Cinta Sejati (True Love)
Seorang bijak berkata kepadaku, “Anakku, mari kita bicara tentang
cinta. Cinta apa yang kau miliki?” Merasa diri ini memang belum paham
apa makna cinta yang sebenarnya, maka aku dengarkan baik-baik setiap
hikmah yang menyemburat seperti cahaya.
Anakku, kamu harus membuka hatimu lebar-lebar agar bisa menangkap
esensi cinta yang akan aku sampaikan. Simpan pertanyaanmu nanti, karena
setiap pertanyaan itu terlahir dari akal. Seperti langit, akal melayang
tinggi di atas bumi tempatmu berpijak. Dan kau pun akan jauh dari hati
pijakanmu, satu-satunya titik yang mampu menangkap esensi cinta.
Lihat
batang bunga mawar itu. Dia punya potensi untuk mempersembahkan bunga
merah dan harum yang semerbak. Namun jika batang itu tak pernah ditanam,
tak akan pernah mawar itu menghiasi kebunmu. Maka, hanya dengan membuka
diri untuk tumbuhnya akar dan daun lah, batang mawar itu akan
melahirkan bunga mawar yang harum. Demikian juga dengan hatimu, anakku.
Kau harus membukanya, agar potensi cinta yang terkandung di dalamnya
bisa merekah, lalu menyinari dunia sekitarmu dengan kedamaian.
Anakku, begitu sering kau bicara cinta. Cinta kepada istri, cinta
kepada anak, cinta kepada agama, cinta kepada bangsa, cinta kepada
filosofi, cinta kepada rumah, cinta kepada kebenaran, cinta kepada
Tuhan… Apakah isi atau esensi dari cintamu itu? Kau bilang itu cinta
suci, cinta sejati, cinta yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam,
cinta sepenuh hati, cinta pertama, … Apakah benar begitu, anakku?
Mungkin di kampung kau punya seekor kuda. Begitu sayangnya kau pada
kuda itu. Setiap hari kau beri makan, minum, kau rawat bulunya, kau
bersihkan, kau ajak jalan-jalan. Seolah kuda itu telah menjadi bagian
dari hidupmu, seperti saudaramu. Kau mencintai kuda itu sepenuh hati.
Namun, suatu ketika datang orang yang ingin membelinya dengan harga yang
fantastis. Hatimu goyah, dan kau pun menjualnya. Cintamu tidak sepenuh
hati, karena kau rela menjual cinta. Kau mencintai kuda, karena
kegagahannya membuatmu bangga dan selalu senang ketika menungganginya.
Namun, ketika datang harta yang lebih memberikan kesenangan, kau
berpaling. Kau cinta karena kau mengharapkan sesuatu dari yang kau
cintai. Kau cinta kudamu, karena mengharapkan kegagahan. Cintamu
berpaling kepada harta, karena kau mengharapkan kekayaan. Ketika keadaan
berubah, berubah pula cintamu.
Kau sudah punya istri. Begitu besar cintamu kepadanya. Bahkan kau
bilang, dia adalah pasangan sayapmu. Tak mampu kau terbang jika pasangan
sayapmu sakit. Cintamu cinta sejati, sehidup semati. Namun, ketika
kekasihmu sedang tak enak hati yang keseratus kali, kau enggan
menghiburnya, kau biarkan dia dengan nestapanya karena sudah biasa.
Ketika dia sakit yang ke lima puluh kali, perhatianmu pun berkurang,
tidak seperti ketika pertama kali kau bersamanya. Ketika dia berbuat
salah yang ke sepuluh kali, kau pun menjadi mudah marah dan kesal. Tidak
seperti pertama kali kau melihatnya, kau begitu pemaaf. Dan kelak
ketika dia sudah keriput kulitnya, akan kau cari pengganti dengan alasan
dia tak mampu mendukung perjuanganmu lagi? Kalau begitu, maka cintamu
cinta berpengharapan. Kau mencintainya, karena dia memberi kebahagiaan
kepadamu. Kau mencintainya, karena dia mampu mendukungmu. Ketika semua
berubah, berubah pula cintamu.
Kau punya sahabat. Begitu sayangnya kau kepadanya. Sejak kecil kau
bermain bersamanya, dan hingga dewasa kau dan dia masih saling membantu,
melebihi saudara. Kau pun menyatakan bahwa dia sahabat sejatimu. Begitu
besar sayangmu kepadanya, tak bisa digantikan oleh harta. Namun suatu
ketika dia mengambil jalan hidup yang berbeda dengan keyakinanmu.
Setengah mati kau berusaha menahannya. Namun dia terus melangkah, karena
dia yakin itulah jalannya. Akhirnya, bekal keyakinan dan imanmu
menyatakan bahwa dia bukan sahabatmu, bukan saudaramu lagi. Dan
perjalanan kalian sampai di situ. Kau mencintainya, karena dia
mencintaimu, sejalan denganmu. Kau mendukungnya, mendoakannya,
membelanya, mengunjunginya, karena dia seiman denganmu. Namun ketika dia
berubah keyakinan, hilang sudah cintamu. Cintamu telah berubah.
Kau memegang teguh agamamu. Begitu besar cintamu kepada jalanmu. Kau
beri makan fakir miskin, kau tolong anak yatim, tak pernah kau
tinggalkan ibadahmu, dengan harapan kelak kau bisa bertemu Tuhanmu.
Namun, suatu ketika orang lain menghina nabimu, dan kau pun marah dan
membakar tanpa ampun. Apakah kau lupa bahwa jalanmu mengajak untuk
mengutamakan cinta dan maaf? Dan jangankan orang lain yang menghina
agamamu, saudaramu yang berbeda pemahaman saja engkau kafirkan, engkau
jauhi, dan engkau halalkan darahnya. Bukankah Tuhanmu saja tetap cinta
kepada makhlukNya yang seperti ini, meskipun mereka bersujud atau
menghinaNya? Kau cinta kepada agamamu, tapi kau persepsikan cinta yang
diajarkan oleh Tuhanmu dengan caramu sendiri.
Anakku, selama kau begitu kuat terikat kepada sesuatu dan memfokuskan
cintamu pada sesuatu itu, selama itu pula kau tidak akan menemukan True
Love. Cintamu adalah Selfish Love, cinta yang mengharapkan, cinta
karena menguntungkanmu. Cinta yang akan luntur ketika sesuatu yang kau
cintai itu berubah. Dengan cinta seperti ini kau ibaratnya sedang
mengaspal jalan. Kau tebarkan pasir di atas sebuah jalan untuk
meninggikannya. Lalu kau keraskan dan kau lapisi atasnya dengan aspal.
Pada awalnya tampak bagus, kuat, dan nyaman dilewati. Setiap hari
kendaraan lewat di atasnya. Dan musim pun berubah, ketika hujan turun
dengan derasnya, dan truk-truk besar melintasinya. Lapisannya
mengelupas, dan lama-lama tampak lah lobang di atas jalan itu. Cinta
yang bukan True Love, adalah cinta yang seperti ini, yang akan berubah
ketika sesuatu yang kau cintai itu berubah. Kau harus memahami hal ini,
anakku.
Sekarang lihatlah, bagaimana Tuhanmu memberikan cintaNya. Dia
mencintai setiap yang hidup, dengan cinta (rahman) yang sama, tidak
membeda-bedakan. Manusia yang menyembahNya dan manusia yang menghinaNya,
semua diberiNya kehidupan. KekuasaanNya ada di setiap yang hidup. Dia
tidak meninggalkan makhlukNya, hanya karena si makhluk tidak lagi
percaya kepadanya. Jika Dia hanya mencintai mereka yang menyembahNya
saja, maka Dia namanya pilih kasih, Dia memberi cinta yang berharap,
mencintai karena disembah. Dia tidak begitu, dia tetap mencintai setiap
ciptaanNya. Itulah True Love. Cinta yang tak pernah berubah, walau yang
dicintai berubah. Itulah cinta kepunyaan Tuhan. Anakku, kau harus
menyematkan cinta sejati ini dalam dirimu. Tanam bibitnya, pupuk agar
subur, dan tebarkan bunga dan buahnya ke alam di sekitarmu.
Dan kau perlu tahu, anakku. Selama kau memfokuskan cintamu pada yang
kau cintai, maka selama itu pula kau tak akan pernah bisa memiliki cinta
sejati, True Love. Cinta sejati hanya kau rasakan, ketika kau melihat
Dia dalam titik pusat setiap yang kau cintai. Ketika kau mencintai
istrimu, bukan kecantikan dan kebaikan istrimu itu yang kau lihat, tapi
yang kau lihat “Ya Allah! Ini ciptaanMu, sungguh cantiknya. Ini
kebaikanMu yang kau sematkan dalam dirinya.” Ketika kau lihat saudaramu
entah yang sejalan maupun yang berseberangan, kau lihat pancaran
CahayaNya dalam diri mereka, yang tersembunyi dalam misteri jiwanya. Kau
harus bisa melihat Dia, dalam setiap yang kau cintai, setiap yang kau
lihat. Ketika kau melihat makanan, kau bilang “Ya Allah, ini makanan
dariMu. Sungguh luar biasa!” Ketika kau melihat seekor kucing yang buruk
rupa, kau melihat kehidupanNya yang mewujud dalam diri kucing itu.
Ketika kau mengikuti sebuah ajaran, kau lihat Dia yang berada dibalik
ajaran itu, bukan ajaran itu yang berubah jadi berhalamu. Ketika kau
melihat keyakinan lain, kau lihat Dia yang menciptakan keyakinan itu,
dengan segala rahasia dan maksud yang kau belum mengerti.
Ketika kau bisa melihat Dia, kemanapun wajahmu memandang, saat itulah
kau akan memancarkan cinta sejati kepada alam semesta. Cintamu tidak
terikat dan terfokus pada yang kau pegang. Cintamu tak tertipu oleh baju
filosofi, agama, istri, dan harta benda yang kau cintai. Cintamu
langsung melihat titik pusat dari segala filosofi, agama, istri, dan
harta benda, dimana Dia berada di titik pusat itu. Cintamu langsung
melihat Dia.
Dan hanya Dia yang bisa memandang Dia. Kau harus memahami ini,
anakku. Maka, dalam dirimu hanya ada Dia, hanya ada pancaran cahayaNya.
Dirimu harus seperti bunga mawar yang merekah. Karena hanya saat mawar
merekah lah akan tampak kehindahan di dalamnya, dan tersebar bau wangi
ke sekitarnya. Mawar yang tertutup, yang masih kuncup, ibarat cahaya
yang masih tertutup oleh lapisan-lapisan jiwa. Apalagi mawar yang masih
berupa batang, semakin jauh dari terpancarnya cahaya. Bukalah hatimu,
mekarkan mawarmu.
Anakku, hanya jiwa yang telah berserah diri saja lah yang akan
memancarkan cahayaNya. Sedangkan jiwa yang masih terlalu erat memegang
segala yang dicintainya, akan menutup cahaya itu dengan berhala
filosofi, agama, istri, dan harta benda. Lihat kembali, anakku, akan
pengakuanmu bahwa kau telah berserah diri. Lihat baik-baik, teliti
dengan seksama, apakah pengakuan itu hanya pengakuan sepihak darimu?
Apakah Dia membernarkan pengakuanmu? Ketika kau bilang “Allahu Akbar,”
apakah kau benar-benar sudah bisa melihat keakbaran Dia dalam setiap
yang kau lihat? Jika kau masih erat mencintai berhala-berhalamu, maka
sesungguhnya jalanmu menuju keberserahdirian masih panjang. Jalanmu
menuju keber-Islam-an masih di depan. Kau masih harus membuka kebun
bunga mawar yang terkunci rapat dalam hatimu. Dan hanya Dia-lah yang
memegang kunci kebun itu. Mintalah kepadaNya untuk membukanya. Lalu,
masuklah ke dalam taman mawarmu. Bersihkan rumput-rumput liar di sana,
gemburkan tanah, sirami batang mawar, halau jauh-jauh ulat yang memakan
daunnya. Kemudian, bersabarlah, bersyukurlah, dan bertawakkallah.
InsyaAllah, suatu saat, jika kau melakukan ini semua, mawar itu akan
berbunga, lalu merekah menyebarkan bau harum ke penjuru istana.
Semoga Allah membimbingmu, anakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar