki diri, karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha untuk mengubahnya.
1.     Konsep Diri Dalam Perilaku
Sebagai inti kepribadian, konsep diri akan menentukan keberhasilan seseorang dalam menghadapi permasalahan yang timbul dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan karena konsep diri merupakan internal frame of reference, yaitu kerangka acuan bagi tingkah laku individu.
Ada tiga alasan yang dapat menjelaskan peranan konsep diri dalam menentukan perilaku seseorang, yaitu:
1.     Konsep diri mempunyai peranan penting dalam mempertahankan keselarasan batin (inner consistency)
Hal ini disebabkan bahwa pada prinsipnnya setiap individu selalu berusaha mempertahankan keselarasan bathinnya. Apabila timbul perasaan atau persepsi yang tidak seimbang atau saling bertentangan, maka terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan, sehingga ia akan mengubah perilakunya.
1.     Seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi individu dalam menafsirkan pengalamannya.
Sebuah kejadian dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh beberapa individu, karena masing-masing mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda terhadap diri sendiri.
Hasil penelitian Lynch (partosuwidu, dkk, 1979) menunjukkan bahwa ada interaksi antara pengalaman dengan konsep diri. Seseorang memiliki konsep diri dipengaruhi oleh pengalaman, sebaliknya konsep diri juga akan mempengaruhi cara seseorang menggunakan pengalamannya. Selanjutnya dikatakan bahwa seseorang dengan konsep diri positif akan lebih banyak memiliki pengalaman yang menyenangkan daripada mereka yang memiliki konsep diri negatif. Orang dengan konsep diri positif, cenderung memandang pengalaman negatif dapat membantu ke arah perkembangan yang positif.
1.     Konsep diri menentukan pengharapan individu.
Mc. Candless (Pudjigjogyanti, 1988), mengatakan bahwa konsep diri  merupakan seperangkat harapan serta penilaian perilaku yang menunjukkan kepada harapan-harapan tersebut.
1.     G. Konsep Diri Dalam Aktualisasi Diri
Rogers (Hall and Lindzzey, 1993) mengatakan bahwa meskipun diri mempunyai tendensi inheren untuk mengaktualisasikan diri, namun sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan, khususnya oleh lingkungan sosial. Pengalaman pada masa kanak-kanak memiliki peranan besar dalam menentukan keberhasilan individu tersebut untuk mengaktualisasikan diri.
Rogers (Coulhoun, 1990) mengatakan bahwa kunci dari aktualisasi diri adalah konsep diri. Orang yang memiliki konsep diri positif berarti memiliki penerimaan diri dan harga diri yang positif. Mereka menganggap dirinya berharga dan cenderung  menerima diri sendiri sebagaimana adanya. Sebaliknya, orang yang memiliki konsep diri negatif, menunjukkan penerimaan diri yang negatif pula. Mereka memiliki perasaan kurang berharga, yang menyebabkan perasaan benci atau penolakan terhadap diri sendiri.
Johnson dan Medinnus (1974) mengatakan bahwa konsep diri yang positif, yang nampak dalam bentuk penghargaan terhadap diri sendiri dan penerimaan diri adalah merupakan dasar perkembangan kepribadian yang sehat. Oleh karena itu sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa kepribadian yang sehat merupakan syarat dalam mencapai aktualisasi diri, maka hanya orang-orang yang memiliki konsep diri positif saja yang akan dapat mengaktualisasikan diri sepenuhnya. Sedangkan orang-orang yang memiliki konsep diri negatif cenderung mengembangkan gangguan dalam penyesuaian diri. Hal ini disebabkan adanya ketidakharmonisan (incongruence) antara konsep diri dengan kenyataan yang mengitari mereka atau dengan kata lain mereka tidak dapat mengembangkan kepribadian yang sehat. Oleh karena itu mereka tidak dapat mengaktualisasikan semua segi dari dirinya.
1.     Komponen Konsep Diri
Konsep diri terbagi menjadi beberapa bagian. Pembagian Konsep diri tersebut di kemukakan oleh Stuart and Sundeen ( 1991 ), yang terdiri dari :
1.     Gambaran diri ( Body Image )
Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu (Stuart and Sundeen , 1991).
Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima stimulus dari orang lain, kemudian mulai memanipulasi lingkungan dan mulai sadar dirinya terpisah dari lingkungan (Keliat ,1992).
Gambaran diri berhubungan dengan kepribadian. Cara individu memandang dirinya mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologinya. Pandangan yang realistis terhadap dirinya menerima dan mengukur bagian tubuhnya akan lebih rasa aman, sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri (Keliat, 1992).
Individu yang stabil, realistis dan konsisten terhadap gambaran dirinya akan memperlihatkan kemampuan yang mantap terhadap realisasi yang akan memacu sukses dalam kehidupan. Banyak Faktor dapat yang mempengaruhi gambaran diri seseorang, seperti, munculnya Stresor yang dapat mengganggu integrasi gambaran diri. Stresor-stresor tersebut dapat berupa :
Operasi
Seperti: mastektomi, amputasi, luka operasi yang semuanya mengubah gambaran diri. Demikian pula tindakan koreksi seperti operasi plastik, protesa dan lain-lain.
Kegagalan fungsi tubuh
Seperti hemiplegi, buta, tuli dapat mengakibatkan depersonlisasi yaitu tadak mengkui atau asing dengan bagian tubuh, sering berkaitan dengan fungsi saraf.
Waham yang berkaitan dengan bentuk dan fungsi tubuh
Seperti sering terjadi pada klie gangguan jiwa, klien mempersiapkan penampilan dan pergerakan tubuh sangat berbeda dengan kenyataan.
Tergantung pada mesin.
Seperti : klien intensif care yang memandang imobilisasi sebagai tantangan, akibatnya sukar mendapatkan informasi umpan balik dengan penggunaan lntensif care dipandang sebagai gangguan.
Perubahan Tubuh
Hal ini berkaitan dengan tumbuh kembang dimana seseorang akan merasakan perubahan pada dirinya seiring dengan bertambahnya usia. Tidak jarang seseorang menanggapinya dengan respon negatif dan positif. Ketidakpuasan juga dirasakan seseorang jika didapati perubahan tubuh yang tidak ideal.
Umpan balik interpersonal yang negatif
Umpan balik ini adanya tanggapan yang tidak baik berupa celaan, makian sehingga dapat membuat seseorang menarik diri.
Standard Sosial Budaya
Hal ini berkaitan dengan kultur sosial budaya yang berbeda-setiap pada setiap orang dan keterbatasannya serta keterbelakangan dari budaya tersebut menyebabkan pengaruh pada gambaran diri individu, seperti adanya perasaan minder.
Beberapa gangguan pada gambaran diri tersebut dapat menunjukan tanda dan gejala, seperti :
1.     Syok Psikologis
Syok Psikologis merupakan reaksi emosional terhadap dampak perubahan dan dapat terjadi pada saat pertama tindakan. Syok psikologis digunakan sebagai reaksi terhadap ansietas. Informasi yang terlalu banyak dan kenyataan perubahan tubuh membuat klien menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti mengingkari, menolak dan proyeksi untuk mempertahankan keseimbangan diri.
1.     Menarik diri
Klien menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari kenyataan , tetapi karena tidak mungkin maka klien lari atau menghindar secara emosional. Klien menjadi pasif, tergantung, tidak ada motivasi dan keinginan untuk berperan dalam perawatannya.
1.     Penerimaan atau pengakuan secara bertahap
Setelah klien sadar akan kenyataan maka respon kehilangan atau berduka muncul. Setelah fase ini klien mulai melakukan reintegrasi dengan gambaran diri yang baru.
Tanda dan gejala dari gangguan gambaran diri di atas adalah proses yang adaptif, jika tampak gejala dan tanda-tanda berikut secara menetap maka respon klien dianggap mal-adaptif, sehingga terjadi gangguan gambaran diri yaitu :
1.     Menolak untuk melihat dan menyentuh bagian yang berubah.
2.     Tidak dapat menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh.
3.     Mengurangi kontak sosial sehingga terjadi menarik diri.
4.     Perasaan atau pandangan negatif terhadap tubuh.
5.     Pre-okupasi dengan bagian tubuh atau fungsi tubuh yang hilang.
6.     Mengungkapkan keputusasaan.
7.     Mengungkapkan ketakutan ditolak.
8.     Depersonalisasi.
9.     Menolak penjelasan tentang perubahan tubuh.
1.     Ideal Diri
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku berdasarkan standart, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu (Stuart and Sundeen ,1991).
Standart dapat berhubungan dengan tipe orang yang akan diinginkan atau sejumlah aspirasi, cita-cita, nilai- nilai yang ingin di capai. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita, nilai-nilai yang ingin dicapai. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan norma sosial (keluarga budaya) dan kepada siapa ingin dilakukan. Ideal diri mulai berkembang pada masa kanak-kanak yang di pengaruhi orang yang penting pada dirinya yang memberikan keuntungan dan harapan pada masa remaja ideal diri akan di bentuk melalui proses identifikasi pada orang tua, guru dan teman.
Menurut Ana Keliat (1998), ada beberapa faktor yang mempengaruhi ideal diri yaitu :
1.     Kecenderungan individu menetapkan ideal pada batas kemampuannya.
2.     Faktor budaya akan mempengaruhi individu menetapkan ideal diri.
3.     Ambisi dan keinginan untuk melebihi dan berhasil, kebutuhan yang realistis, keinginan untuk mengklaim diri dari kegagalan, perasan cemas dan rendah diri.
4.     Kebutuhan yang realistis.
5.     Keinginan untuk menghindari kegagalan .
6.     Perasaan cemas dan rendah diri.
Agar individu mampu berfungsi dan mendemonstrasikan kecocokan antara persepsi diri dan ideal diri. Ideal diri ini hendaknya ditetapkan tidak terlalu tinggi, tetapi masih lebih tinggi dari kemampuan agar tetap menjadi pendorong dan masih dapat dicapai (Keliat, 1992 ).
1.     Harga Diri
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh prilaku memenuhi ideal diri (Stuart and Sundeen, 1991).
Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering gagal , maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah di cintai dan menerima penghargaan dari orang lain (Keliat, 1992).
Biasanya harga diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia lanjut. Dari hasil riset ditemukan bahwa masalah kesehatan fisik mengakibatkan harga diri rendah. Harga diri tinggi terkait dengam ansietas yang rendah, efektif dalam kelompok dan diterima oleh orang lain. Sedangkan harga diri rendah terkait dengan hubungan interpersonal yang buruk dan resiko terjadi depresi dan skizofrenia.
Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga diri rendah dapat terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (negatif self evaluasi yang telah berlangsung lama). Dan dapat diekspresikan secara langsung atau tidak langsung (nyata atau tidak nyata).
Menurut beberapa ahli dikemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan harga diri, seperti :
1.     Perkembangan Individu.
Faktor predisposisi dapat dimulai sejak masih bayi, seperti penolakan orang tua menyebabkan anak merasa tidak dicintai dan mengkibatkan anak gagal mencintai dirinya dan akan gagal untuk mencintai orang lain.
Pada saat anak berkembang lebih besar, anak mengalami kurangnya pengakuan dan pujian dari orang tua dan orang yang dekat atau penting baginya. Ia merasa tidak adekuat karena selalu tidak dipercaya untuk mandiri, memutuskan sendiri akan bertanggung jawab terhadap prilakunya. Sikap orang tua yang terlalu mengatur dan mengontrol, membuat anak merasa tidak berguna.
1.     Ideal Diri Tidak Realistis.
Individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa tidak punya hak untuk gagal dan berbuat kesalahan. Ia membuat standart yang tidak dapatdicapai, seperti cita –cita yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Yang pada kenyataan tidak dapat dicapai membuat individu menghukum diri sendiri dan akhirnya percaya diri akan hilang.
1.     Gangguan Fisik dan Mental
Gangguan ini dapat membuat individu dan keluarga merasa rendah diri.
1.     Sistim Keluarga yang Tidak Berfungsi.
Orang tua yang mempunyai harga diri yang rendah tidak mampu membangun harga diri anak dengan baik. Orang tua memberi umpan balik yang negatif dan berulang-ulang akan merusak harga diri anak. Harga diri anak akan terganggu jika kemampuan menyelesaikan masalah tidak adekuat. Akhirnya anak memandang negatif terhadap pengalaman dan kemampuan di lingkungannya.
1.     Pengalaman Traumatik yang Berulang, misalnya Akibat Aniaya Fisik, Emosi dan Seksual.
Penganiayaan yang dialami dapat berupa penganiayaan fisik, emosi, peperangan, bencana alam, kecelakan atau perampokan. Individu merasa tidak mampu mengontrol lingkungan. Respon atau strategi untuk menghadapi trauma umumnya mengingkari trauma,mengubah arti trauma, respon yang biasa efektif terganggu. Akibatnya koping yang biasa berkembang adalah depresi dan denial pada trauma.
1.     Peran
Peran adalah sikap dan perilaku nilai serta tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat ( Keliat, 1992 ). Peran yang ditetapkan adalah peran dimana seseorang tidak punya pilihan, sedangkan peran yang diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu. Posisi dibutuhkan oleh individu sebagai aktualisasi diri.
Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideal diri. Posisi di masyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, tuntutan serta posisi yang tidak mungkin dilaksanakan ( Keliat, 1992 ).
Stress peran terdiri dari konflik peran yang tidak jelas dan peran yang tidak sesuai atau peran yang terlalu banyak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam menyesuaikan diri dengan peran yang harus di lakukan menurut Stuart and Sundeen, 1998 adalah :
1.     Kejelasan prilaku dengan penghargaan yang sesuai dengan peran.
2.     Konsisten respon orang yang berarti terhadap peran yang dilakukan .
3.     Kesesuain dan keseimbangan antara peran yang di emban.
4.     Keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran.
5.     Pemisahan situasi yang akan menciptakan ketidak sesuain perilaku peran.
Menurut Stuart and Sunden Penyesuaian individu terhadap perannya di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1.     Kejelasan prilaku yang sesuai dengan perannya serta pengetahuan yang spesifik tentang peran yang diharapkan.
2.     Konsistensi respon orang yang berarti atau dekat dengan peranannya.
3.     Kejelasan budaya dan harapannya terhadap prilaku perannya.
4.     Pemisahan situasi yang dapat menciptakan ketidak selarasan
Sepanjang kehidupan individu sering menghadapi perubahan-perubahan peran, baik yang sifatnya menetap atau sementara yang sifatnya dapat karena situasional. Hal ini, biasanya disebut dengan transisi peran. Transisi peran tersebut dapat di kategorikan menjadi beberapa bagian, seperti :
1.     Transisi Perkembangan
Setiap perkembangan dapat menimbulkan ancaman pada identitas. Setiap perkembangan harus dilalui individu dengan menjelaskan tugas perkembangan yang berbeda-beda. Hal ini dapat merupakan stresor bagi konsep diri.
1.     Transisi Situasi
Transisi situasi terjadi sepanjang daur kehidupan, bertambah atau berkurang orang yang berarti melalui kelahiran atau kematian, misalnya status sendiri menjadi berdua atau menjadi orang tua. Perubahan status menyebabkan perubahan peran yang dapat menimbulkan ketegangan peran yaitu konflik peran, peran tidak jelas atau peran berlebihan.
1.     Transisi Sehat Sakit
Stresor pada tubuh dapat menyebabkan gangguan gambaran diri dan berakibat diri dan berakibat perubahan konsep diri. Perubahan tubuh dapat mempengaruhi semua kompoen konsep diri yaitu gambaran diri, identitas diri peran dan harga diri. Masalah konsep diri dapat di cetuskan oleh faktor psikologis, sosiologi atau fisiologi, namun yang penting adalah persepsi klien terhadap ancaman.
Selain itu dapat saja terjadi berbagai gangguan peran, penyebab atau faktor-faktor ganguan peran tersebut dapat di akibatkan oleh :
1.     Konflik peran interpersonal
Individu dan lingkungan tidak mempunyai harapan peran yang selaras.
Contoh peran yang tidak adekuat, kehilangan hubungan yang penting
1.     Perubahan peran seksual,
2.     Keragu-raguan peran
3.     Perubahan kemampuan fisik untuk menampilkan peran sehubungan dengan proses menua
4.     Kurangnya kejelasan peran atau pengertian tentang peran
5.     Ketergantungan obat
6.     Kurangnya keterampilan sosial
7.     Perbedaan budaya
8.     Harga diri rendah
9.     Konflik antar peran yang sekaligus diperankan
Gangguan-gangguan peran yang terjadi tersebut dapat ditandai dengan tanda dan gejala, seperti :
1.     Mengungkapkan ketidakpuasan perannya atau kemampuan menampilkan peran
2.     Mengingkari atau menghindari peran
3.     Kegagalan transisi peran
4.     Ketegangan peran
5.     Kemunduran pola tanggungjawab yang biasa dalam peran
6.     Proses berkabung yang tidak berfungsi
7.     Kejenuhan pekerjaan
1.     Identitas
Identitas adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh (Stuart and Sudeen, 1991).
Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan yang memandang dirinya berbeda dengan orang lain. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (aspek diri sendiri), kemampuan dan penyesuaian diri. Seseorang yang mandiri dapat mengatur dan menerima dirinya. Identitas diri terus berkembang sejak masa kanak-kanak bersamaan dengan perkembangan konsep diri. Hal yang penting dalam identitas adalah jenis kelamin (Keliat,1992).
Identitas jenis kelamin berkembang sejak lahir secara bertahap dimulai dengan konsep laki-laki dan wanita banyak dipengaruhi oleh pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap masing-masing jenis kelamin tersebut.
Perasaan dan prilaku yang kuat akan indentitas diri individu dapat ditandai dengan:
1.     Memandang dirinya secara unik
2.     Merasakan dirinya berbeda dengan orang lain
3.     Merasakan otonomi: menghargai diri, percaya diri, mampu diri, menerima dirib dan dapat mengontrol diri.
4.     Mempunyai persepsi tentang gambaran diri, peran dan konsep diri
Karakteristik identitas diri dapat dimunculkan dari prilaku dan perasaan seseorang, seperti :
1.     Individu mengenal dirinya sebagai makhluk yang terpisah dan berbeda dengan orang lain
2.     Individu mengakui atau menyadari jenis seksualnya
3.     Individu mengakui dan menghargai berbagai aspek tentang dirinya, peran, nilai dan prilaku secara harmonis
4.     Individu mengaku dan menghargai diri sendiri sesuai dengan penghargaan lingkungan sosialnya
5.     Individu sadar akan hubungan masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang
6.     Individu mempunyai tujuan yang dapat dicapai dan di realisasikan (Meler dikutip Stuart and Sudeen, 1991)
1.     III. MEKANISME KOPING
Dalam kehidupan sehari-hari, individu menghadapi pengalaman yang mengganggu ekuilibiriumkognitif dan afektifnya. Individu dapat mengalami perubahan hubungan dengan orang lain dalam harapannya terhadap diri sendiri cara negatif. Munculnya ketegangan dalam kehidupan mengakibatkan perilaku pemecahan masalah  (mekanisme koping) yang bertujuan meredakan ketegangan tersebut.
Equilibrium merupakan proses keseimbangan yang terjadi akibat adanya proses adaptasi manusia terhadap kondisi yang akan menyebabkan sakit. Proses menjaga keseimbangan dalam tubuh manusia terjadi secara dinamis dimana manusia berusaha menghadapi segala tantangan dari luar sehingga keadaan seimbang dapat tercapai.
Coping adalah mekanisme untuk mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima. Apabila mekanisme coping ini berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut.
Seorang ahli medis bernama ZJ Lipowski dalam penelitiannya memberikan definisi mekanisme coping: all cognitive and motor activities which a sick person employs to preserve his bodily and psychic integrity, to recover reversibly, impaired function and compensate to limit for any irreversible impairment. (Secara bebas bisa diterjemahkan: semua aktivitas kognitif dan motorik yang dilakukan oleh seseorang yang sakit untuk mempertahankan integritas tubuh dan psikisnya, memulihkan fungsi yang rusak, dan membatasi adanya kerusakan yang tidak bisa dipulihkan).
Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999).
Sedangkan menurut Lazarus (1985), koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu.
Mekanisme coping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat, yang dimulai sejak awal timbulnya stressor dan saat mulai disadari dampak stressor tersebut. Kemampuan belajar ini tergantung pada kondisi eksternal dan internal, sehingga yang berperan bukan hanya bagaimana lingkungan membentuk stressor tetapi juga kondisi temperamen individu, persepsi, serta kognisi terhadap stressor tersebut.
Efektivitas coping memiliki kedudukan sangat penting dalam ketahanan tubuh dan daya penolakan tubuh terhadap gangguan maupun serangan penyakit (fisik maupun psikis). Jadi, ketika terdapat stressor yang lebih berat (dan bukan yang biasa diadaptasi), individu secara otomatis melakukan mekanisme coping, yang sekaligus memicu perubahan neurohormonal. Kondisi neurohormonal yang terbentuk akhirnya menyebabkan individu mengembangkan dua hal baru: perubahan perilaku dan perubahan jaringan organ.
Lipowski membagi coping menjadi: coping style dan coping strategy. Coping style adalah mekanisme adaptasi individu yang meliputi aspek psikologis, kognitif, dan persepsi. Coping strategy merupakan coping yang dilakukan secara sadar dan terarah dalam mengatasi rasa sakit atau menghadapi stressor. Apabila coping dilakukan secara efektif, stressor tidak lagi menimbulkan tekanan secara psikis, penyakit, atau rasa sakit, melainkan berubah menjadi stimulan yang memacu prestasi serta kondisi fisik dan mental yang baik.
Mekanisme koping menunjuk pada baik mental maupun perilaku,  untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Mekanisme koping merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk menanggani dan menguasai  situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku  guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.
Para ahli menggolongkan dua strategi coping yang biasanya digunakan oleh individu, yaitu:problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres; dan emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan diitmbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan.  Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari (Lazarus & Folkman, 1984). Faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauhmana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Contoh: seseorang cenderung menggunakanproblem-solving focused coping dalam menghadapai masalah-masalah yang menurutnya bisa dikontrol seperti masalah yang berhubungan dengan sekolah atau pekerjaan; sebaliknya ia akan cenderung menggunakan strategi emotion-focused coping ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang menurutnya sulit dikontrol seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit yang tergolong berat seperti kanker atau Aids.
Hampir senada dengan penggolongan jenis coping seperti dikemukakan di atas, dalam literatur tentang coping juga dikenal dua strategi coping,  yaitu  active & avoidant coping strategi (Lazarus mengkategorikan menjadi Direct Action & Palliative). Active coping merupakan strategi yang dirancang untuk mengubah cara pandang individu terhadap sumber stres, sementara avoidant coping merupakan strategi yang dilakukan individu untuk menjauhkan diri dari sumber stres dengan cara melakukan suatu aktivitas atau menarik diri dari suatu kegiatan atau situasi yang berpotensi menimbulkan stres.   Apa yang dilakukan individu pada avoidant coping strategi sebenarnya merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri yang  sebenarnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu karena cepat atau lambat permasalahan yang ada haruslah diselesaikan oleh yang bersangkutan. Permasalahan akan semakin menjadi lebih rumit jika mekanisme pertahanan diri tersebut justru menuntut kebutuhan energi dan menambah kepekaan terhadap ancaman.
Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping
Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik/energi, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi.
1.     Kesehatan Fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar
1.     Keyakinan atau pandangan positif
Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi coping tipe : problem-solving focused coping
1.     Keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.
1.     Keterampilan sosial
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat.
1.     Dukungan sosial
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya
1.     Materi
Dukungan ini meliputi sumber daya daya berupa uang, barang barang atau layanan yang biasanya dapat dibel
Metode Koping
Ada dua metode koping yang digunakan oleh individu dalam mengatasi masalah psikologis seperti yang dikemukakan oleh Bell (1977), dua metode tersebut antara lain:
1.     Metode koping jangka panjang, cara ini adalah konstruktif dan merupakan cara yang efektif dan realistis dalam menangani masalah psikologis dalam kurun waktu yang lama, contonhya:
1.     Berbicara dengan orang lain.
2.     Mencoba mencari informasi yang lebih banyak tentang masalah yang sedang dihadapi.
3.     Menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan kekuatan supranatural.
4.     Melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan.
5.     Membuat berbagai alternative tindakan untuk mengurangi situasi.
6.     Mengambil pelajaran atau pengalaman masa lalu.
7.     Metode koping jangka pendek, cara ini digunakan untuk mengurangi stress dan cukup efektif untuk waktu sementara, tetapi tidak efektf untuk digunakan dalam jangka panjang. Contohnya:
1.     Menggunakan alkohol atau obat
2.     Melamun dan fantasi.
3.     Mencoba melihat aspek humor dari situasi yang tidak menyenangkan.
4.     Tidak ragu dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil.
5.     Banyak tidur
6.     Banyak merokok.
7.     Menangis
8.     Beralih pada aktifitas lain agar dapat melupakan masalah.
Penggolongan Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (dua) (Stuart dan Sundeen, 1995) yaitu :
1.     Mekanisme Koping Adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.
1.     Mekanisme Koping Maladaptif
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.
Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar.
Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek, salah satunya adalah aspek psikososial (Lazarus dan Folkman, 1985; Stuart dan Sundeen, 1995; Townsend, 1996; Herawati, 1999; Keliat, 1999) yaitu :
1.     Reaksi Orientasi Tugas
Berorientasi terhadap tindakan untuk memenuhi tuntutan dari situasi stress secara realistis, dapat berupa konstruktif atau destruktif.
Misal :
-          Perilaku menyerang (agresif) biasanya untuk menghilangkan atau mengatasi rintangan untuk memuaskan kebutuhan.
-          Perilaku menarik diri digunakan untuk menghilangkan sumber-sumber ancaman baik secara fisik atau psikologis.
-          Perilaku kompromi digunakan untuk merubah cara melakukan, merubah tujuan atau memuaskan aspek kebutuhan pribadi seseorang.
1.     Mekanisme pertahanan ego, yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan mental. Adapun mekanisme pertahanan ego, adalah sebagai berikut:
1.     Kompensasi
Proses di mana seseorang memperbaiki penurunan citra diri dengan/ secara tegas menonjolkan keistimewaan atau kelebihan yang dimiliki.
1.     Penyangkalan (denial) : Menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas dengan mengingkari realitas tersebut. Mekanisme pertahanan ini adalahyang paling sederhana dan primitive.
2.     Pemindahan (displacement): Pengalihan emosi yang ditujukan pada seorang atau benda lain yang biasanya netral atau lebih sedikit mengancam dirinya.
Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temann
1.     Disosiasi: Pemisahan suatu kelompok proses mental atau perilaku dari kesadaran atau identitasnya.
2.     Identifikasi: Proses dimana seseorang untuk menjadi seseorang yang ia kagumi berupaya dengan mengambil/menirukan pikiran-pikiran, perilaku, dan selera orang tersebut.
3.     Intelektualisasi: Pengguna logika dan alasan berlebihan untuk menghindari pengalaman yang mengganggu perasaannya,
4.     Introjeksi: Suatu jenis identifikasi yang kuat dimana seseorang mengambil atau melebur nilai-nilai dan kualitas seseorang atau suatu kelompok ke dalam struktur egonya sendiri, merupakan hati nurani.
5.     Isolasi: Pemisahan unsure emosional dari suatu pikiran yang mengganggu dapat bersifat sementara atau dalam jangka waktu yang lama.
6.     Proyeksi: Pengalihan buah pikiran atau impuls pada diri sendiri kepada orang lain terutama keinginan, perasaan emosional dan motivasi yang tidak dapat ditoleransi.
Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
10.  Rasionalisasi: Mengemukakan penjelasan yang tampak logis dan dapat diterima masyarakat untuk membenarkan impuls, perasaan, perilaku, dan motif yang tidak dapat diterima.
11.  Reaksi Formasi: Pengembangan sikap dan pola perilaku yang ia sadari, yang bertentangan dengan yang sebenarnya ia rasakan atau ia ingin lakukan.
Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
12.  Regresi: Kemunduran akibat stress terhadap perilaku dan merupakan cirri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini.
13.  Represi: Pengesampingan secara tidak sadar tentang pikiran, impuls atau ingatan yang menyakitkan atau bertentangan dari kesadaran seseorang; merupakan pertahanan yang primer yang cenderung diperkuat oleh mekanisme lain.
Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
14.  Pemisahan (splitting): Sikap mengelompokkan orang atau keadaan hanya sebagai semuanya baik atau semuanya buruk; kegagalan untuk memadukan nilai-nilai positif dan negatif dalam diri sendiri.
15.  Sublimasi: Penerimaan suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami halangan dalam penyaluran secara normal.
Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah
16.  Supresi: Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan, tetapi sebetulnya merupakan suatu analog represi yang disadari.
Mengenal Mekanisme Pertahanan Diri
Sebagian dari cara individu mereduksi perasaan tertekan, kecemasan, stress atau pun konflik adalah dengan melakukan mekanisme pertahanan diri baik yang ia lakukan secara sadar atau pun tidak. Hal ini sesuai dengan pendapat dikemukakan oleh Freud sebagai berikut: Such defense mechanisms are put into operation whenever anxiety signals a danger that the original unacceptable impulses may reemerge (Microsoft Encarta Encyclopedia 2002).
Freud menggunakan istilah mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) untuk menunjukkan proses tak sadar yang melindungi si individu dari kecemasan melalui pemutarbalikan kenyataan. Pada dasarnya strategi-strategi ini tidak mengubah kondisi objektif bahaya dan hanya mengubah cara individu mempersepsi atau memikirkan masalah itu. Jadi, mekanisme pertahanan diri melibatkan unsur penipuan diri.
Istilah mekanisme bukan merupakan istilah yang paling tepat karena menyangkut semacam peralatan mekanik. Istilah tersebut mungkin karena Freud banyak dipengaruhi oleh kecenderungan abad ke-19 yang memandang manusia sebagai mesin yang rumit. Sebenarnya, kita akan membicarakan strategi yang dipelajari individu untuk meminimalkan kecemasan dalam situasi yang tidak dapat mereka tanggulangi secara efektif. Tetapi karena “mekanisme pertahanan diri” masih merupakan istilah terapan yang paling umum maka istilah ini masih akan tetap digunakan.
Berikut ini beberapa mekanisme pertahanan diri yang biasa terjadi dan dilakukan oleh sebagian besar individu, terutama para remaja yang sedang mengalami pergulatan yang dasyat dalam perkembangannya ke arah kedewasaan. Dari mekanisme pertahanan diri berikut, diantaranya dikemukakan oleh Freud, tetapi beberapa yang lain merupakan hasil pengembangan ahli psikoanalisis lainnya.
Represi
Represi didefinisikan sebagai upaya individu untuk menyingkirkan frustrasi, konflik batin, mimpi buruk, krisis keuangan dan sejenisnya yang menimbulkan kecemasan. Bila represi terjadi, hal-hal yang mencemaskan itu tidak akan memasuki kesadaran walaupun masih tetap ada pengaruhnya terhadap perilaku. Jenis-jenis amnesia tertentu dapat dipandang sebagai bukti akan adanya represi. Tetapi represi juga dapat terjadi dalam situasi yang tidak terlalu menekan. Bahwa individu merepresikan mimpinya, karena mereka membuat keinginan tidak sadar yang menimbulkan kecemasan dalam dirinya. Sudah menjadi umum banyak individu pada dasarnya menekankan aspek positif dari kehidupannya. Beberapa bukti, misalnya:
individu cenderung untuk tidak berlama-lama untuk mengenali sesuatu yang tidak menyenangkan, dibandingkan dengan hal-hal yang menyenangkan, berusaha sedapat mungkin untuk tidak melihat gambar kejadian yang menyesakkan dada, lebih sering mengkomunikasikan berita baik daripada berita buruk, lebih mudah mengingat hal-hal positif daripada yang negatif,  lebih sering menekankan pada kejadian yang membahagiakan dan enggan menekankan yang tidak membahagiakan.
Supresi
Supresi merupakan suatu proses pengendalian diri yang terang-terangan ditujukan menjaga agar impuls-impuls dan dorongan-dorongan yang ada tetap terjaga (mungkin dengan cara menahan perasaan itu secara pribadi tetapi mengingkarinya secara umum). Individu sewaktu-waktu mengesampingkan ingatan-ingatan yang menyakitkan agar dapat menitik beratkan kepada tugas, ia sadar akan pikiran-pikiran yang ditindas (supresi) tetapi umumnya tidak menyadari akan dorongan-dorongan atau ingatan yang ditekan (represi)
Reaction Formation (Pembentukan Reaksi)
Individu dikatakan mengadakan pembentukan reaksi adalah ketika dia berusaha menyembunyikan motif dan perasaan yang sesungguhnya (mungkin dengan cara represi atau supresi), dan menampilkan ekspresi wajah yang berlawanan dengan yang sebetulnya. Dengan cara ini individu tersebut dapat menghindarkan diri dari kecemasan yang disebabkan oleh keharusan untuk menghadapi ciri-ciri pribadi yang tidak menyenangkan. Kebencian, misalnya tak jarang dibuat samar dengan menampilkan sikap dan tindakan yang penuh kasih sayang, atau dorongan seksual yang besar dibuat samar dengan sikap sok suci, dan permusuhan ditutupi dengan tindak kebaikan.
Fiksasi
Dalam menghadapi kehidupannya individu dihadapkan pada suatu situasi menekan yang membuatnya frustrasi dan mengalami kecemasan, sehingga membuat individu tersebut merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapinya dan membuat perkembangan normalnya terhenti untuk sementara atau selamanya. Dengan kata lain, individu menjadi terfiksasi pada satu tahap perkembangan karena tahap berikutnya penuh dengan kecemasan. Individu yang sangat tergantung dengan individu lain merupakan salah satu contoh pertahan diri dengan fiksasi, kecemasan menghalanginya untuk menjadi mandiri. Pada remaja dimana terjadi perubahan yang drastis seringkali dihadapkan untuk melakukan mekanisme ini.
Regresi
Regresi merupakan respon yang umum bagi individu bila berada dalam situasi frustrasi, setidak-tidaknya pada anak-anak. Ini dapat pula terjadi bila individu yang menghadapi tekanan kembali lagi kepada metode perilaku yang khas bagi individu yang berusia lebih muda. Ia memberikan respons seperti individu dengan usia yang lebih muda (anak kecil). Misalnya anak yang baru memperoleh adik, akan memperlihatkan respons mengompol atau menghisap jempol tangannya, padahal perilaku demikian sudah lama tidak pernah lagi dilakukannya. Regresi barangkali terjadi karena kelahiran adiknnya dianggap sebagai sebagai krisis bagi dirinya sendiri. Dengan regresi (mundur) ini individu dapat lari dari keadaan yang tidak menyenangkan dan kembali lagi pada keadaan sebelumnya yang dirasakannya penuh dengan kasih sayang dan rasa aman, atau individu menggunakan strategi regresi karena belum pernah belajar respons-respons yang lebih efektif terhadap problem tersebut atau dia sedang mencoba mencari perhatian
Menarik Diri
Reaksi ini merupakan respon yang umum dalam mengambil sikap. Bila individu menarik diri, dia memilih untuk tidak mengambil tindakan apapun. Biasanya respons ini disertai dengan depresi dan sikap apatis.
Mengelak
Bila individu merasa diliputi oleh stres yang lama, kuat dan terus menerus, individu cenderung untuk mencoba mengelak. Bisa saja secara fisik mereka mengelak atau mereka akan menggunakan metode yang tidak langsung.
Denial (Menyangkal Kenyataan)
Bila individu menyangkal kenyataan, maka dia menganggap tidak ada atau menolak adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (sebenarnya mereka sadari sepenuhnya) dengan maksud untuk melindungi dirinya sendiri. Penyangkalan kenyataan juga mengandung unsur penipuan diri.
Fantasi
Dengan berfantasi pada apa yang mungkin menimpa dirinya, individu sering merasa mencapai tujuan dan dapat menghindari dirinya dari peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan, yang dapat menimbulkan kecemasan dan yang mengakibatkan frustrasi. Individu yang seringkali melamun terlalu banyak kadang-kadang menemukan bahwa kreasi lamunannya itu lebih menarik dari pada kenyataan yang sesungguhnya. Tetapi bila fantasi ini dilakukan secara proporsional dan dalam pengendalian kesadaraan yang baik, maka fantasi terlihat menjadi cara sehat untuk mengatasi stres, dengan begitu dengan berfantasi tampaknya menjadi strategi yang cukup membantu
Rasionalisasi
Rasionalisasi sering dimaksudkan sebagai usaha individu untuk mencari-cari alasan yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilakunya yang buruk. Rasionalisasi juga muncul ketika individu menipu dirinya sendiri dengan berpura-pura menganggap yang buruk adalah baik, atau yang baik adalah yang buruk.
Intelektualisasi
Apabila individu menggunakan teknik intelektualisasi, maka dia menghadapi situasi yang seharusnya menimbulkan perasaan yang amat menekan dengan cara analitik, intelektual dan sedikit menjauh dari persoalan. Dengan kata lain, bila individu menghadapi situasi yang menjadi masalah, maka situasi itu akan dipelajarinya atau merasa ingin tahu apa tujuan sebenarnya supaya tidak terlalu terlibat dengan persoalan tersebut secara emosional. Dengan intelektualisasi, manusia dapat sedikit mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak menyenangkan bagi dirinya, dan memberikan kesempatan pada dirinya untuk meninjau permasalah secara obyektif.
Proyeksi
Individu yang menggunakan teknik proyeksi ini, biasanya sangat cepat dalam memperlihatkan ciri pribadi individu lain yang tidak dia sukai dan apa yang dia perhatikan itu akan cenderung dibesar-besarkan. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan karena dia harus menerima kenyataan akan keburukan dirinya sendiri. Dalam hal ini, represi atau supresi sering kali dipergunakan pula.
1.     IV. PROSES KEPERAWATAN
Perawat dituntut untuk mempunyai konsep diri yang positif hal ini penting karena dengan konsep diri yang positif maka kinerja akan baik sehingga diharapkan mutu pelayanan keperawatan dapat meningkat. Menurut Rogers seseorang yang mempunyai konsep diri yang positif maka dia akan berfungsi lebih maksimal, sehingga dia lebih produktif dan lebih berhasil di dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dijumpai. Sebaliknya orang yang mempunyai konsep diri negative penuh dengan perasaan kegagalan, tidak berharga, peka terhadap kritik sehinggga tidak ada upaya untuk perbaikan diri.
Konsep diri perawat dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian perawat terhadap dirinya. Dengan konsep diri yang positif maka perawat lebih optimis, penuh percaya diri, selalu bersikap positif, mampu menghargai dirinya, dan orang lain serta memiliki kreatifitas yang tingggi. Dengan adanya konsep diri yang positif ini maka perilaku professional sebagai tenaga keperawatan dapat terwujud sehinga perawat mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien sehingga mutu pelayanan kesehatan dapat meningkat.
Menurut Carpenito (1996) dikutip oleh Keliat (2006), pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Asuhan keperawatan juga menggunakan pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian menentukan masalah atau diagnosa, menyusun rencana tindakan keperawatan, implementasi dan evaluasi.
1.     A. Pengkajian
Menurut Stuart dan Laraia (2001), pengkajian merupakan tahapan awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkam menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien.
Faktor Predisposisi
Faktor yang mempengaruhi harga diri
Pengalaman masa kanak-kanak dapat merupakan faktor kontribusi pada gangguan atau masalah konsep diri. Anak sangat peka terhadap perlakuan dan respon orang tua. Orang tua yang kasar, membenci dan tidak menerima akan mempunyai keraguan dan ketidakpsatian diri. Anak yang tidak menerima kasih saying maka anak tersebut akan gagal mencintai dirinya dan orang lain.
Individu yang kurang mengerti akan arti dan tujan kehidupan akan gagal menerima tanggungjawab untuk diri sendiri. Ia akan tegantung pada lain gagal mengembangkan kemampuan sendiri. Ia mengingkari kebebasan menekspresi sesuatu termasuk kemungkanan berbuat salah dan menjadi kasar dan banyak menuntut diri sendiri. Ideal diri yang di tetapkan tidak dapa dicapai.
Faktor yang mempengaruhi penampilan peran
peran yang sesua dengan jenis kelamin sejak dulu sudah diterima oleh masyarakat, misalnya wanita dianggap kurang mampu, kurang mandiri , kurang objektif dan kurang rasional dibandingkan pria. Pria dianggap kurang sensitive, kurang hangat, kurang ekpresif dibanding wanita. Sesuai dengan standar tersebut, jika wanita atau pria berperan tidak seperti lazimnya, maka akan menimbulkan konflik di dalam diri mapun hubungan social. Misalnya wanita yang secara tradisional harus tinggal di rumah saja, jika ia mulai keluar rumah untuk mulai sekolah atau bekerja akan menimbulkan masalah.
Konflik peran dan peran yang tidak sesuai muncul dari faktor biologis dan harapan masyarakat terhadap wanita atau pria. Peran yanbg berlebihan muncul pada wanita yang mempunyai sejumlah peran.
Faktor yang mempengaruhi identitas diri.
Orang tua yang selalu curiga pada anak, maka akan menyebabkan kurang percaya diri pada anak. Anak akan ragu apakah yang dia pilih tepat, jika tidak sesuai dengan keinginan orang tua maka timbul rasa bersalah. Control orang tua yang tepat pada anak-anak remaja akan menimbulkan perasaan benci anak pada orang tua. Teman sebayanya merupkan faktor lain yang mempengaruhi identitas. Remaja ingin diterima, dibutuhkan, diingikan, dan dimilki oleh kelompoknya.
Faktor Presipitasi
Masalah khusus tentang konsep diri disebabakan oleh setiap situasi yang dihadapi individu dan individu tidak mampu menyesuaikan. Situasi atau stresor dapat mempengaruhi konsep diri dan komponennya.
Stressor yang dapat mempengaruhi gambaran diri dan hilangnya bagian badan, tindkan oiperasi, proses patologi penyakit, perubahan struktur dan fungsi tubuh, proses tumbuh kembang, prosedur tindakan dan pengobatan.
Stressor yang mempengaruhi harga diri dan ideal diri adalah penolakan dan kurang penghargaan diri dari orang tua dan orang yang berat; pola asuh anak yang tidak tepat, misalnya terlalu dilarang, dituntut, dituruti, persaingan dengan saudara, kesalahan dan kegagalan terulang, cita-cita yang tidak dapat dicapai, gagal bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
Masalah konsep diri dapat dicetuskan oleh faktor psikologis, sossiologis, atau fisiologis, namun yang lebih penting adalah persepsi klien terhadap ancaman.
Perilaku
Data yang di kumpulkan oleh seorang perawat, hendaknya data-data perilaku yang objektif dapat di amati. Perilaku yang berhubungan dengan harga diri yang rendah (Stuart dan Sundeent, 19991) yaitu yang identitas kacau dan depersonalisasi dapat sebagai berikut:
1.     Perilaku dengan Harga Diri yang Rendah
-        Kritik diri sendiri atau orang lain.
-        Produktifitas menurun
-        Destruktif pada orang lain
-        Gangguan berhubungan
-        Perasaan yang berlebihan tentang pentingnya dirinya
-        Perasaan tidak layak
-        Perasaan bersalah
-        Mudah marah dan tersinggung
-        Rasa negative terhadap diri sendiri
-          Pandangan hiduip yang pesimis
-          Keluhan fisik
-          Pandangan hidup terpolarisasi
-          Menolak kemampuan diri sendiri
-          Mengejek diri sendiri
-          Merusak diri
-          Isolasi sosial
-          Gangguan penggunaan zat
-          Menarik diri dari realitas
-          Khawatir
-          Ketegangan peran.
1.     Perilaku dengan Identitas yang kacau
-          Tidak mengindahkan moral
-          Kontradiksi ciri kepribadian
-          Mengurangi hubungan intrapersonal
-          Perasaan kekosongan
-          Perasaan tentang diri yang berubah-ubah
-          Kekacauan identitas seksual
-          Kecemasan yang tinggi
-          Tidak mampu berempati dengan orang lain
-          Kurang keyakinan diri
-          Cinta diri sendiri yang patologi
-          Masalah dalam hubungan intim
-          Kekacauan dan kehilangan identitas sesaat
1.     Perilaku dengan Depersonalisasi
-          Identitas hilang
-          Asing dengan diri sendiri
-          Perasaan tidak aman, rendah diri, takut malu
-          Perasaan tidak realistis
-          Merasa sangat terisolasi
-          Kurang perasaan yang berkesinambungan.
-          Tidak mampu mencapai kepuasan atau perasaan tuntas.
-          Halusinasi pendengaran dan penglihatan
-          Tidak yakin akan jenis kelaminnya.
-          Sukar membedakan diri dengan orang lain
-          Gambaran diri terganggu.
-          Pengalaman kehidupan bagaikan mimpi
-          Kacau
-          Disorientasi waktu
-          Penyimpangan pikiran
-          Daya ingat terganggu
-          Daya nilai terganggu
-          Afek tumpul
-          Pasif dan tidak ada respon emosi
-          Komunikasi tidak selaras
-          Tidak dapat mengontrol implus
-          Tidak ada inisiatif dan tidak mampu mengambil keputusan
-          Menarik diri dari lingkungan
-          Spontanitas dan semangat berkurang
1.     Mekanisme Koping
Dapat berguna untuk individu dalam mengahapi persepsi diri yang tidak menyenangkan. Pertahanan diri dapat dibagi 2, yaitu mekanisme koping jangka pendek dan mekanisme jangka panjang.
Uraian mekanisme dapat dilihat sebagai berikut:
Jangka pendek
1.     Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis identitas: (musik keras, pemakaian obat-obatan, kerja keras, menonton TV terus menerus)
2.     Kegiatan mengganti aktifitas sementara: (ikut keompok sosial, keagamaan, politik ).
3.     Kegiatan yang memberi dukungan semnetara; (kompetensi olahraga, kontes popularitas)
4.     Kegiatan yang mencoba menghilangkan anti identitas sementara: (penyalahgunaan obat-obatan).
Jangka panjang
1.     Menutupi identitas:
Terlalu cepat mengadopsi identitas yang senangi dari seorang yang berarti, tanpa menindahkan hasrat, apresiasi atau potensi diri sendiri.
1.     Identitas negatif
Yaitu asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan masyarakat.
Mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan adalah fantasi, disosiasi, isolasi, proyeksi, mengalihkan marah berbalik pada diri sendiri dan pada orang lain.
1.     B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian teknik mengenai respon individu, keluarga, komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual maupun potensial (NANDA, 2001 dikutip oleh Keliat, 2006).
Dari pengkajian seluruh komponen konsep diri dapat disimpulkan masalah keperawatan, yaitu;
1.     Gangguan harga diri: harga diri rendah situasional atau kronik
2.     Gangguan citra tubuh
3.     Ideal diri tidak realitas
4.     Gangguan identitas personal
5.     Perubahan penampilan peran
6.     Ketidakberdayaan
7.     Isolasi sosial:menarik diri
8.     Resiko perilaku kekerasan
Tindakan pada gangguan konsep diri
Focus tindakan adalah pada tingkat penilaian kognitif pada kehidupan, yang terdiri dari persepsi, keyakinan dan kepribadian. Kesadaran klien akan emosi dan perasaan nya juga hal yang penting. Setelah mengevaluasi penilaian kognitif dan kesadaran perasaan, klien menyadari masalah dan kemudian merubah prilaku.
Prinsip asuhan yang diberikan adalah pemecahan masalah yang terlihat dari kemajuan klien meningkat ke tingkat berikutnya
1.     C. Perencanaan
Perencanaan tindakan keperawatan menurut Keliat (2006 ) terdiri dari tiga aspek yaitu tujuan umum, tujuan khusus dan intervensi keperawatan.
Gangguan harga diri; harga diri rendah berhubungan dengan gangguan citra tubuh.
1.     Diagnosa Keperawatan:
Perubahan penampilan peran berhubungan dengan harga diri rendah.
Tujuan umum:
Klien dapat menunjukkan peran sesuai dengan tanggung jawabnya.
Tujuan khusus:
1.     Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
2.     Dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
3.     Klien menilai kemampuan yang dapat digunakan.
4.     Klien dapat menetapkan (merencanakan) kegiatan sesuai yang dimilki
5.     Klien melakukan tindakan sesuai dengan kondisi sakit dan kemampuan
6.     Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Tindakan Keperawatan.
1.     Bina hubungan saling percaya.
-          Salam terapeutik
-          Perkenalkan diri
-          Jelaskan tujuan interaksi
-          Ciptakan lingkungan yang tenang.
-          Buat kontrak yang jelas (apa yang dilakukan /bicarakan, waktu)
1.     Beri kesempatan unutk mengungkapkan perasaan (apa yang dilakukan/bicarakan, waktu)
2.     Sediakan waltu untuk mengungkapakan tentang penyakit yang diderita.
3.     Katakan pada klien bertambah satu orang yang berharga dan bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri.
4.     Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimilki pasien. Dapat di mulai bagian tubuh yang masih berfungsi dengan baik, kemampuan lain yang dimilki oleh klien , aspek positif (keluarga lingkungan) dimilki klien. Jika klien tidak mampu mengidentifikasi, maka oleh perawat memberi “reinforcement” terhadap aspek positif klien
5.     Setiap bertemu klien, hibdarkjan memberi penilain negative.utamakan memberikan pujian realistis.
6.     Diskusikan kemampuan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selamam sakit. Misalnya: penampilan klien dalam “self care” latihan dan ambulasi serta aspek asuhan terkait dengan gangguan fisik yang dialami oleh klien.
7.     Diskusikan pada kemampuan yang dapat dilanjutkan pengguanannya setelah pulang sesuai dengan kondisi pasien.
8.     Rencanakan bersama oleh aktifitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan:kegiatan mandiri, kegiatan bantuan sebagian, kegiatan yang membutuhkan bantuan total
9.     Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi klien.
10.  Beri kesempatan cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan (sering klien takut melakukannya)
11.  Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
12.  Beri pujian atas keberhasilan klien.
13.  Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.
14.  Berikan pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien harga diri rendah.
15.  Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.
Hasil yang diharapkan:
1.     Klien menungkapkan perasaanya terhadap penyakit yang diderita.
2.     Klien menyebutkan aspek dan kemampuan dirinya (fisik, intelektual, sistem pendukung).
3.     Klien berperan serta dalam perawatan dirinya.
4.     Percaya diri klien dengan menetapkan keinginan atau tujuan yang realistis.
1.     Diagnosa Keperawatan
Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan gangguan citra tubuh
Tujuan umum:
Klien menunjukkan peningkatan harga diri
Tujuan khusus:
1.     Klien dapat menigkatkan keterbukaan dan hubungan saling percaya.
2.     Klien mengidentifikasi perubahan citra tubuh.
3.     Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimilki.
4.     Klien dapat menerima realita perubahan struktur, bentuk atau fungsi tubuh.
5.     Klien dapat menyusun cara-cara menyelasaikan masalah yang dihadpi.
6.     Klien dapat melakukan tindakan pengembalian integritas tubuh.
Tindakan keperawatan
1.     Bina hubungan perawat yang terpeutik
-        Salam terapeutik
-        Komunikasi terbuka, jujur dan empati.
-        Sediakan waktu untuk mendengarkan klien. Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan klien terhadap perubahan tubuh.
-        Lakukan kontrak untuk program arahan keperawatan/ pendapatan kesehatan, dukungan dan konseling.
1.     Diskusikan perubahan struktur tubuh dan fungsi tubuh
2.     Observasi ekspresi klien pada saat berbicara.
3.     Diskusikan kemampuan dan aspek positif yamng dimilki (tubuh, intelektual, keluarga) oleh klien diluar perubahan yang terjadi.
4.     Beri pujian terhadap aspek yang positif dan kemampuan yang masih dimilki klien.
5.     Dorong klien untuk merawat diri dan berperan serta dalam asuhan keperawatan secara bertahap.
6.     Libatkan klien dalam kelompok klien dengan masalah gangguan citra tubuh.
7.     Tingkatkan dukungan keluarga terutama pasangan.
8.     Diskusikan cara-cara (booklet, leaflet) sebagai sumber informasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak perubahan struktur, bentuk dan fungsi tubuh.
9.     Dorong klien memilih cara yang sesuai bagi klien.
10.  Bantu klien melakukan cara yang dipilih
11.  Bantu klien mengurangi perubahan citra tubuh. Misalnya protesa untuk bagian tubuh bertemu tongkat.
12.  Rehabilitas bertahap bagi klien
Hasil yang harapkan:
1.     Klien dapat menerapkan perubahan
2.     Klien memiliki beberapa cara mengatasi perubahan yang terjadi.
3.     Klien beradaptasi dengan cara yang dipilh dan digunakan.
1.     D. Implementasi
Menurut Keliat (2006), implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan masalah utama yang aktual dan mengancam integritas klien beserta lingkungannya. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien pada saat ini (here and now). Hubungan saling percaya antara perawat dengan klien merupakan dasar utama dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
1.     E. Evaluasi
Evaluasi menurut Keliat (2006) adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan kepada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu evaluasi proses atau formatif yang dilakukan tiap selesai melakukan tindakan keperawatan dan evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan respons klien dengan tujuan yang telah ditentukan.
1.     V. PENUTUP
Bahwa salah satu kunci keberhasilan hidup kita adalah bagaimana kita dapat mengembangkan konsep diri positif. Konsep diri positif ini seperti sebuah sistem operasi yang mempengaruhi mental dan kemampuan berpikir positif seseorang. Konsep diri positif ini dapat masuk ke dalam pikiran seseorang dan mempunyai bobot pengaruh yang besar terhadap kemampuan menerima dan mempersepsikan setiap pesan yang datang. Semakin positif konsep diri seseorang, maka akan semakin mudah menangkap dan mempersepsikan setiap pesan yang datang menjadi sebuah pesan yang positif. Demikian pula sebaliknya.
Konsep diri positif memiliki peranan yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan hidup seseorang. Karena konsep diri positif dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan seseorang menjadi positif dalam kehidupannya. Hasilnya adalah karakter pribadi positif yang menjadi modal bagi kesuksesan hidup.
Setiap manusia mempunyai suatu pertahanan untuk melindungi harga dirinya, hal inilah yang menyebabkan perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang kadangkala jauh berbeda dari keadaan yang ada di dalam dirinya. Seorang anak remaja yang tertarik pada teman sekolahnya kadang-kadang menunjukkan perilaku membenci atau sombong di hadapan orang yang dia taksir, dalam hal ini perasaan tertarik dia tunjukkan sebagai sikap benci untuk menutupi perasaan canggung (malu). Dalam kaitannya dengan perilaku sombong yang ditunjukkan oleh seseorang, maka hal ini bisa merupakan mekanisme pertahanan ego untuk menutupi kekurangan dirinya. Dalam hal ini orang yang kurang pandai bisa saja menutupi kekurangannya itu dengan suatu perilaku sombong menyebut diri sebagai keturunan orang hebat di masa lampau, begitu juga orang yang merasa kurang tampan bisa saja menutupi kelemahannya dengan membanggakan kekayaan orangtuanya dan berbagai kebanggaan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kumpulan askep